Bagaimana Kita Tahu, Amal Ibadah dan Taubat Kita Diterima Allah Ta’ala?
Tujuan diciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan menauhidkan-Nya. Agar ibadah kita diterima, maka harus terpenuhi syarat-syaratnya. Jangan sampai seseorang telah melakukan ibadah dengan harta dan tenaga yang besar, namun ternyata hal tersebut sia-sia karena tidak diterima di sisi Allah Ta’ala; bahkan malah menjerumuskannya ke dalam Neraka.
Apa yang Dimaksud dengan Ibadah?
Sebagian kaum Muslimin masih keliru dalam mendefinisikan makna ibadah. Menurut mereka, yang namanya ibadah itu sebatas hanya yang disebutkan dalam Rukun Islam, seperti sholat, zakat, puasa dan haji. Namun pemahaman tersebut kurang tepat. Ibadah memiliki pengertian yang lebih luas. Definisi yang dinilai paling baik adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mendefinisikan ibadah dengan “Suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir)”. Sehingga termasuk ke dalam ibadah adalah perkataan jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada orang tua, menyambung silaturahmi, dan selainnya yang memiliki dalil, bahwa amalan tersebut dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala. (Al Ubudiyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).
Syarat Diterimanya Ibadah
Agar amal seseorang diterima, maka harus terkumpul antara Ikhlas dan Ittiba’. Jika ikhlas saja namun menyelisihi petunjuk Rasul ﷺ, maka amal tersebut tidak diterima. Begitu pula jika mengikuti petunjuk Rasul ﷺ saja namun riya’ (beribadah karena ingin dipuji), juga tidak diterima.
Syarat ketiga agar amal ibadah seseorang diterima di sisi Allah adalah dia harus beragama Islam, karena amalan orang kafir tidak diterima. Allah berfirman (yang artinya): “Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh” (QS Ibrahim : 18)
Ketiga syarat inilah yang harus dipenuhi oleh seseorang agar amal ibadahnya diterima. Jika hilang salah satunya, maka tidak akan diterima oleh Allah ta’ala.
Terdapat kaidah penting dalam memahami perkara ibadah, agar seseorang tidak tergelincir dalam penyimpangan. Kaidah tersebut adalah: “Hukum asal perkara ibadah adalah terlarang, sampai dijumpai dalil yang memerintahkannya”.
Oleh karena itu seseorang tidak boleh membuat-buat jenis ibadah sendiri, baik berupa jenis ibadah baru atau tata cara ibadah yang menyelisihi tata cara ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Karena semua tata cara ibadah telah diajarkan secara rinci, dari perkara yang kecil sampai perkara yang besar.
Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Salman dia berkata: “Ditanyakan kepadanya, ‘(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga tata cara buang air besar? “. ‘Abdurrahman berkata: Salman menjawab: “Ya.” (HR. Muslim no. 262)
Sudah seharusnya kaum Muslimin bersikap kritis terhadap ibadah yang dilakukan dengan bertanya “Adakah dalil yang memerintahkan ibadah ini?!”. Jika tidak ada dalilnya, maka tinggalkan dan jangan dilakukan.
Lalu, bagaimana dan apa saja tanda-tanda suatu amal ibadah dan taubat seorang hamba telah diterima Allah ta’ala, dan jerih payahnya telah membuahkan hasil?
Berikut ini adalah di antara tanda dan ciri diterimanya amal ibadah dan taubat seorang hamba, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama sunnah.
Tanda Pertama: Tidak Mengulangi Lagi Perbuatan Dosa dan Maksiatnya
Apabila seorang hamba merasa benci terhadap dosa-dosa, dan ia benci untuk mengulangi lagi perbuatan dosa dan maksiat yang pernah dilakukannya, maka ketahuilah bahwa ia termasuk orang yang diterima Allah taubat dan amal ibadahnya.
» Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata:
“أما إذا تذكر الذنبَ ففرح وتلذذ فلم يقبل ولو مكث على ذلك أربعين سنة”
“Adapun jika seorang hamba ingat akan perbuatan dosanya, lalu ia merasa senang dan menikmatinya, maka (taubatnya) tidak akan diterima Allah, meskipun ia hidup selama 40 (empat puluh) tahun dalam keadaan demikian.” (Lihat Madaariju As-Saalikiin, karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah).
» Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata:
“مَن استغفر بلسانه وقلبُه على المعصية معقود، وعزمه أن يرجع إلى المعصية ويعود، فصومه عليه مردود، وباب القبول فى وجهه مسدود”
“Barang siapa meminta ampunan (kepada Allah) dengan ucapan lisannya, sementara hatinya merasa terikat dengan perbuatan maksiat, dan bahkan ia berkeinginan kuat untuk mengulangi lagi perbuatan maksiatnya, maka puasanya ditolak Allah, dan pintu diterimanya (amal dan taubat) tertutup baginya.”
Tanda Kedua: Semakin Bertambah Semangat dalam Melaksanakan Amal Kebaikan dan Ketaatan Kepada Allah
» Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
“إن من جزاء الحسنة الحسنة بعدها، ومن عقوبة السيئة السيئةُ بعدها، فإذا قبل الله العبد فإنه يوفقه إلى الطاعة، ويصرفه عن المعصية”
“Sesungguhnya di antara balasan amalan kebaikan ialah (dimudahkan Allah) melaksanakan kebaikan setelahnya. Dan di antara hukuman atas perbuatan buruk ialah melakukan keburukan setelahnya. Maka, apabila Allah telah menerima (amalan dan taubat) seorang hamba, niscaya Allah akan memberinya taufik untuk melaksanakan ketaatan (kepada-Nya), dan memalingkannya dari perbuatan maksiat (kepada-Nya).”
» Beliau (Hasan Al-Bashri rahimahullah) juga pernah berkata:
“يا ابن آدم إن لم تكن فى زيادة فأنت فى نقصان”.
“Wahai anak cucu Adam, jika engkau tidak dalam keadaan bertambah (amalan kebaikanmu), berarti engkau benar-benar dalam keadaan berkurang (ketaatanmu kepada Allah, pent).”
Tanda Ketiga: Sabar dan Tegar dalam Melaksnakan Ketataatan kepada Allah Ta’ala
Tegar dan istiqomah dalam melaksanakan ketaatan memiliki buah yang sangat agung, sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah: “Sungguh Allah yang Maha Mulia telah memberlakukan hukum kebiasaan dengan kemuliaan-Nya, bahwa barang siapa hidup di atas suatu kebiasaan, niscaya ia akan mati di atas kebiasaan tersebut. Dan barang siapa yang mati dalam suatu keadaan, maka ia akan dibangkitkan Allah pada Hari Kiamat di atas keadaan tersebut.”
Maka, barang siapa terbiasa melaksanakan ketaatan kepada Allah di dalam hidupnya di dunia, niscaya Allah akan mewafatkannya dalam keadaan berbuat taat.
Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam hadis:
بينما رجلٌ يحجُّ مع النبي صلى الله عليه وسلم فوكزته الناقة فمات فقال النبيّ صلى الله عليه وسلم: ( كفنوه بثوبيه فإنه يبعث يوم القيامة ملبّياً )
Artinya: “Tatkala ada seseorang yang menunaikan haji bersama Nabi ﷺ, maka ia terjatuh dari seekor onta (yang ditungganginya), lalu ia pun mati. Maka, Nabi ﷺ bersabda (kepada sebagian para sahabat): “Kafanilah orang ini dengan menggunakan kedua bajunya (maksudnya dua kain ihromnya), karena sesungguhnya ia akan dibangkitkan (oleh Allah) pada Hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah.”(HR. Imam Al-Bukhari dan Muslim).
Dan Nabi ﷺ juga bersabda tentang seseorang yang mencuri sebagian harta rampasan perang; “Sesungguhnya benda rampasan perang yang ia curi akan ada api yang menyala padanya (pada Hari Kiamat, pent).” (HR. Imam Al-Bukhari).
Tanda Keempat:
Bersihnya hati dari noda-noda syirik, kufur, maksiat dan penyakit-penyakit hati, seperti iri dengki, sombong, bangga diri, riya, dsb.
Tanda orang yang diterima amalnya senantiasa mengutamakan apa yang dicintai dan diridhoi Allah daripada kecintaan dan keridhoan manusia. Mendahulukan perintah-perintah-Nya daripada perintah siapapun selain-Nya, dan ia mencintai orang lain karena Allah.
Ia juga sangat jauh dari sifat hasad (iri dan dengki), kebencian dan permusuhan dengan orang lain karena urusan dunia. Ia selalu merasa yakin bahwa segala urusan berada di tangan Allah, sehingga hatinya merasa tentram dan ridho dengan keputusan-Nya. Ia juga meyakini bahwa apapun yang telah ditakdirkan oleh Alah untuk “meleset” dari dirinya, maka hal itu tidak akan menimpa dirinya. Dan apa saja yang ditakdirkan Allah akan menimpa dirinya, maka hal itu tidak akan bisa dihindari.
Yang jelas dan pasti, sikap orang yang diterima Allah amal dan taubatnya ialah selalu merasa ridho dengan takdir dan keputusan Allah dalam bentuk apapun, serta ia berbaik sangka kepadaa-Nya.
Tanda Kelima: Selalu Mengingat Kehidupan Akhirat yang Hakiki dan Abadi
Pada suatu hari Al-Fudhoil bin ‘Iyadh rahimahullah (seorang ulama salaf dari generasi atba’ut tabi’in) bertanya kepada seorang lelaki (tua): “Berapa tahun umur yang telah kau lalui?” Ia jawab: “Sudah 60 (enam puluh) tahun.” Maka Al-Fudhoil bin ‘Iyadh berkata kepadanya: “Subhanallah, sejak 60 (enam puluh) tahun engkau masih dalam perjalananmu menuju Allah! Sebentar lagi engkau akan sampai (baca: akan mati). Ketahuilah, bahwa engkau akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah (atas umurmu di dunia, pent). Oleh karena itu, persiapkanlah jawaban atas pertanyaan-Nya.” Maka lelaki tua itu bertanya kepadanya: “Apa yang mesti aku lakukan sekarang?” Jawab Al-Fudhoil bin ‘Iyadh: “Berbuat baiklah di sisa umurmu, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu. Namun, jika engkau berbuat keburukan (dosa dan maksiat) di sisa umurmu, niscaya Allah akan menyiksamu atas dosa-dosamu yang telah lalu maupun yang akan datang.”
Tanda Keenam: Selalu Menjaga Keikhlasan dalam Setiap Amal dan Kebaikan
Pernah ada seseorang laki-laki menyampaikan suatu nasihat di hadapan imam Hasan Al-Bashri (seorang ulama tabi’in) rahimahullah. Maka imam Hasan Al-Basri berkata kepadanya: “Wahai si Fulan, saya belum bisa mengambil faeidah dan pelajaran dari nasihatmu. Ini bisa jadi dikarenakan hatiku yang “berpenyakit”, atau bisa jadi karena niatmu (dalam menyampaikan nasihat) yang kurang ikhlas.”
Demikianlah beberapa tanda diterimanya amal ibadah dan taubat seorang hamba. Ini hanyalah sebuah tanda atau ciri diterimanya amal. Sedangkan kepastiannya, hanya Allah Ta’ala saja yang mengetahuinya.
Semoga bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga Allah menerima seluruh amal ibadah kita dan mengampuni dosa-dosa yang pernah kita lakukan. Aamiin.
Sumber Rujukan:
Tulisan berjudul “AGAR IBADAH DITERIMA” oleh Ndaru Triutomo, S.Si – https://buletin.Muslim.or.id/ibadah-2/agar-ibadah-diterima
Tulisan berjudul “TANDA-TANDA DITERIMANYA AMAL IBADAH DAN TAUBAT oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz – https://abufawaz.wordpress.com/2014/02/11/tanda-tanda-diterimanya-amal-ibadah-dan-taubat/
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…