Apakah Khutbah Jumat Harus Berbahasa Arab?

Pertanyaan:

Saya kebetulan baru pindah tugas ke daerah lain. Saat saya melaksanakan sholat Jumat di dekat kantor baru saya dan saya agak terkejut saat khutbah Jumat yang dilakukan dengan bahasa Arab. Awalnya saya berfikir mungkin orang di sana mengerti apa isi khutbah dan sayalah yang bodoh karena tidak faham bahasa Arab. Namun saat saya tanya salah satu orang asli di tempat saya sholat Jumat, ternyata sebagian besar jamaah sholat Jumat juga tidak memahami isi khutbah tersebut. Dan ternyata tidak hanya khutbah Jumat saja yang menggunakan bahasa Arab, ternyata khutbah sholat Ied juga menggunakan bahasa Arab

Yang ingin saya tanyakan yaitu:

  1. Apakah khutbah Jumat dengan menggunakan bahasa Arab diperbolehkan, meskipun tidak dipahami oleh sebagian besar jamaah?
  2. Apakah saya harus sholat Jumat di tempat lain, atau boleh sholat Jumat di masjid tersebut? karena ternyata masjid di sekitar tempat tinggal dan kantor saya menggunakan bahasa Arab untuk khutbah Jumat, dan masjid yang menggunakan bahasa yang saya pahami letaknya agak jauh.

Jawaban:

Bismillah was sholatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Ulama berbeda pendapat apakah khutbah Jumat harus berbahasa Arab. Ada tiga pendapat dalam masalah ini (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 19/180):

Pertama, khutbah disyaratkan harus berbahasa Arab, meskipun pendengar tidak memahami bahasa Arab. Ini merupakan pendapat Malikiyah (al-Fawakih ad-Dawani, 1/306) dan pendapat sebagian ulama Hambali (Kasyaf al-Qana’, 2/34).

Kedua, disyaratkan menggunakan bahasa Arab bagi yang mampu. Kecuali jika semua jamaah tidak memahami bahasa Arab, maka khatib menggunakan bahasa mereka. Ini merupakan pendapat yang masyhur di kalangan Syafiiyah (al-Majmu’, 4/522) dan pendapat sebagian Hambali.

Ketiga, dianjurkan menggunakan bahasa Arab dan bukan syarat. Khatib boleh menggunakan bahasa selain Arab. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah (Rad al-Mukhtar, 1/543) dan sebagian Syafiiyah.

Pendapat yang ketiga inilah yang lebih kuat, dan yang dipilih para ulama kontemporer. Di antara alasannya:

  1. Tidak ada dalil tegas yang mewajibkan khutbah harus berbahasa Arab.
  2. Tujuan inti khutbah adalah memberikan nasihat dan ceramah kepada masyarakat. Dan itu tidak mungkin bisa disampaikan kepada mereka, kecuali dengan bahasa yang dipahami jamaah.
  3. Sejalan dengan prinsip syariah, bahwa Allah mengutus para nabi-Nya dengan bahasa kaumnya. Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ

Tidaklah Kami mengutus seorang Rasul-pun, kecuali dengan bahasa kaumnya. Agar rasul itu menjelaskan (kebenaran) kepada mereka. (QS. Ibrahim: 4)

Kesimpulan menarik dari as-Syaukani:

ثم اعلم أن الخطبة المشروعة هي ما كان يعتاده صلى الله تعالى عليه وآله وسلم من ترغيب الناس وترهيبهم فهذا في الحقيقة روح الخطبة الذي لأجله شرعت, وأما اشتراط الحمد لله أو الصلاة على رسول الله أو قراءة شيء من القرآن فجميعه خارج عن معظم المقصود من شرعية الخطبة

Ketahuilah bahwa khutbah yang disyariatkan adalah khutbah yang biasa dilakukan Nabi , yaitu memotivasi masyarakat dan memberi peringatan bagi mereka. Pada hakikatnya, bagian ini adalah inti khutbah, yang karenanya, disyariatkan adanya khutbah Jumat. Sementara persyaratan memuji Allah, shalawat untuk Rasulullah , atau membaca beberapa ayat Alquran, semua ini bukan tujuan utama disyariatkannya khutbah.

Kemudian beliau menegaskan:

ولا يشك منصف أن معظم المقصود هو الوعظ دون ما يقع قبله من الحمد والصلاة عليه صلى الله تعالى عليه وآله وسلم, وقد كان عرف العرب المستمر أن أحدهم إذا أراد أن يقوم مقاما ويقول مقالا شرع بالثناء على الله وعلى رسوله وما أحسن هذا وأولاه, ولكن ليس هو المقصود بل المقصود ما بعده

 

Orang cerdas tidak akan ragu, bahwa tujuan utama dalam khutbah adalah nasihat (bagi jamaah), bukan pujian atau shalawat untuk Nabi . Hanya saja, kebiasaan masyarakat Arab turun-temurun, ketika mereka hendak menyampaikan ceramahnya, mereka mulai dengan memuji Allah dan shalawat untuk Nabi . Dan ini kebiasaan yang sangat bagus dan mulia. Namun, ini bukan tujuan utama khutbah. Yang menjadi inti khutbah adalah nasihat setelahnya. (ar-Raudhah an-Nadiyah, 1/137)

Al-Majma’ al-Fiqhi di bawah Rabithah Alam Islami juga menguatkan pendapat yang menyatakan, bahasa Arab BUKAN syarat khutbah Jumat. Dalam sebuah keputusannya dinyatakan:

الرأي الأعدل هو أن اللغة العربية في أداء خطبة الجمعة والعيدين في غير البلاد الناطقة بها ليست شرطاً لصحتها ، ولكن الأحسن أداء مقدمات الخطبة وما تضمنته من آيات قرآنية باللغة العربية ، لتعويد غير العرب على سماع العربية والقرآن ، مما يسهل تعلمها ، وقراءة القرآن باللغة التي نزل بها ، ثم يتابع الخطيب ما يعظهم به بلغتهم التي يفهمونها

Pendapat paling kuat, bahwa bahasa Arab untuk bahasa pengantar khutbah Jumat atau khutbah ‘Ied, di selain negeri yang tidak berbahasa Arab, bukanlah bagian dari syarat sah khutbah. Hanya saja yang terbaik, menyampaikan Mukaddimah khutbah dan ayat Alquran yang dibaca, menggunakan bahasa Arab, untuk membiasakan orang non- Arab agar mendengarkan bahasa Arab dan Alquran. Yang ini memudahkan mereka belajar bahasa Arab, serta membaca Alquran dengan bahasa asli dia diturunkan. Selanjutnya khatib bisa menyampaikan nasihat dengan bahasa mereka, yang bisa mereka pahami.

(Keputusan al-Majma’ al-Fiqhi, Volume 5, keputusan ke-5, hlm. 99)

Demikian, Allahu a’lam.

 

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)