بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

APAKAH HARUS MENGANGKAT TANGAN SETIAP BERDOA?
 
Mengangkat tangan ketika sedang berdoa adalah hal yang disyariatkan dalam Islam. Perbuatan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa. Bahkan juga termasuk hal-hal yang bisa membuat doa tersebut dikabulkan oleh Allah ﷻ. [Lihat Fiqh Al Ad’iyah wal Adzkar Oleh Syaikh Abdur Rozzaq Al Abbad 2/17]
 
Berkata Imam Ibnu Rajab rahimahullah:
“Mengangkat tangan adalah termasuk salah satu adab dalam berdoa, yang itu bisa membuat doa mustajabah.” [Lihat Jami’ Ulum Wal Hikam 1/253]
 
Dalam Kitab Ad Durar As Sunniyah fil Ajwibah An Najdiyah 4/158 disebutkan bahwa Syaikh Sa’id bin Haji tatkala ditanya tentang mengangkat tangan dalam berdoa beliau menjawab: “Banyak hadis yang menunjukkan disunnahkannya mengangkat tangan saat berdoa. Tidak ada yang mengingkari hal ini kecuali orang yang bodoh.”
 
Apakah Setiap Berdoa Harus Mengangkat Tangan?
 
Memang benar, mengangkat tangan ketika berdoa adalah salah satu sebab terkabulnya doa. Namun apakah ini berlaku dalam setiap kondisi? Inilah yang masih belum dipahami sebagian orang. Mereka menganggap bahwa setiap berdoa harus selalu mengangkat tangan.
 
Ternyata mengangkat tangan ketika berdoa tidak berlaku pada setiap kondisi. Ada beberapa contoh dari Nabi ﷺ yang menunjukkan, bahwa beliau ﷺ tidak mengangkat tangan ketika berdoa. Agar lebih jelas, mari kita perhatikan penjelasan Syaikh Ibnu Baz mengenai hukum mengangkat tangan ketika berdoa sesudah salat. Beliau rahimahullah dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan:
Tidak disyariatkan untuk mengangkat kedua tangan (ketika berdoa) pada kondisi yang kita tidak temukan di masa Nabi ﷺ mengangkat tangan pada saat itu. Contohnya adalah berdoa ketika selesai salat lima waktu, ketika duduk di antara dua sujud (membaca doa robbighfirli, pen) dan ketika berdoa sebelum salam, juga ketika khutbah Jumat atau shalat ‘Ied. Dalam kondisi seperti ini hendaknya kita tidak mengangkat tangan (ketika berdoa) karena memang Nabi ﷺ tidak melakukan demikian, padahal beliau ﷺ adalah suri tauladan kita dalam hal ini. Namun ketika meminta hujan pada saat khutbah Jumat atau khutbah ‘Ied, maka disyariatkan untuk mengangkat tangan, sebagaimana dilakukan oleh Nabi ﷺ.
 
Maka ingatlah kaidah yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) berikut:
“Kondisi yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tidak mengangkat tangan, maka tidak boleh bagi kita untuk mengangkat tangan. Karena perbuatan Nabi ﷺ termasuk sunnah. Begitu pula apa yang beliau ﷺ tinggalkan juga termasuk sunnah.”
 
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanyakan: “Bagaimanakah kaidah (dhobith) mengangkat tangan ketika berdoa?”
 
Beliau rahimahullah menjawab dengan rincian yang amat bagus:
 
Mengangkat tangan ketika berdoa ada tiga keadaan:
 
Pertama: Ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. Kondisi ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat tangan ketika berdoa. Contohnya adalah ketika berdoa setelah Salat Istisqo’ (salat minta diturunkannya hujan). Jika seseorang meminta hujan pada khutbah jumat atau khutbah Salat Istisqo’, maka dia hendaknya mengangkat tangan. Juga contoh hal ini adalah mengangkat tangan ketika berdoa di Bukit Shafa dan Marwah, berdoa di Arafah, berdoa ketika melempar Jumroh Al Ula pada hari-hari Tasyriq dan juga Jumroh Al Wustho.
 
Oleh karena itu, ketika menunaikan haji ada enam tempat untuk mengangkat tangan:
1. Ketika berada di Shafa,
2. Ketika berada di Marwah,
3. Ketika berada di Arafah,
4. Ketika berada di Muzdalifah setelah salat Subuh,
5. Di Jumroh Al Ula di hari-hari Tasyriq,
6. Di Jumroh Al Wustho di hari-hari Tasyriq.
 
Kondisi semacam ini tidak diragukan lagi bagi seseorang untuk mengangkat tangan ketika itu, karena adanya petunjuk dari Nabi ﷺ mengenai hal ini.
 
Kedua: Tidak ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. Contohnya adalah doa di dalam salat. Nabi ﷺ biasa membaca doa Istiftah: Allahumma ba’id baini wa baina khothoyaya kama ba’adta bainal masyriqi wal maghribi … Juga membaca doa di antara dua sujud: Robbighfirli. Juga berdoa ketika Tasyahud Akhir. Namun beliau ﷺ tidak mengangkat tangan pada semua kondisi ini. Begitu juga dalam khutbah Jumat. Beliau ﷺ berdoa, namun beliau tidak mengangkat kedua tangannya, kecuali jika meminta hujan (ketika khutbah tersebut).
 
Barang siapa mengangkat tangan dalam kondisi-kondisi ini dan semacamnya, maka dia telah terjatuh dalam perkara yang diada-adakan dalam agama (alias bidah), dan melakukan semacam ini terlarang.
 
Ketiga: Tidak ada dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ataupun tidak. Maka hukum asalnya adalah mengangkat tangan karena ini termasuk adab dalam berdoa.
 
Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ, “Sesunguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya. Jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya , lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.” Nabi ﷺ bersabda:
 
إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
 
“Sesunguhnya Rabb kalian tabaroka wa taala Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.” [HR. Abu Daud no. 1488 dan At Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadis ini Shahih]
 
Nabi ﷺ juga pernah menceritakan seseorang yang menempuh perjalanan jauh dalam keadaan kusut dan penuh debu, lalu dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya mengatakan: “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!” Padahal makanannya itu haram, pakaiannya haram, dan dia dikenyangkan dari yang haram. Bagaimana mungkin doanya bisa dikabulkan? [HR. Muslim no. 1015]
 
Dalam hadis ini Nabi ﷺ menjadikan mengangkat kedua tangan sebagai sebab terkabulnya doa.

Kesimpulannya:

Waktu-waktu yang ketika Nabi ﷺ masih hidup, namun beliau ﷺ tidak mengangkat tangan dalam berdoa ketika itu, maka tidak dibolehkan untuk mengangkat tangan. Sebab perbuatan beliau ﷺ adalah sunnah, amalan yang ditinggalkan juga sunnah (untuk ditinggalkan). Beliau ﷺ adalah tauladan yang baik dalam amalan yang akan datang dan yang telah lalu. Wajib mendasarkan amalan kepada apa-apa yang dibawa Nabi ﷺ, dan meninggalkan yang beliau ﷺ tinggalkan. [Dinukil dari Fiqhul Ad`iyyah Wal Adzkar, Syaikh Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad, 2/172-197, oleh Abu Nu`aim Al Atsar]

Semoga Allah senantiasa memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat, rezeki yang thoyib dan amalan yang diterima.

 
Sumber:
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat