بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

APA YANG HARUS DILAKUKAN KETIKA KITA MENEMUI KONDISI BERIKUT?

>> Jawaban dari Banyak Masalah Penting Yang Munking Pernah Kita Alami dalam Kehidupan Sehari-hari

Tulisan ini disadur dari risalah “Maadza Taf’alu Fil Haalaati At-Taliyah” karya Syaikh Muhammad Sholeh al-Munajid. Temukan jawaban untuk kasus-kasus penting, yang mungkin pernah kita alami dalam kehidupan sehari-hari.

Menghilangkan Penghalang Air Wudhu

>> Ketika seseorang berwudhu, ternyata di salah satu anggota wudhu ada bagian yang tertutupi benda tertentu, (misalnya cat untuk kuku), sehingga menghalangi air terkena bagian kulit. Apakah berusaha membersihkan benda semacam ini bisa menyebabkan wudhu seseorang terputus?

Jawaban:

Usaha membersihkan benda penghalang wudhu semacam ini, tidaklah menyebabkan wudhu terputus, menurut pendapat yang lebih kuat. Sehingga tidak perlu mengulangi wudhu dari awal. Meskipun anggota wudhu sebelumnya sudah kering. Sebagai contoh: seseorang berwudhu dengan sempurna. Giliran mencuci kaki, ternyata ada cat di kuku yang belum dibersihkan. Kemudian dia berusaha membersihkannya. Dalam kondisi semacam ini, dia tidak perlu mengulangi wudhu dari awal, tapi cukup mencuci kaki, setelah membersihkan bekas cat, meskipun wajah dan tangan sudah kering.

Penjelasannya:

Melakukan kegiatan di tengah-tengah wudhu hukumnya dibagi menjadi dua:

  1. Melakukan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan berwudhunya, seperti mengambil air, menyalakan pompa air, pindah dari satu kran ke kran yang lain, membersihkan benda najis di bagian anggota wudhu, atau membersihkan sesuatu yang menghalangi air dari anggota wudhu. Semua kegiatan ini TIDAK memutus wudhu, sehingga tidak perlu mengulangi wudhu dari awal, meskipun anggota wudhu sebelumnya telah kering.
  2. Melakukan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan wudhu, seperti membersihkan najis di pakaian, makan, minum, menolong orang, mengobrol, baik langsung maupun lewat telepon, atau yang lainnya. Kegiatan semacam ini, jika dilakukan di tengah-tengah wudhu, dan mengakibatkan anggota wudhu sebelumnya kering, maka wudhunya harus diulangi dari awal.

Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin [Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 11/146]

Darah Ketika Keguguran

>> Apabila seorang wanita mengalami keguguran, kemudian keluar darah, apa yang harus dilakukan?

Jawaban:

Kondisi semacam ini dikembalikan kepada jenis darah yang keluar, apakah darah nifas ataukah darah istihadhah. Para ulama memberikan batasan: “Darah yang keluar setelah wanita melahirkan karena keguguran, dan janin sudah berbentuk manusia, maka dihukumi darah nifas. Namun jika darah ini keluar, sementara janin yang keguguran baru sebatas segumpal darah atau daging, maka tidak dihukumi nifas.” [Al-Mughni, 1/392).

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin mengatakan:

Ketika janin yang keguguran belum berbentuk manusia, maka dalam keadaan ini darah yang keluar adalah darah istihadhah. Wanita ini disyariatkan untuk berwudhu setiap hendak melaksanakan shalat, setelah masuk waktu shalat, dan boleh langsung melaksanakannya. Adapun jika janin yang keguguran sudah berbentuk makhluk (manusia), atau sudah berada pada tahap pembentukan salah satu anggota badan, seperti tangan, kaki, atau kepala, maka darah yang keluar ketika persalinan dihukumi darah nifas.

Jika ada yang mengatakan: Proses persalinan ini dilakukan di rumah sakit, sementara para tim medis langsung mengambilnya dan mengamankannya, sehingga orang tuanya tidak tahu. Lalu apa yang harus dilakukan? Syaikh Utsaimin menjawab: Para pakar telah menyebutkan, bahwa batas waktu minimal, di mana bisa kelihatan pembentukan salah satu anggota badan adalah 81 hari usia kehamilan. [Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 4/292]

Komentar Syaikh Muhammad Munajid:

Namun selayaknya, masalah semacam ini dikonsultasikan kepada para dokter. Kemudian disesuai dengan prediksi dokter, sehingga dia bisa mendapatkan informasi yang lebih valid tentang janinnya.

Darah Yang Keluar Sebelum Melahirkan

>> Apa hukum darah yang keluar sebelum melahirkan?

Jawaban:

Tentang darah yang keluar beberapa saat sebelum melahirkan dirinci menjadi dua:

  1. Jika keluarnya darah tersebut disertai dengan sakitnya kontraksi karena proses pembukaan, maka darah adalah darah nifas.
  2. Jika keluarnya darah tersebut TIDAK disertai dengan kontraksi, maka darah itu bukan nifas, tetapi istihadhah.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menerangkan bahwa Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan:

Darah yang dilihat wanita ketika mulai berkontraksi, maka statusnya adalah darah nifas. Yang dimaksud kontraksi adalah proses pembukaan yang meruapakan tahapan proses melahirkan. Jika tidak disertai semacam ini, maka bukan nifas. [Majmu’ Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, 4/328]

Ketika Tidak Bisa Khusyu Dalam Shalat

>> Apa yang harus dilakukan, ketika kita merasa mendapat gangguan dari setan, terlintas pikiran yang mengganggu konsentrasi shalat, sehingga menyebabkan kita tidak bisa khusyu dalam shalat?

Jawaban:

Kasus semacam ini pernah dialami oleh salah seorang sahabat, yaitu Utsman bin Abil ‘Ash radhiallahu ‘anhu. Beliau datang kepada Nabi ﷺ mengadukan gangguan yang dia alami ketika shalat. Kemudian beliau ﷺ bersabda:

ذاك شيطان يقال له خنزب فإذا أحسسته فتعوذ بالله منه واتفل على يسارك ثلاثاً

“Itu adalah setan, namanya Khinzib. Jika kamu merasa diganggu, mintalah perlilndungan kepada Allah dari gangguannya, dan meludahlah ke kiri tiga kali.”

Kata Utsman: Akupun melakukannya, kemudian Allah menghilangkan gangguan itu dariku. [HR. Muslim no. 2203]

Pelajaran Hadis:

  1. Dalam hadis di atas, Nabi ﷺ mengajarkan kepada kita dua cara untuk menghilangkan gangguan setan dalam shalat:
  2. Memohon perlindungan kepada Allah, dengan membaca Ta’awudz (a-‘udzu billahi minas syaithanir rajiim). Bacaan ini dilafalkan, BUKAN dibatin. Dan ini hukumnya dibolehkan dan TIDAK membatalkan shalat.
  3. Meludah ringan ke kiri. Bentuknya dengan meniupkan udara yang mengandung sedikit air ludah. Ini dibolehkan, dengan syarat tidak mengganggu orang yang berada di sebelah kirinya, dan tidak mengotori masjid.

Allahu a’lam

Azan Subuh Terdengar Ketika Shalat Witir

>> Ketika sedang melaksanakan shalat Witir, tiba-tiba di tengah shalat terdengar azan Subuh. Bolehkah kita melanjutkan shalat Witir?

 

Jawaban:

Ketika seseorang mendengar azan Subuh, sementara dia sedang shalat Witir, maka dia sempurnakan shalat Witirnya, dan semacam ini dibolehkan. [Fatawa Islamiyah Syaikh Ibn Utsaimin, 1:346]

Permasalahan semacam ini sebenarnya termasuk dalam pembahasan waktu shalat Witir. Ulama berselisih pendapat, apakah berakhirnya waktu shalat Witir itu sampai terbit fajar ataukah sampai selesainya shalat Subuh. Mayoritas Ulama berpendapat, waktu berakhirnya shalat Witir adalah sampai terbit fajar. Meskipun banyak ulama lainnya yang membolehkan shalat Witir setelah azan Subuh, bagi yang berhalangan, sehingga tidak bisa melaksanakannya sebelum Subuh. [Mausu’ah Fiqhiyah Muyassarah]

Belum Ashar Tetapi Shalat Maghrib Sudah Dimulai

>> Ketika seseorang belum sempat melaksanakan shalat Ashar karena alasan yang dibenarkan, kemudian di datang ke masjid, dan ternyata shalat Maghrib telah dimulai, apa yang harus dilakukan?

Jawaban:

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah mengatakan:

Dia disyariatkan untuk melaksanakan shalat Maghrib berjamaah bersama imam, kemudian shalat Ashar. Ini berdasarkan kesepakatan ulama. Apakah orang ini harus mengulangi shalat Maghribnya, setelah mengerjakan shalat Ashar? Dalam hal ini ada dua pendapat:

  1. Dia harus mengulangi Maghribnya. Ini adalah pendapat Ibn Umar, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
  2. Tidak perlu mengulangi Maghribnya. Ini adalah pendapat Ibn Abbas, Imam Syafi’i, dan pendapat kedua Imam Ahmad.

Pendapat kedua lebih kuat. Karena Allah tidaklah mewajibkan seorang hamba untuk melaksanakan shalat wajib dua kali, jika sikapnya ini disebabkan adanya uzur, diperbolehkan. [Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, 22:106]

Makmum TidakMengetahui Apakah Imam Musafir atau Mukim

>> Ketika seorang musafir hendak mengikuti shalat jamaah, sementara dia tidak tahu apakah imamnya itu musafir ataukah penduduk asli, kemudian si musafir ini mengikuti shalat jamaah menjadi makmum, apakah dia niatkan untuk qashar ataukah niat sebagaimana shalatnya orang mukim, empat rakaat?

Jawaban:

Yang lebih kuat, hendaknya dia melihat ciri imamnya, sehingga bisa memerkirakan, apakah dia musafir ataukah mukim. Kemudian dia mengambil sikap sebagaimana dugaan kuat yang dia ketahui. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibn Abbas, bahwa beliau ditanya: Mengapa musafir shalatnya diqashar ketika sendirian dan empat rakaat ketika menjadi makmum orang yang mukim? Beliau menjawab: “Itu adalah sunnah Abul Qasim (Nabi Muhammad ﷺ).” Hadis ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam ta’liq beliau untuk musnad Imam Ahmad.

Catatan:

Seorang musafir menjadi makmum masbuk, ketinggalan dua rakaat, dan dia berniat qashar, karena beranggapan imamnya seorang musafir, padahal imamnya bukan musafir. Setelah salam bersama imam, dia mendapat info, bahwa imam bukan musafir. Maka dia harus menambahi dua rakaat lagi untuk menyempurnakan shalatnya dan Sujud Sahwi setelah salam. Demikian keterangan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’, 4:356. Syaikh Muhammad al-Munajid menambahkan: Pembicaraan yang dilakukan orang ini di sela-sela shalatnya (setelah salam di rakaat kedua), tidaklah menyebabkan shalatnya putus. Namun dia dibolehkan melanjutkan dan menyempurnakan shalatnya, tanpa harus memulai dari awal. Selama pembicaraan itu bertujuan untuk kepentingan shalatnya.

Bolehnya Melakukan Gerakan Ringan di Luar Shalat, Bila Ada Kebutuhan Mendesak

>> Ketika di tengah shalat, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Atau ada seorang ibu yang shalat, sementara bayinya melakukan tindakan yang berbahaya, apa yang harus dilakukan?

Jawaban:

Dibolehkan bagi orang yang shalat untuk melakukan gerakan ringan, karena suatu kebutuhan yang mendesak, dengan syarat, tidak mengubah arah Kiblatnya. Seperti membukakan pintu yang berada di arah Kiblat.

Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Abu Daud, dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan:

Rasulullah ﷺ pernah shalat, sementara pintu rumah terkunci. Kemudian saya datang, dan saya minta agar dibukakan. Beliau ﷺ pun berjalan dan membukakan pintu, lalu beliau kembali lagi ke tempat shalatnya. Disebutkan bahwa pintu rumah beliau berada di arah Kiblat. [HR. Abu Daud no. 922 dan dishahihkan al-Albani]

Demikian pula seorang ibu yang sedang shalat, dan dia melihat anaknya melakukan hal yang membahayakan, maka dia dibolehkan untuk melakukan gerakan ringan ke kanan, ke kiri, ke depan, atau belakang. Dan ini tidak merusak shalatnya. Termasuk dalam hal ini adalah orang yang shalat, tiba-tiba sarungnya mau lepas, maka dia dibolehkan untuk melakukan gerakan dalam rangka mengencangkan sarungnya. Bahkan dalam kondisi tertentu yang sangat mendesak, syariat membolehkan melakukan gerakan yang banyak, meskipun menyebabkan Kiblatnya berubah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Bunuhlah dua hewan yang hitam (meskipun) ketika sedang shalat, yaitu ular dan kalajegking.” [HR. Abu Daud no. 921 dan dishahihkan al-Albani]

Cara Menjawab Salam Ketika Shalat

>> Bagaimana cara menjawab salam ketika shalat?

Jawaban:

Dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: “Saya melewati Nabi ﷺ ketika beliau sedang shalat. Kemudian saya mengucapkan salam kepada beliau dan beliau menjawabnya dengan isyarat.” [HR. Abu Daud no. 925 dan dishahihkan al-Albani)

Bagaimana Cara Isyaratnya?

Disebutkan dalam beberapa riwayat, di antaranya dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: Rasulullah ﷺ pernah berangkat menuju masjid Quba untuk melaksanakan shalat. Kemudian datanglah sekelompok masyarakat Anshar dan mengucapkan salam kepada beliau ﷺ, ketika beliau sedang shalat. Ibn Umar bertanya kepada Bilal: “Bagaimana yang kamu lihat ketika Nabi ﷺ menjawab orang Anshar yang mengucapkan salam kepada beliau, sementara beliau ﷺ sedang shalat?” Bilal menjawab: “Beliau ﷺ berisyarat seperti ini.” Bilal membuka telapak tangannya. Salah seorang perawi yang bernama Ja’far bin ‘Aun membuka telapak tangannya, di mana bagian telapak tangan mengarah ke bawah dan bagaian punggung mengarah ke atas. [HR. Abu Daud no. 927 dan dishahihkan al-Albani]

>> Supaya Tidak Malu, Bagaimana Cara Meninggalkan Tempat Shalat Ketika Berhadats?

Jika ada orang yang berhadats ketika shalat jamaah, apa yang harus dia lakukan untuk bisa meninggalkan tempat, tanpa menimbulkan rasa malu?

Jawaban:

Hendaknya dia pegang hidungnya, kemudian keluar. Dalil tentang hal ini adalah hadis dari A’isyah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا أَحْدَثَ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَأْخُذْ بِأَنْفِهِ ثُمَّ لِيَنْصَرِفْ

“Apabila kalian berhadats ketika shalat jamaah, maka hendaknya dia pegang hidungnya kemudian dia meninggalkan tempat.” [HR. Abu Daud no. 1114 dan dishahihkan al-Albani)

Imam at-Thibi mengatakan: Adanya perintah memegang hidung ketika batal shalatnya, agar dikira dia mimisan. Dan ini tidak termasuk berbohong, namun sebatas menutupi keadaan dengan perbuatan. Tindakan semacam ini mendapatkan keringanan, agar setan tidak menggodanya untuk tidak melaksanakan jamaah karena malu dengan jamaah lainya. [Lihat Mirqatul Mafatih, 3: 18]

Syaikh Muhammad Munajid memberika komentar:

Semacam ini termasuk tauriyah yang dibolehkan, dan tindakan menutupi diri dengan bentuk yang terpuji, dalam rangka menghilangkan rasa malu. Sehingga orang yang melihatnya menyangka, kalau dia keluar disebabkan mimisan di hidungnya. Disamping itu, manfaat lain dari petunjuk Nabi ﷺ ini adalah untuk menghilangkan godaan setan, dengan tetap berada di shaf atau melanjutkan jamaah, sementara dia berhadats. Ini merupakan tindakan yang tidak Allah ridhai. Betapa tidak, padahal Nabi ﷺ mensyariatkan untuk pergi.

Meski Sudah Shalat, Tetap Diperintahkan Shalat Lagi. Kenapa?

>> Seseorang telah melaksanakan shalat di suatu masjid, kemudian dia berangkat menuju masjid yang lain untuk acara kegiatan tertentu, seperti kajian atau yang lainnya. Sesampainya di masjid kedua, ternyata shalat belum selesai. Apa yang harus dia lakukan?

Jawaban:

Hendaknya dia masuk masjid dan langsung ikut shalat berjamaah, dan dia niatkan sebagai shalat sunnah. Shalat ini boleh dilakukan, meskipun dilakukan di waktu-waktu yang terlarang untuk shalat. Dalilnya adalah hadis dari Yazid bin Aswad radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

Aku ikut haji bersama Nabi ﷺ. Kemudian aku shalat Subuh bersama beliau ﷺ di Masjid Khaif. Setelah selesai shalat, beliau ﷺ berbalik. Tiba-tiba ada dua orang duduk di belakang yang tidak ikut shalat bersama beliau ﷺ. Beliau ﷺ bersabda: “Suruh dua orang itu ke sini.” Keduanya pun disuruh menghadap Nabi ﷺ, sementara badannya gemetaran (karena takut). Beliau ﷺ bertanya: “Apa yang menghalangimu, sehingga tidak shalat jamaah bersama kami?” Mereka menjawab: Wahai Rasulullah, kami tadi sudah shalat di jalan. Kemudian beliau ﷺ bersabda: “Jangan kamu lakukan itu. Jika kalian telah shalat di jalan, kemudian kalian singgah di masjid yang sedang dilaksanakan jamaah, ikutlah shalat bersama mereka. Sesungguhnya shalat yang kedua ini menjadi shalat sunnah bagi kalian.” [HR. Turmudzi no. 219 dan dishahihkan al-Albani]

Syaikh Muhammad Munajid mengatakan:

Dalam hadis di atas disebutkan, bahwa kedua orang tersebut datang ke masjid setelah melaksanakan shalat Subuh. Dan ini termasuk waktu terlarang. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha’, dari Mihjan radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berada di majelis Nabi ﷺ. Tiba-tiba azan dikumandangkan. Rasulullah ﷺ pun melaksanakan shalat bersama jamaah, sementara Mihjan tetap berada di tempat duduknya dan tidak ikut shalat berjamaah. Rasulullah ﷺ bertanya: “Apa yang menghalangimu untuk ikut shalat jamaah? Bukankah kamu seorang Muslim?” Mihjan menjawab: “Betul, wahai Rasulullah, akan tetapi saya sudah shalat di rumahku.” Nabi ﷺ bersabda: “Jika kamu datang (di masjid), shalatlah berjamaah bersama masyarakat. Meskipun kamu sudah shalat.” [Al-Muwatha’, 1:130 dan dishahihkan al-Albani]

Ketika Hendak Shalat, Tapi Tidak Tahu Arah Kiblat

>> Jika dalam suatu tempat kita tidak tahu arah Kiblat, apa yang harus dilakukan?

Jawaban:

Yang harus dilakukan ketika orang hendak shalat, sementara dia tidak tahu Kiblat adalah:

Ibn Qudamah [Al-Mughni dengan as-Syarhul Kabir, 1: 490] mengatakan:

Orang yang tidak tahu arah Kiblat, maka dia wajib bertanya jika memungkinkan. Jika tidak, maka dia boleh berijtihad (berusaha mencari berdasarkan indikator tertentu), jika dia mampu melakukannya. Jika dia tidak mampu (sementara dia rombongan), maka dia mengikuti orang yang layak untuk diikuti dalam masalah ini. Jika tidak ada yang bisa diikuti (karena sama-sama tidak tahu), maka bertaqwalah kepada Allah semampunya, dan dia boleh shalat (ke arah yang dia yakini sebagai Kiblat) dan shalatnya sah (meskipun bisa jadi Kiblatnya salah). Akan tetapi bagi orang yang memungkinkan untuk mencari arah Kiblat, namun dia santai dan tidak berusaha mencarinya, kemudian langsung shalat, maka shalatnya batal dan wajib diulangi, karena orang ini dianggap meremehkan (arah Kiblat).

Jika Masing-Masing Anggota Rombongan Anggota Berbeda Pendapat dalam Menentukan Arah Kiblat

>> Jika dalam rombongan masing-masing anggota berbeda pendapat dalam menentukan arah Kiblat, bagaimana solusinya?

Jawaban:

Ulama berselisih pendapat tentang bolehnya mengikuti anggota rombongan yang lain. Apakah sah shalat salah satu anggota rombongan yang bermakmum di belakang anggota rombongan yang lain, sementara keduanya berbeda pendapat dalam menentukan arah Kiblat? Namun jika ada di antara mereka yang sama sekali tidak memahami Kiblat, maka dia harus memilih salah satu anggota rombongan yang paling bisa dipercaya dalam menentukan arah Kiblat, kemudian dia ikuti. [Al-Mughni dengan as-Syarhul Kabir, 1:473]

Jika ada orang yang shalat berjamaah, kemudian di tengah-tengah shalat mereka sadar bahwa arah Kiblatnya keliru, maka mereka harus bersama-sama mengubah arah Kiblat TANPA membatalkan shalat. Demikian pula, untuk orang yang shalat sendirian. Jika di tengah shalat, dia diberi tahu bahwa arah Kiblatnya salah, maka wajib untuk langsung mengubah arah, tanpa membatalkan shalat, kemudian langsung melanjutkannya.

Dalilnya adalah hadis Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

Dulu Rasulullah ﷺ shalat menghadap ke Baitul Maqdis (Palestina). Kemudian turun firman Allah:

قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك قبلة ترضاها فولِّ وجهك شطر المسجد الحرام

“Kami telah mengetahui bolak-balik wajahmu yang menengadahkan ke langit. Sungguh Kami akan mengubah arah Kiblat ke arah yang kamu inginkan. Karena itu, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” [QS. Al-Baqarah: 144]

Setelah itu ada seseorang yang mendatangi Bani Salamah. Ketika itu mereka sedang shalat Subuh pada posisi sedang rukuk di rakaat kedua, kemudian orang ini berteriak: “Ketahuilah, arah Kiblat telah dipindah (ke Baitullah).” Kemudian jamaah ini memutar diri mereka ke arah Kiblat dalam posisi sebagaimana sebelumnya (rukuk). [HR. Muslim, no. 527]

Jika Makmum Ketinggalan Beberapa Gerakan Imam

>> Seorang wanita yang shalat berjamaah di balik tabir, sehingga tidak bisa melihat gerakan makmum lelaki, sementara suara imam tidak terdengar karena sebab tertentu, atau makmum ngantuk, sehingga ketinggalan beberapa gerakan imam, apa yang harus dilakukan?

Jawaban:

Dalam kondisi semacam ini, yang harus dilakukan makmum adalah melakukan rukun yang ketinggalan, hingga bisa mengejar imam. Ada beberapa keadaan, yang bisa dibawa dalam permasalahan ini:

Pertama: Imam membaca Ayat Sajdah, kemudian takbir. Makmum yang tidak melihat mengira imam Sujud Tilawah. Padahal aslinya imam rukuk. Setelah itu imam membaca: “sami’allahu liman hamidah”, sehingga makmum tadi tidak sempat melaksanakan rukuk bersama imam. Untuk kasus semacam ini, makmum tersebut harus langsung melaksanakan rukuk, i’tidal, hingga bisa menyusul imam. Karena mereka menyelisihi imam di luar kesengajaan.

Kedua, orang yang memerlama sujud agar bisa lebih banyak berdoa, sehingga dia ketinggalan rukun setelahnya bersama imam, Mayoritas Ulama berpendapat: Orang yang ketinggalan dua rukun berturut-turut bersama imam dengan sengaja dan tanpa uzur yang dibenarkan, maka shalatnya batal. [Kasyaful Qana’, 1: 467]

Dalil yang menunjukkan wajibnya mengikuti imam adalah sabda Nabi ﷺ:

إنما جعل الإمام ليؤتم به، فلا تختلفوا عليه، فإن ركع فاركعوا، وإذا قال سمع الله لمن حمده، فقولوا: ربنا لك الحمد، وإذا سجد فاسجدوا، وإذا صلّى جالساً فصلوا جلوساً أجمعون

“Sesungguhnya imam ditunjuk untuk diikuti. Karena itu janganlah kalian menyelisihinya. Jika dia rukuk, maka rukuklah kalian. Jika dia mengucapkan: Sami’allahu liman hamidah, maka ucapkanlah: Robbanaa lakal hamdu. Jika dia sujud, maka sujudlah. Jika dia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian semua sambil duduk.” [HR. Bukhari, no. 689]

Tiba-Tiba Imam Teringat Dia Belum Bersuci

>> Ketika shalat jamaah sedang berlangsung, tiba-tiba imam teringat, bahwa dia belum bersuci, apa yang dilakukan?

Jawaban:

Ada tiga cara yang bisa dilakukan imam:

  • Pertama, dia membatalkan shalat, keluar dari jamaah, dan menunjuk salah seorang di belakangnya untuk menggantikan posisinya sebagai imam hingga shalat selesai. Sebagaimana terdapat riwayat dari Umar, Ali, Alqamah, dan Atha’. Di antaranya adalah riwayat dari Umar bin Khatab radhiallahu ‘anhu, bahwa setelah beliau ditikam Abdullah bin Saba’, umar memegang tangan Abdurrahman bin Auf, dan menyuruhnya untuk menggantikan posisinya. Hadis ini diriwayatkan Bukhari (7/60). Tindakan Umar ini dilakukan di depan para sahabat, dan tidak ada satu pun yang mengingkarinya, sehingga dihukumi sebagai kesepakatan mereka.
  • Kedua, imam membatalkan shalat dan tidak menunjuk pengganti. Kemudian masing-masing makmum shalat sendiri-sendiri. Ini adalah pendapat Imam as-Syafi’i.
  • Ketiga, imam menyuruh makmum untuk tetap diam di tempat (tidak membatalkan shalat). Kemudian imam bersuci, lalu kembali ke tempat semula dan melanjutkan shalat jamaah. Ini berdasarkan hadis dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم، دخل في صلاة الفجر فأومأ بيده أن مكانكم ثم جاء ورأسه يقطر فصلى بهم

Bahwa Rasulullah ﷺ mengimami sahabat shalat Subuh. Tiba-tiba beliau ﷺ berisyarat kepada para sahabat agar tetap berada di tempatnya. (Kemudian beliau pergi), lalu beliau kembali, sementara kepalanya meneteskan air, dan beliau shalat jamaah bersama mereka. [HR. Abu Daud no. 233 dan dishahihkan al-Albani]

Imam Abu Daud membuat judul bab untuk hadis ini:

باب فى الجنب يصلى بالقوم وهو ناس

Bab, Orang Junub Mengimami Shalat Jamaah Karena Lupa. [Sunan Abu Daud, 1/93]

Dalam Syarh Abu Daud, Imam al-Khatabi mengatakan:

Dalam hadis ini terdapat dalil, bahwa jika ada imam yang shalat dalam keadaan junub, sementara makmum tidak tahu bahwa imam junub, maka shalatnya tetap dilanjutkan dan tidak wajib diulangi. Sedangkan imam wajib mengulangi shalatnya. [Ma’alimus Sunan, 1/78]

Jikat Makmum Melihat Aurat Imam Terbuka Ketika Shalat

>> Makmum melihat aurat imam terbuka dari belakang ketika shalat, baik karena bajunya robek atau terlalu ketat sehingga tertarik. Apa yang harus dilakukan makmum?

Ada dua cara yang bisa dilakukan makmum:

  • Pertama, dia maju kemudian membenahi pakaian imam atau menutupinya dengan kain yang lain. Cara pertama ini jika memungkinkan untuk dilakukan.
  • Kedua, membatalkan shalatnya dan keluar dari jamaah, kemudian mengingatkan imam. Misalnya dengan mengatakan: tutup aurat kita atau semacamnya.

Makmum yang mengetahui aurat imam terbuka tidak boleh diam saja dan tetap melanjutkan shalat. Karena dia mengetahui, bahwa shalatnya imam tidak sah (dengan terbukanya aurat, pen), sehingga bermakmum di belakangnya juga tidak sah. [Demikian keterangan dari Fatwa Syaikh Ibn Baz secara lisan]

Jika Imam Lupa Salah Satu Ayat yang Dia Baca

>> Jika imam lupa salah satu ayat yang dia baca, sementara tidak ada satu pun makmum yang mengingatkannya, apa yang harus dilakukan?

Jawaban:

Jika ayat yang kelupaan itu selain al-Fatihah, maka imam bisa melakukan beberapa pilihan:

  1. Berhenti membaca dan langsung rukuk
  2. Membaca ayat atau surat yang lain

Akan tetapi jika yang kelupaan adalah bacaan al-Fatihah, maka wajib dibaca semuanya, dan tidak boleh ada yang salah atau lupa. Karena membaca al-Fatihah merupakan rukun shalat. [Fatwa Ibnu Baz dalam Fatawa Islamiyah no. 396]

Bagaimana Jika Makmum Lupa Membaca Al-Fatihah?

>> Bagaimana jika makmum lupa membaca al-Fatihah, atau salah dalam membaca al-Fatihah? Padahal tidak mungkin ada yang mengingatkan.

Shalatnya makmum tetap sah, selama dia berjamaah bersama imam yang shalatnya sah. Dalilnya adalah hadis Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, yang ikut bergabung ke dalam jamaah ketika Nabi ﷺ sedang rukuk, dan dia (Abu Bakrah – pent) tidak membaca al-Fatihah. Kemudian Nabi ﷺ bersabda kepadanya:

زادك الله حرصاً ولا تعد

“Semoga Allah menambahkan semangatmu, dan jangan diulangi” [HR. Bukhari, no. 750]

Maksud beliau ﷺ adalah, jangan diulangi sikap buru-buru, karena Abu Bakrah datang sambil berlari untuk mengejar rukuknya imam.

Berdasarkan hadis ini, jika makmum lupa membaca al-Fatihah, atau tidak bisa membacanya, atau dia mulai ikut shalat jamaah ketika imam sedang rukuk, maka dalam kondisi ini shalatnya sah, dan tidak perlu diulangi. Karena dia tidak tahu, atau lupa. Ini merupakan pendapat Mayoritas Ulama. [Fatwa Syaikh Ibn Baz dalam Fatawa Islamiyah, 1/263]

Lupa Membaca: Subhana Rabbiyal Adziim Ketika Rukuk

>> Jika ada orang yang shalat melakukan I’tidal, setelah berdiri dia ingat, bahwa dia belum membaca: Subhana rabbiyal adziim ketika rukuk. Apa yang harus dilakukan?

Jawaban:

Orang ini tidak boleh kembali rukuk, karena kesempatan membaca doa rukuk telah berlalu dengan dia mulai i’tidal. Jika dia tetap kembali rukuk dengan sengaja, maka shalatnya batal, karena dia dianggap menambahi rukun shalat, yaitu rukuk dua kali dalam satu rakaat. Jika dia kembali rukuk karena lupa, maka salatnya tidak batal.

Selanjutnya, dalam kondisi lupa membaca doa rukuk, hendaknya dia melakukan Sujud Sahwi, jika dia salat sendirian atau menjadi Imam. Karena membaca doa rukuk hukumnya wajib, dan bisa ditutupi dengan Sujud Sahwi jika kelupaan.

Adapun jika dia sebagai makmum, maka kewajiban itu gugur, ketika dia lupa membacanya. Sehingga tidak perlu Sujud Sahwi. [Al-Mughni dengan as-Syarh al-Kabir, 1/679]

Ketika Makmum yang Masbuk Berdiri untuk Menyempurnakan Rakaat yang Ketinggalan, Tiba-Tiba Imam Sujud Sahwi Setelah Salam

>> Jika imam salam, kemudian makmum yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan rakaat yang ketinggalan, tiba-tiba imam Sujud Sahwi setelah salam. Apa yang harus dilakukan makmum tersebut?

Jawaban:

Ada dua pilihan yang bisa dia lakukan, sesuai kondisinya:

  1. Jika makmum belum berdiri sempurna, maka dia kembali dan ikut Sujud Sahwi bersama imam.
  2. Jika dia sudah berdiri sempurna, maka dia tidak perlu kembali dan dilanjutkan menyelesaikan shalatnya. Kemudian setelah selesai salam, dia Sujud Sahwi. [Al-Mughni dengan as-Syarh al-Kabir, 1/697]

Bagaimana Cara Mengingatkan Imam Ketika Dia Lupa dan Meninggalkan Salah Satu Rukun Shalat?

>> Jika imam lupa dalam bentuk meninggalkan sujud kedua, kemudian para makmum mengingatkan dengan membaca tasbih, Subhanallah, namun imam tidak paham di mana letak kesalahannya, lalu imam malah berdiri ke rakaat berikutnya, karena mengira itu yang benar, apa yang harus dilakukan makmum?

Jawaban:

Para ulama memberikan keterangan terkait dengan cara memahamkan imam. Di antaranya adalah dengan mengeraskan bacaan untuk rukun yang ditinggalkan. Misalnya makmum mengeraskan bacaan: ‘subhana rabbiyal a’la‘ jika yang ditinggalkan adalah sujud, atau ‘rabbighfirlii….‘ jika yang ditinggalkan adalah duduk di antara dua sujud, dst.  [Al-Mughni dengan as-Syarh al-Kabir, 1/707]

 

***

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits

[Muslimah.or.id]

Sumber:

https://Muslimah.or.id/2019-apa-yang-harus-anda-lakukan-ketika-kondisi-berikut-bagian-1.html

https://Muslimah.or.id/2161-apa-yang-harus-anda-lakukan-ketika-kondisi-berikut-bagian-2.html

https://Muslimah.or.id/2420-apa-yang-harus-anda-lakukan-dalam-kondisi-berikut-bagian-3.html

https://Muslimah.or.id/2631-apa-yang-harus-anda-lakukan-dalam-kondisi-berikut-bagian-4.html