Di antara yang wajib diketahui oleh kita adalah ilmu tentang pembatal-pembatal puasa, apa saja yang dapat membatalkannya. Sebab puasa barulah sah dan diterima, jika kita meninggalkan pembatalnya.
Hal-hal yang dapat membatalkan puasa adalah sebagai berikut.
1. Jimak (bersetubuh/berhubungan intim) di siang hari
2. Makan
3. Minum
Dalil bahwa makan, minum, dan jimak termasuk pembatal puasa adalah firman Allah ﷻ:
“Maka sekarang campurilah mereka (istri), dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga datang malam.” [QS. Al-Baqarah: 187]
4. Mengeluarkan mani dengan syahwat
Dalilnya adalah firman Allah ﷻ di dalam Hadis Qudsi tentang puasa:
“Hubungan badan antara kalian (dengan istri atau hamba sahaya kalian) adalah sedekah.
Para sahabat lantas ada yang bertanya pada Rasulullah ﷺ: ‘Wahai Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu mendapatkan pahala?’
Beliau ﷺ menjawab: ‘Bukankah jika kalian bersetubuh pada yang haram, kalian mendapatkan dosa? Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala.’” [HR. Muslim no. 1006]
Sesuatu yang ditempatkan, yakni maksudnya adalah mani yang memancar. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat bahwa madzi tidak membatalkan puasa, meskipun keluar dengan syahwat dan cumbuan, tanpa terjadi hubungan badan.
5. Hal-hal yang serupa dengan makan dan minum
Yaitu injeksi (infus) asupan yang membuat seseorang tidak membutuhkan makan dan minum. Hal ini meskipun bukan makanan dan minuman, tetapi semakna dengan makan dan minum, yang mana ia tidak lagi memerlukan makan dan minum disebabkan injeksi tersebut.
Sesuatu yang serupa dengan suatu hal, maka ia dihukumi sebagaimana hal tersebut. Oleh karena itu tubuh tetap mendapatkan asupan dengan injeksi tersebut, meskipun tubuh tidak memeroleh asupan dari sumber yang lain. Adapun injeksi yang tidak memberikan asupan dan tidak menggantikan posisi makan dan minum, maka ini tidak membatalkan puasa, baik seseorang memasukkannya ke dalam pembuluh darah, otot, maupun tempat yang lain dari badannya.
6. Muntah dengan sengaja
Yaitu seseorang memuntahkan isi perutnya sehingga keluar dari mulutnya. Hal ini sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang muntah dengan sengaja, maka wajib mengqadha. Dan barang siapa yang muntah tanpa sengaja, maka tidak ada qadha baginya.” [HR. Abu Dawud no. 2380 dan Tirmidzi no. 720]
Hikmahnya, apabila seseorang muntah dengan sengaja, maka perutnya akan kosong dari makanan, sehingga badan membutuhkan makanan yang akan mengisi perutnya yang kosong. Oleh karena itu kami katakan: ‘Apabila puasanya adalah puasa wajib, maka tidak boleh bagi seseorang untuk muntah dengan sengaja, karena jika ia melakukannya, maka puasa wajibnya akan batal.
7. Keluarnya darah dengan bekam
Hal ini sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ
“Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.” [HR. Bukhari no. 1937 dan Tirmidzi no. 774]
8. Keluarnya darah haid dan nifas
Ini sebagaimana sabda Nabi ﷺ tentang wanita:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah jika seorang wanita haid maka ia tidak salat dan tidak puasa.” [HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79]
Para ulama rahimahumullah bersepakat, bahwa puasanya wanita yang haid maupun nifas tidak sah.
Pembatal-pembatal puasa tidaklah merusak puasa kecuali dengan tiga syarat:
a) Ilmu
Yakni mengetahui hukum syari, dan mengetahui kondisi, yaitu waktu. Apabila ia tidak mengetahui hukum syari atau waktu, maka puasanya sah.
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau menyiksa kami jika kami lupa atau keliru.” [QS. Al-Baqarah: 286]. Dalam hadis disebutkan, bahwa Allah telah memenuhi hal tersebut.
“Tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian keliru padanya. Tetapi yang ada dosanya adalah apa yang disengaja oleh hatimu.” [QS. Al-Ahzab: 5]
Kedua ayat ini merupakan dalil yang umum.
Demikian pula dalil dari hadis yang merupakan dalil khusus mengenai puasa. Di dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berpuasa dan meletakkan dua ‘iqal, tali yang dipakai untuk mengikat kaki depan unta ketika menderum, di bawah bantal. Salah satu tali berwarna hitam, dan satunya putih. Ia mulai makan dan minum hingga nampak jelas tali warna putih dari tali warna hitam, kemudian dia menahan diri dari makan dan minum.
Ketika pagi hari, ia menemui Rasulullah ﷺ lalu menyampaikan apa yang ia lakukan. Lantas Nabi ﷺ menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan tali putih dan hitam di dalam ayat adalah tanda yang telah dikenal. Maksud dari tali putih adalah terangnya siang, sedangkan tali hitam adalah gelapnya malam. Meskipun demikian Nabi ﷺ tidak menyuruhnya mengqadha puasa. [HR. Bukhari no. 1916 dan Muslim 1090], karena ia tidak tahu hukum, dan mengira itulah makna ayat yang mulia.
Adapun ketidaktahuan dengan waktu, terdapat dalil di dalam Sahih Bukhari dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha ia berkata:
“Di zaman Nabi ﷺ kami pernah tidak puasa pada suatu hari yang mendung, tetapi kemudian ternyata matahari muncul kembali.” [HR. Bukhari no. 1959]
Asma tidak menyebutkan bahwa Nabi ﷺ memerintahkan para sahabat untuk mengqadha puasa disebabkan ketidaktahuan mereka tetang waktu. Seandainya qadha hukumnya wajib, tentu Nabi ﷺ akan memerintah mereka. Dan seandainya Nabi ﷺ menyuruh mereka, tentu hal itu akan disampaikan kepada umat, sebagaimana firman Allah ﷻ:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [QS. Al-Hijr: 9]
Ketika hal tersebut tidak disampaikan, padahal telah terpenuhi faktor-faktor pendorong untuk menyampaikannya, maka diketahui bahwa Nabi ﷺ tidak memerintahkan qadha. Apabila Nabi ﷺ tidak menyuruhnya, diketahui bahwa qadha tidaklah wajib.
Contoh yang lain, apabila seseorang bangun tidur dan ia mengira bahwa masih malam, lantas ia makan dan minum, kemudian nampaklah bahwa ia makan dan minum setelah terbit fajar, maka ia tidak terkena kewajiban qadha, karena ia tidak tahu.
b) Ingat
Yakni lawan dari lupa. Seandainya seseorang makan dan minum karena lupa, maka puasanya sah dan tidak ada kewajiban qadha, sebagaimana firman Allah ﷻ:
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau menyiksa kami jika kami lupa atau keliru.” [QS. Al-Baqarah: 286]. Dalam hadis disebutkan, bahwa Allah telah memenuhi hal tersebut.
Demikian pula hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
من أكل ناسيا وهو صائم فليتم صومه فإنما صومه فإنما اطعمه الله وسقاه
“Barang siapa yang makan karena lupa, sedangkan ia puasa, maka hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Karena Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum.” [HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155]
c) Sengaja
Yakni seseorang mempunyai pilihan untuk melakukan pembatal puasa. Apabila ia tidak punya pilihan, maka puasanya sah, baik itu dipaksa atau tidak. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ tentang orang yang dipaksa untuk kafir:
“Barang siapa kafir kepada Allah setelah ia beriman. Kecuali orang yang dipaksa, sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan. Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka atasnya murka Allah, dan baginya azab yang besar.” [QS. An-Nahl: 106]
Apabila hukum kekafiran diampuni karena dipaksa, maka hukum-hukum di bawah kekafiran lebih layak untuk diberi ampunan. Demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku sesuatu yang dilakukan karena ia tidak sengaja, lupa atau dipaksa.” [HR. Ibnu Majah, no. 2043. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini Sahih karena memiliki penguat dari jalur lainnya]
• Dengan demikian, seandainya ada debu yang terbang dan masuk ke hidung dan terasa di kerongkongan, lalu turun ke lambung, maka puasanya tidak batal, karena tidak sengaja.
• Demikian juga seandainya seseorang dipaksa untuk membatalkan puasa lantas ia berbuka dalam rangka mencegah paksaan, maka puasanya sah, karena ia tak punya pilihan.
• Demikian pula seandainya seseorang bermimpi lalu keluar mani ketika tidur, maka puasanya sah, karena orang yang tidur tidak melakukannya dengan sengaja.
• Demikian pula seandainya seorang suami memaksa istrinya, padahal istrinya puasa, lantas berhubungan intim dengannya, maka puasa sang istri tidak batal, karena ia tidak punya pilihan.
Dampak Jimak di Siang Hari Ramadan
Terdapat masalah yang wajib untuk dipahami, yakni apabila seorang laki-laki batal puasanya karena jimak (berhubungan intim) di siang hari Ramadan dan ia wajib puasa, maka dampak dari jimaknya ada lima hal:
1. Berdosa
2. Wajib menahan diri dari makan dan minum di sisa hari.
3. Batal puasanya
4. Wajib qadha
5. Wajib membayar kafarah
Tidak ada beda apakah laki-laki tersebut mengetahui konsekuensi dari jimak ataukah tidak. Yakni apabila seorang laki-laki bersetubuh di siang Ramadan dan ia wajib puasa, tetapi ia tidak tahu bahwa ia wajib membayar kafarah, maka ia tetap dikenai hukum-hukum yang telah disebutkan di atas, karena ia menyengaja untuk merusak puasanya, dan kesengajaan untuk membatalkan puasa mewajibkan ia terkena hukuman jimak.
Bahkan di dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa datang seorang laki-laki menemui Nabi ﷺ lalu berkata: “Wahai Rasulullah, celakalah aku.”
Lantas Nabi ﷺ bertanya: “Apa yang menyebabkanmu celaka?”
Ia menjawab: “Aku berhubungan intim dengan istriku di siang Ramadan, padahal aku puasa.”
Kemudian Nabi ﷺ memerintahnya untuk membayar kafarah. [HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111]
Padahal laki-laki tersebut tidak mengetahui apakah ia wajib membayar kafarah atau tidak ketika melakukan jimak. Pada perkataan kami “Ia wajib puasa” mengecualikan kondisi semisal seorang laki-laki yang berpuasa Ramadan lantas ia jimak dalam keadaan ia sedang safar, maka ia tidak wajib membayar kafarah.
Contohnya ada laki-laki yang bepergian bersama istrinya pada waktu Ramadan dan keduanya berpuasa. Kemudian laki-laki tersebut berhubungan intim dengan istrinya, maka ia tidak dikenai kewajiban kafarah. Hal tersebut karena musafir jika berpuasa, ia tidak wajib menyempurnakannya. Jika ia ingin berpuasa, maka ia sempurnakan. Jika tidak, ia berbuka dan wajib qadha.
Diterjemahkan dari Fatawa Arkanil Islam, karya Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Al-Khairiyyah, Saudi, hal. 563-570.