بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 

APA ITU TAWASUL?

Tawasul adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk Rasul-Nya, dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan di ridai-Nya.
 
Lebih jelasnya adalah kita melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridaan Allah dan Surga-Nya. Tentu saja ini merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang sering kali kita lakukan dalam kehidupan kita. Namun perlu diketahui, bahwa tidak sedikit pula orang yang terjerumus kedalam tawasul yang itu sama sekali tidak di syariatkan di dalam agama Islam ini. Ada sebagian orang yang menakwil hadis-hadis tentang tawasul dengan berdasarkan akal pemikiran dan hawa nafsu belaka. Sehingga muncullah berbagai bentuk tawasul yang sama sekali tidak ada tuntunannya, bahkan merupakan kesyirikan yang besar.
 
Untuk itulah di sini kita akan membahas berbagai macam bentuk tawasul yang sudah banyak menyebar di lingkungan sekitar kita. Kita diperbolehkan melakukan tawasul yang syari, karena ini merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah yang sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita ﷺ. Namun jelas kita juga dilarang dari melakukan berbagai bentuk tawasul yang bidah, apalagi syirik. Yang ini pun juga sudah tersebar, dan menjadi kebiasan bagi sebagian orang. Mereka menganggap dirinya sedang beribadah dan memohon rida-Nya, namun ternyata sebaliknya. Murka Allah-lah baginya. Waliyyadzubillah.
 
Dengan itu maka kita akan mulai mengaji, apa sebenarnya makna tawasul itu, dan bagaimana yang disyariatkan, serta yang bagaimana yang terlarang. Tentunya agar kita tidak terjerumus ke dalamnya tanpa kita sadari karena kejahilan pada diri kita.
 
Pengertian Tawasul
 
Tawasul adalah mengambil sarana/wasilah, agar doa atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir).
Sedang menurut istilah syariat, al-wasilah yang diperintahkan dalam Alquran adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah taala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan. [Tafsir Ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103]
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
 
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diti kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung.” [QS. Al-Maidah:35]
 
Mengenai ayat di atas, Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata:
“Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-Qurbah (peribadahan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).”
 
Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut:
“Mendekatlah kepada Allah dengan menaati-Nya, dan mengerjakan amalan yang diridai-Nya.” [Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103]
 
Adapun tawasul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam:
 
1. Tawasul Sunnah,
2. Tawasul Bidah, dan
3. Tawasul Syirik.
 
Tawasul Sunnah
 
Pertama: Bertawasul dengan menyebut Asmaul Husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdoa
 
Allah ﷻ berfirman:
 
وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِىٓ أَسْمَٰٓئِهِۦ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
 
“Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna. Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjaan.” [QS. Al-A’raf : 180]
 
Rasulullah ﷺ pernah berdoa:
 
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ
 
ASALUKA BIKULLISMIN HUWALAKA,
SAMMAITA BIHI NAFSAKA
AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIKA,
AW ANZALTAHU FII KITAABIKA
AWISTA’ TSARTA BIHI FII ‘ILMILGHOIBI ‘INDAKA
 
Artinya: “
… Saya memohon dengan seluruh nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamakan diri-Mu dengannya, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk makhluk-Mu, atau yang telah Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu, atau yang masih Engkau sembunyikan di ilmu gaib di sisi-Mu…” [HR Ahmad no. 3712, Al-Hakim no. 1877 dan yang lainnya. Syaikh Al-Albani berkata di Ash-Sahihah no. 199, “Hadis ini Sahih]
 
Kedua: Bertawasul dengan sifat-sifat Allah taala
 
Nabi ﷺ bersabda dalam doanya:
 
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا
 
YA HAYYU YA QOYYUM BI ROHMATIKA ASTAGHIITS, WA ASH-LIHLII SYA’NII KULLAHU WA LAA TAKILNII ILAA NAFSII THORFATA ‘AININ ABADAN.
 
Artinya:
Wahai Rabb Yang Maha Hidup. Wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri. Tidak butuh segala sesuatu. Dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan (beristighatsah). Perbaikilah segala urusanku. Dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walau sekejap mata, tanpa mendapat pertolongan dari-Mu selamanya.” [HR. Ibnu As Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 46, An Nasai dalam Al Kubro 381: 570, Al Bazzar dalam musnadnya 4/ 25/ 3107, Al Hakim 1: 545. Sanad hadis ini Hasan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 227]
 
Ketiga: Bertawasul dengan amal saleh
 
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Sahih Muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu masing-masing bertawasul dengan amal saleh mereka.
• Orang pertama bertawasul dengan amal salehnya berupa memelihara hak buruh.
• Orang ke dua bertawasul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan
• Orang ke tiga bertawasul dengan takutnya kepada Allah taala, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan.
Akhirnya Allah taala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalanginya, hingga mereka bertiga pun akhirnya selamat. [HR.Muslim 7125]
 
Keempat: Bertawasul dengan meminta doanya orang saleh yang masih hidup
 
Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah ﷺ. Orang itu berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat kembali).”
Rasulullah ﷺ menjawab: “Jika engkau menghendaki, aku akan berdoa untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu.”
 
Orang tersebut tetap berkata: ”Doakanlah.”
 
Lalu Rasulullah ﷺ menyuruhnya berwudhu secara sempurna lalu salat dua rakaat. Selanjutnya beliau ﷺ menyuruhnya berdoa dengan mengatakan:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku menghadap kepada-Mu bersama dengan Nabi-Mu, Muhammad, seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (doa)ku, dan jadikanlah aku pelengkap bagi (doa)nya.” Ia (perawi hadis) berkata: ”Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh.” [HR.Ahmad dan Tirmidzi]
 
Kelima: Bertawasul dengan keimanannya kepada Allah taala
 
Allah ﷻ berfirman:
 
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
 
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu): ’Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” [QS.Ali-Imran:193]
 
Keenam: Bertawasul dengan ketauhidannya kepada Allah
 
Allah ﷻ berfirman:
 
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (87) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ (88)
 
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan memersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Sesembahan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang berbuat zalim.” Maka Kami telah memerkenankan doanya, dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” [QS. Al Anbiya’: 87-88]
 
Tawasul Bidah
 
Pertama: Tawasul dengan kedudukan Nabi ﷺ atau kedudukan orang selain beliau
 
Dalam Sahih Bukhari terdapat hadis: “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu jika terjadi kekeringan, maka beliau berdoa agar diturunkan hujan dengan bertawasul melalui perantaraan (doa) Al-‘Abbas bin Abdul Muthallib.
 
Umar berkata: ’Ya Allah, dahulu kami bertawasul dengan nabi kami, hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bertawasul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” [HR. Bukhari: 1010]
 
Maksud bertawasul dengan Nabi ﷺ bukanlah “Bertawasul dengan menyebut nama Nabi ﷺ atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah bertawasul dengan doa Nabi ﷺ. Oleh karena itu, ketika Nabi ﷺ telah wafat, para sahabat TIDAK bertawasul dengan nama atau kedudukan Nabi ﷺ, akan tetapi bertawasul dengan doa paman Nabi ﷺ yaitu ‘Abbas, yang saat itu masih hidup.
 
Kedua: Bertawasul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang saleh ketika berdoa kepada Allah taala
 
Ini adalah bidah, bahkan perantara menuju kesyirikan.
 
Contoh:
 
”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”
 
Ketiga: Bertawasul dengan cara beribadah kepada Allah taala di sisi kubur orang saleh. Ini merupakan bidah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara menuju kesyirikan.
 
Tawasul Syirik
 
Tawasul syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah, seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka.
 
Contoh:
”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami.”
 
Perbuatan ini merupakan Syirik Akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan “Tawasul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdoa kepada selain Allah.
 
Maraji’:
• Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
• Mutiara Faidah Kitab Tauhid, Abu Isa Abdullah bin Salam.
• Khudz ‘Aqidataka minal Kitabi wa Sunnatis Sahihi, Muhammad bin Jamil Zainu.
• Buletin At-Tauhid, Jogjakarta.
 
 
Penulis: Ummu Yusuf Nur Indah Sari
Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
Catatan Tambahan:
Tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam:
  1. Tawassul Masyru: Yaitu tawassul kepada Allah ﷻ dengan Asma dan Sifat-Nya, dengan amal saleh yang dikerjakannya, atau melalui doa orang saleh yang masih hidup.
  2. Tawassul Bidah: Yaitu mendekatkan diri kepada Allah ﷻ dengan cara yang tidak disebutkan dalam syariat, seperti tawassul dengan pribadi para Nabi dan orang-orang saleh, dengan kedudukan mereka, kehormatan mereka, dan sebagainya.
  3. Tawassul Syirik: Bila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah. Termasuk berdoa kepada mereka, meminta hajat dan memohon pertolongan kepada mereka. [Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaaah fil ‘Aqiidah (hal. 15-17)]
Apa Itu Tawasul?
Apa Itu Tawasul?
Apa Itu Tawasul?
Apa Itu Tawasul?