Apakah Arti Al Mukhbitun?

Bahagia dalam kehidupan dunia adalah dambaan setiap insan. Jika dia orang yang beriman, maka dia juga berharap bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Namun, tidak semua orang yang berkeinginan baik bisa meraih impiannya. Salah satu dari sekian banyak orang yang bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat adalah Al-Mukhbitun. Siapakah mereka? Bagaimanakah kriteria-kriteria mereka? Berikut penjelasan singkat tentang mereka. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk golongan yang beruntung tersebut. Allah ta’ala berfirman:

وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ ﴿٣٤﴾ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَىٰ مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

… Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka. Orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka. Orang-orang yang mendirikan sholat dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami anugerahkan kepada mereka. [al-Hajj/22:34-35]

Jika al-Mu’minun kita terjemahkan dengan orang-orang yang beriman, al-Muttaqun diterjemahkan dengan orang-orang yang bertakwa, lalu bagaimana menerjemahkan Al-Mukhbitun? Kurang pas memang jika Al-Mukhbitun kita terjemahkan dengan orang-orang yang berikhbat dan tentunya belum bisa langsung dipahami oleh pendengarnya. Bagaimana kita menerjemahkan Al-Mukhbitun?

Al-Mukhbitun berasal dari kata al-khabtu atau al-ikhbat. al-Khabtu menurut pengertian bahasa, bermakna permukaan tanah yang luas dan tenang, semacam lembah yang dalam, luas, sunyi, dan terhampar [Lisanul Arab, Ibnu Mandzur, 5/7].

Atas dasar ini, Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma mengartikan lafadzh Al-Mukhbitin dalam ayat ini sebagai Mutawadhi’in, (orang-orang yang merendahkan diri) [Madarijus Salikin, Ibnul Qayim al Jauziyah, 2/13]. Begitu pula ad-Dhahaq rahimahullah dan Qatadah rahimahullah [al Jami Li Ahkamil Qur’an, al-Qurthubi, 12/58]. Sedangkan menurut Mujahid rahimahullah, Mukhbitin artinya adalah Muthmainnin, orang yang hatinya merasa tenang bersama Allah [al Jami Li Ahkamil Qur’an, al-Qurthubi, 12/58].

Ats-Tsauri rahimahullah berpendapat Mukhbitin maknanya adalah orang orang yang tenang, yang ridha, lapang dada dengan qadha dan qadar Allah Azza wa Jalla , dan senantiasa berserah diri kepada-Nya. Menurut al-Akhfasi rahimahullah, Mukhbitin artinya orang-orang yang khusyu’. Sedangkan menurut Ibrahim an-Nakha’i, artinya orang-orang yang sholat dan ikhlas. Menurut al-Kalby, artinya adalah orang-orang yang berhati lembut [Madarijus Salikin, Ibnul Qayim al Jauziyah, 2/13].

Kita bisa rasakan dari pengertian pengertian secara bahasa ini, sebuah lembah sunyi nan tenang, menghampar luas di depan mata. Ketenangan, ketentraman, kedamaian dan kesyahduan yang akan kita rasakan. Persis seperti apa yang dikatakan penulis kitab Manazilus Sa’irin, “Ikhbat ini merupakan permulaan dari ketentraman.” [Madarijus Salikin, Ibnul Qayim al Jauziyah, 2/13].

Derajat Al-Mukhbitun tidak serta merta dapat diraih oleh setiap orang yang beriman. Ketenangan hati seorang Mukmin, keikhlasannya, kerendah hatinya, kesantunannya, kekhusyuannya, kelapangan dadanya, tidaklah sembarang orang yang bisa mencapainya. Allah Azza wa Jalla meletakan kriteria dan usaha tertentu untuk bisa mencapainya.

Kriteria Al-Mukhbitun

Orang-orang dengan sifat dan perilaku ikhlas, khusyu’, santun, tenang, rendah hati adalah sebuah hasil dari usaha yang berkesinambungan dengan apa yang disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam ayat yang ke-35 di atas, dan menjadi semacam syarat dan kriteria pencapaian Derajat Al-Ikhbat. Disebutkan kriterianya sebagai berikut:

Kriteria Pertama: Jika Disebut Nama Allah, Hatinya Bergetar

Allah Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ

Jika disebut nama Allah, hati mereka bergetar [al-Hajj/22:35]

Al-Wajal artinya hati yang menggigil dan bergetar takut karena mengingat kekuasaan dan hukuman Allah, atau merasa melihat-Nya [Madarijus Salikin, Ibnul Qayim al Jauziyah, 2/13]. Al-Wajal berdekatan maknanya dengan Al-Khauf dan Khasyyah karena bergetarnya hati jika disebut nama Allah Azza wa Jalla berkonsekwensi Khasyyah dan Khauf kepada Allah. Takut dan khawatir jika amal amal kebaikannya, sholat, puasa dan sedekahnya tidak diterima Allah Azza wa Jalla. Bergetarnya hati, takut dan khawatirnya jika amal-amal yang tidak diterima Allah tersebut bisa mengakibatkan adzab dan siksa Allah Azza wa Jalla [Lihat, Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyah, 7/19].

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. [al-Mu’minun/23:60]

Al-Wajal, Khauf dan Khasyyah selalu ada dalam hati Al-Mukhbitun. Namun ini bukan berarti Al-Mukhbitun selalu gundah dan khawatir dalam hidupnya. Ini juga tidak bertentangan dengan Firman Allah Azza wa Jalla:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. [ar-Ra’d/13:28]

Karena Al-Wajal ketika mendengar ayat Allah, disebabkan oleh rasa takut hilangnya hidayah dari dirinya dan takut amal-amal kebaikannya tidak diterima; takut menyelisihi aturan Rabbnya, karena kuatnya iman dan keyakinan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seakanakan mereka selalu berada di depan-Nya [al Jami Li Ahkamil Qur’an, al-Qurthubi, 12/58]. Dan ketenangan juga bisa dicapai karena kelapangan dada berasal dari Ma’rifatu Tauhid dan keimanan yang lurus, dan mengimanikan apa yang dibawa Rasulullah tanpa keraguan dan syubhat [Adhwa’ul Bayan, Muhammad Amin Asysyinqiti, 3/511]. Allah tegaskan juga dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴿٢﴾ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُون ﴿٣﴾ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabblah, mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan sholat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memeroleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. [al-Anfal/8:2-4]

Keadaan hati yang demikian tersebut, yaitu Al-Wajal (bergetar) saat mendengar ayat-ayat Allah, menandakan takutnya terhadap adzab Allah dan rasa khawatir berbagai amal kebaikanya yang dilakukannya tidak diterima oleh Allah. Rasa seperti ini akan menambah keikhlasan dan kekhusyukan seseorang dalam beribadah, juga meningkatkan ketawadhu’an dan ketenangannya. Ini akan menjadikan mereka termasuk golongan Al-Mukhbitun.

Kriteria Kedua: Sabar Terhadap Apa Yang Menimpa

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَالصَّابِرِينَ عَلَىٰ مَا أَصَابَهُمْ

Dan orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka [al-Hajj/22:35]

Mereka bersabar menghadapi kesusahan dan kesempitan serta berbagai macam gangguan. Mereka tidak berkeluh kesah dan tidak mencela apa yang menimpa mereka. Mereka bersabar demi mendapat ridha Allah Azza wa Jalla, senantiasa berharap dan menanti-nanti pahala dari-Nya [Taisir Karimi ar-Rahman, as-Sa’di].

Sabar secara bahasa adalah Al-Habsu, yaitu menahan jiwa dari sedih dan gelisah [Lisanul Arab, Ibnu Mandzur, 7/193]; menahan diri dari rasa sedih dan gelisah, cemas dan amarah; menahan lidah dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari kekacauan [Madarijus Salikin, Ibnul Qayim al Jauziyah, 2/129].

Sabar adalah menahan jiwa dalam tiga keadaan:

  1. Sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla
  2. Sabar untuk tidak bermaksiat kepada Allah
  3. Sabar atas cobaan dari Allah Azza wa Jalla [Madarijus Salikin, Ibnul Qayim al Jauziyah, 2/129. Lihat juga Syarah Riyadhus Shalihin, al-Utsaimin, 1/84].

Sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah adalah yang terberat, karena ketaatan berat dirasakan oleh jiwa, dirasakan sulit oleh manusia. Ketaatan bisa jadi juga terasa berat dilaksanakan oleh anggota badan, juga terasa berat karena harus mengeluarkan sejumlah harta seperti dalam menunaikan zakat dan haji. Ini tentunya membutuhkan kesabaran dan ketegaran dalam menjalankannya [Syarah Riyadhus Shalihin, al-Utsaimin, 1/84] Menurut Ibnu Taymiyah, sabar dalam melaksanakan ketaatan lebih baik daripada sabar menjauhi hal-hal yang haram. Karena kemaslahatan melakukan ketaatan lebih disukai Allah daripada kemaslahatan meninggalkan kedurhakaan, dan keburukan akibat meninggalkan perbuatan taat lebih dibenci Allah daripada keburukan akibat perbuatan durhaka” [Madarijus Salikin, 2/129]. Juga karena meninggalkan kemaksiatan penyempurna ketaatan.

Kesabaran yang ditampakan dan dilakukan oleh manusia harus karena Allah, karena cinta kepada-Nya dan dalam rangka mencari ridho-Nya. Bukan bertujuan menampakan kehebatan dan kekuatannya, juga bukan mencari pujian [Madarijus Salikin, 2/1308].

Al-Mukhbitun mempunyai sifat seperti ini. Sabar menghadapi kesusahan dan musibah yang menimpa mereka, dengan tetap menaati perintah Allah dengan penuh ikhlash, ridha, dan berharap pahala dari Allah. Mereka menahan diri dari sedih dan gelisah, cemas dan amarah. Mereka menahan lidah dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari kekacauan [Madarijus Salikin, 2/129]. Al-Mukhbitun akan senantiasa tenang dan tegar dalam menghadapi musibah, rendah hati dan selalu introspeksi diri. Bagaikan suatu lembah yang luas, sunyi, tentram dan tenang.

Lalu bagaimana caranya agar orang yang terkena musibah bisa tetap tenang dan ridha, bisa tetap menahan cemas, amarah dan keluh kesah? Caranya adalah dengan tetap mengharap pahala dan berharap dosanya bisa terhapus dengan sebab musibahnya. Kemudian tidak terlalu memikirkan musibah itu dengan cara mengingat-ingat betapa besar nikmat yang telah diberikan Allah Azza wa Jalla kepada kita serta selalu yakin bahwa Allah akan menurunkan rahmat sebagai jalan keluar dari musibahnya itu [Madarijus Salikin, 2/137]. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. [at-Thalaq/65:2-3]

Oleh karena itu, tidak heran jika Allah Azza wa Jalla menjanjikan pahala yang tidak terhingga.

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas [az-Zumar/39:10].

Kriteria Ketiga: Menegakkan Sholat

وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ

Orang-orang yang menegakkan sholat [al-Hajj/22:35]

Sholat adalah ibadah yang teragung. Ibadah ini memiliki pengaruh besar bagi keshalehan pribadi seseorang, seperti yang di firmankan Allah Azza wa Jalla:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah sholat! Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (sholat) adalah lebih besar (keutamaannya dibandingkan dengan ibadah-ibadah lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al-Ankabut/29:45]

Al-Mukhbitun ialah orang-orang yang senantiasa menjaga dan mendirikan sholat dalam keadaan apapun. Musibah sebesar apapun tidak bisa memengaruhi ketaatan mereka dalam menjalankan sholat. Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menggunakan kata Al-Muqimish Sholat dan tidak menggunakan kata kerja Yuqimush sholat sebagai isyarat, bahwa mereka menjalankan sholat dalam keadaan apapun karena kecintaan mereka yang sangat mendalam terhadap sholat. Kecintaan mereka begitu terpatri dalam hatinya dan senantiasa takut lalai dalam menjalankannya, seakan-akan mereka selalu merasa dalam keadaan melaksanakan sholat [Nadzmu ad-durar fi Tanasubi Ayat wa Suwar, al-Baqa’i, 13/49] dengan kekhusyukan, thuma’ninah, dan kerendah hatian, yang selalu tergambar dalam keseharian mereka di dalam maupun di luar sholat.

Kriteria Keempat: Menafkahkan Sebagian Rezeki

وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka. [al-Hajj/22:35]

Infak atau nafkah dalam ayat ini mencakup semua infak, baik yang wajib seperti zakat, kafarat, dan nafkah keluarga, juga mencakup yang Mustahabbah [Taisir Karimir Rahman]. Al-Mukhbitun senantiasa berinfak di jalan Allah, meski dalam kesulitan [Nadzmu ad-durar fi Tanasubi Ayat wa Suwar, 13/49]. Inilah seutama-utama sedekah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الفَقْرَ، وَتَأْمُلُ الغِنَى،

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasannya ada seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Ya Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ” Engkau bersedekah dalam keadaan sehat, dalam keadaan ingin menahan-nahan harta karena takut miskin dan sangat berharap kekayaan [Muttafaqun alaih].

Sedekah menjadi sebab dari kelapangan dada. Orang yang senantiasa hidupnya bermanfaat bagi orang lain, senantiasa berbuat baik kepada sesama, dan dermawan adalah orang-orang yang paling lapang dadanya, paling baik jiwa dan hatinya [Zadul Ma’ad, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, 2/24].

Jadi, Al-Mukhbitun adalah orang-orang yang dikriteriakan oleh Allah di atas, serta di tafsirkan dan digambarkan oleh para ulama dengan penggambaran yang sangat indah yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti maknanya secara bahasa. Orang-orang dengan ketentraman, ketenangan, kelapangan dada, kerendah hatian, kesalehan pribadi, sopan santun, Akhlakul Karimah, keyakinan dan iman yang kokoh, adalah sebuah kesan yang akan kita rasakan jika kita bertemu dengan Al-Mukhbitun. Dan segala kelebihan di atas bisa diraih oleh mereka, karena telah melampaui apa yang dikriteriakan oleh Allah Azza wa Jalla tentang mereka.

Semoga kita termasuk golongan Al-Mukhbitun. Semoga ilmu yang kita miliki menjadikan kita rendah hati, tawadhu’ dan khusyu’; Menjadikan kita mempunyai sopan santun dan tatakrama yang mengesankan. Ilmu yang kita miliki membawa diri kita sabar, ikhlash, ridha. Membawa hati kita dipenuhi getar takut jika mendengar ayat-ayat Allah.

MARAJI’

– Al-Qur’an al-Karim dan terjemahnnya

– Al-Jami Li Ahkamil Qur’an, al-Qurthubi ( Beirut: Dar Al-Kitab al-Arabi, 2007)

– Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an, ath-Thabari, ( Beirut: Dar ihya at-Turats al-Arabi, tanpa tahun )

– Taisir Karimir Rahman, Syaikh Abdurrahman Nashir as-sa’di

– Syarah Riyadhus Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (Kairo: Maktabah Ash Shofa, 2002)

– Nadzmud Durar fi Tanasubi Ayat wa Suwar, Burhanuddin Abil Hasan Ibrahim bin Umar al Baqa’i (Kairo: Maktabah Ibnu Taymiyah, 2006)

– Lisanul Arab, Ibnu Mandzur ( Beirut: Dar Sader, 2005)

– Madariju Salikin, Ibnu Qayim Al Jauziyah (Beirut: Maktabah al-Ashriyah, 2007)

– Zadul Ma’ad fii Hadyi Khairil Ibad (Beirut, Muasasah Risalah, 1415/1994)

– Tafsir al-Qur’an al-Adhim , Ibnu Katsir

– Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyah, (Madinah al-Munawwarah: Majma Malik Fahd Li Thabatil Mushhaf, 1416)

– Adhwa’ul Bayan fi Idhah al-Qur’an bil Qur’an, Muhammad Amin Asysyinqiti ( Beirut: Dar Ihya Turas al Arabi,tanpa tahun)

– Kitab-kitab Hadis

 

Penulis: Ustadz Suhuf Subhan [Salah seorang dosen di STDI Jember]

 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

http://almanhaj.or.id/content/4309/slash/0/Al-Mukhbitun/