Anak Angkat dan Anak Susuan

Pertanyaan:

Saya mempunyai beberapa pertanyaan. Semoga para pengasuh rubrik As’ilah wa Ajwibah bisa menjawabnya. Sebelum menikah, –-Alhamdulillah-– saya telah merawat seorang anak angkat (laki-laki) pembantu saya yang meninggal dunia. Dia tidak punya keluarga, jadi saya jadikan dia sebagai anak angkat. Permasalahannya sekarang saya telah menikah, dan anak angkat tersebut telah kelas 2 SLTP. Saya bingung bagaimana menempatkan anak tersebut dalam keluarga kami? Saya membaca kitab al-Imam Muslim (2/1076–1078 dan 1453) hadis tentang Salim yang menyusu kepada Sahlah istri Abu Hudzaifah, dan menyebabkan menjadi mahram Sahlah. Apakah hadis ini dapat saya jadikan rujukan dalam masalah saya?

Jawaban:

Kami menyimpulkan masalah yang Anda hadapi ke dalam beberapa poin persoalan, yaitu:

  1. Masalah mengangkat anak.
  2. Apakah anak angkat menjadi mahram istri?
  3. Syarat-syarat persusuan yang menjadikan mahram.
  4. Apakah kisah Salim maula Abu Hudzaifah bisa diamalkan?

Berikut akan kami jelaskan periciannya:

[1] Dalam agama Islam PERNAH diperbolehkan seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anaknya sendiri, sehingga anak tersebut dinasabkan kepada bapak angkatnya, mewarisi, dan menjadi mahram bagi keluarganya. Bahkan dahulu sebelum diangkat sebagai Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengangkat seorang sahabatnya -–Zaid bin Haritsah-– menjadi anak angkatnya. Tatkala beliau menjadi Nabi, manusia tetap memanggil Zaid dengan panggilan Zaid bin Muhammad. Kemudian turunlah ayat yang menghapus kebolehan mengangkat anak menjadi anak yang dinasabkan kepada ayah angkatnya dalam firman-Nya:

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ. ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ. وَاللهُ يَقُوْلُ الْحَقُّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيْلَ

“…Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu menjadi anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja, sedangkan Allah mengatakan yang haq, dan Dia menunjuki kepada jalan yang benar.” (Qs. al-Ahzab: 4)

Dengan dihapusnya hukum mengangkat anak, maka menasabkan anak kepada bapak angkatnya menjadi terlarang, tetapi harus kepada bapak kandungnya, sebagaimana dalam sebuah hadis:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ مَوْلَى رَسُوْلُ اللهِ مَا كُنَّا نَدْعُوْهُ إِلاَّ زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ ادْعُوْهُمْ لِآبَائِهِمْ

Dari Ibnu Umar bahwa Zaid bin Haritsah maula Rasulullah, (Ibnu Umar berkata), “Dulu kami tidak memanggil Zaid kecuali dengna panggilan Zaid bin Muhammad, sehingga turunlah ayat; (panggillah anak-anak angkatmu dengan (menasabkan kepada) nama bapak-bapak mereka, karena itulah yang lebih adil di sisi Allah.” (HR. Bukhari no. 4782, dan Muslim no.2425)

[2] Anak angkat TIDAK menjadi mahram bagi keluarga ayah yang mengangkatnya kecuali kalau memang anak tersebut adalah mahram bagi keluarganya seacara keturunan/nasab, seperti seorang laki-laki mengasuh anak laki-laki dari saudari istrinya, maka anak ini adalah mahram sang istri karena dia (anak itu) adalah keponakan istrinya sendiri.

Atau bisa dengan cara lain supaya menjadi mahram, yaitu dengan menyusukan anak yang diasuh kepada kerabatnya, karena persusuan dapat menimbulkan hubungan kemahraman, sebagaimana keturunan/nasab dapat menimbulkan hubungan kemahraman.

Dari sini menjadi jelas bahwa apabila anak asuh tidak ada hubungan mahram disebabkan  keturunan atau persusuan, maka anak tersebut bukan mahram bagi ibu angkat serta keluarganya.

[3] Adapun syarat persusuan yang menjadikan anak persusuan sebagai mahram adalah:

– Hendaknya masa persusuan sebanyak minimal lima kali, sebagaimana dalam sabdanya:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أُنْزِلَ فِيْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ فَنُسِخَ مِنْ ذَلِكَ خَمْسُ رَضَعَاتٍ وَصَاَر إِلَى خَمْسِ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ فَتُوُفَّيِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

Dari Aisyah radhiyallaahu ‘anha, beliau berkata, “Telah diturunkan dalam al-Quran sepuluh kali persususan yang dapat menjadikan mahram, lalu menjadi mahram apabila persusuan sebanyak lama kali, kemudian Rasulullah wafat, sedangkan perkara ini tetap pada hal ini (yaitu sebanyak lima kali).” (HR. Muslim no.1452)

– Ketika menyusu, hendaknya sang anak masih dalam masa persusuan.

Para ulama berbeda pendapat dalam syarat yang ke dua ini. Pendapat mereka dapat disimpulkan menjadi empat pendapat yang masyhur, yaitu:

 

Pertama: Anak yang menyusu tidak lebih dari usia dua tahun, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنَ. لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan persusuan….” (Qs. al-Baqarah: 233)

Kedua: Selama anak masih kecil dan tidak dibatasi umur dua tahun, sebagaimana sabda Nabi:

إِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ

“Hanya persusuan yang (mengharamkan), disebabkan oleh rasa lapar.” (HR. Bukhari no. 2647 dan Muslim no 1455)

Mereka mengatakan bahwa yang merasa kenyang hanya dengan air susu adalah anak yang masih kecil, sama saja apakah kurang dari dua tahun atau lebih.

Ketiga: Persusuan yang menjadikan mahram berlaku bagi setiap yang menyusu, baik anak kecil atau dewasa. Hal ini didasari oleh hadis Sahlah bintu Suhail tatkala melapor kepada Nabi tentang Salim –anak angkat suaminya– (yang sudah dewasa) yang tinggal bersamanya. Sahlah merasa kesulitan harus berhijab dari Salim yang sudah dianggap sebagai anak kandungnya, lalu Nabi bersabda kepada Sahlah:

اِرْضِعِّيْهِ تَحُرِّمِيُّ عَلَيْهِ

“Susuilah ia, sehingga engkau menjadi mahram baginya.” (HR. Muslim no. 1453)

Keempat: Persusuan yang menjadikan mahram adalah persusuan di masa kecil atau pada waktu dewasa yang khusus seperti kondisi Salim anak angkatnya Abu Hudzaifah yang dianggap sebagai anak kandung, dan tidak mungkin bagi istri Abu Hudzaifah untuk berhijab dari Salim.

Pendapat yang kuat: Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang terakhir, yaitu persusuan yang menjadikan mahram adalah persusuan di masa kecil, dan dibolehkan ketika dewasa tetapi khusus seperti kondisi Salim maula Abu Hudzaifah. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hal, di antaranya:

– Pendapat ini mengumpulkan semua dalil yang shahih.

– Adapun pendapat yang mengatakan kisah Salim adalah kekhususan bagi diri pribadi Salim, maka ini tidak dapat diterima, lantaran tidak ada satu hukum dikhususkan buat seseorang kecuali Nabi, dan semua manusia sama derajatnya di hadapan Allah. Oleh karena itu, kita mengatakan bahwa persusuan Salim adalah khusus bagi yang kondidisnya seperti Salim pada saat itu, bukan khusus bagi diri Salim.

– Adapun yang mengatakan bahwa persusuan Salim kepada istri Abu Hudzaifah adalah mansukh (dihapus) oleh ayat dan hadis yang menerangkan bahwa persusuan adalah di waktu masa kecil (sebagaimana pendapat pertama dan kedua, maka pendapat ini tidak diterima, lantaran tidak diketahui dalil yang datang lebih dahulu dan dalil yang datang belakangan. Padahal, syarat nasikh dan mansukh adalah harus diketahui dalil yang datang belakangan, sehingga dalil tersebut dapat menghapus dalil yang terdahulu.

Catatan: Perlu diperhatikan bahwa Rasulullah memerintahkan Sahlah menyusui Salim, dan tidak menyuruh sahabat yang lainnya. Perbuatan Rasulullah tersebut menunjukkan bahwa ini khusus bagi orang yang kondisinya seperti Salim. Kondisi Salim pada saat itu adalah sebagai anak angkat Abu Hudzaifah yang dianggap seperti anak kandungnya sendiri, dinasabkan kepada ayah angkatnya, dan sangat sulit bagi Sahlah –istri Abu Hudzaifah– (setelah turun perintah berhijab) untuk selalu berhijab di hadapan Salim. KONDISI INI TIDAK AKAN TERJADI SEKARANG lantaran mengangkat anak disamakan seperti anak sendiri telah dinasakh (dihapus) hukumnya sebagaimana yang telah lalu pada poin no.1.

[4] Dari keterangan di atas menjadi jelaslah bahwa kisah Salim maula Abu Hudzaifah bersama Sahlah yang menyusuinya TIDAK DAPAT Anda amalkan karena alasan-alasan yang telah kami sebutkan.

Wallahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali, pada Majalah Al-Furqon, edisi 12, tahun ke-6, 1428 H/2007 M.

(Dengan pengubahan aksara dan tata bahasa seperlunya oleh www.konsultasisyariah.com)