بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

ADAB-ADAB DALAM MEMBERIKAN NASIHAT

 

Islam Adalah Agama Nasihat

Agama Islam adalah agama nasihat. Semua sendi dalam agama Islam adalah nasihat. Dan setiap kita dalam agama ini, akan senantiasa menasihati dan dinasihati.

Sebagaimana dalam hadis dari Tamim Ad Dariy radhiallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

الدين النصيحة قلنا: لمن ؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم

“Agama adalah nasihat.”
Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”
Beliau menjawab: “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan umat Muslim seluruhnya.” [HR. Muslim, no. 55]

Namun menyampaikan nasihat tidak boleh serampangan dan sembarangan. Ada adab-adab yang perlu diperhatikan ketika menyampai nasihat kepada orang lain. Berikut ini beberapa adab dalam memberikan nasihat:

Adab Dalam Memberikan Nasihat

1. Nasihat Didasari Niat Ikhlas

Sebagaimana kita ketahui, bahwa amalan kebaikan tidak diterima dan tidak dianggap sebagai amalan saleh kecuali jika dengan niat yang ikhlas. Dari Umar bin Khathab radhiallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

إنَّما الأعْمالُ بالنِّيَّةِ، وإنَّما لِامْرِئٍ ما نَوَى، فمَن كانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللَّهِ ورَسولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إلى اللَّهِ ورَسولِهِ، ومَن هاجَرَ إلى دُنْيا يُصِيبُها أوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُها، فَهِجْرَتُهُ إلى ما هاجَرَ إلَيْهِ

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan seseorang mendapatkan ganjaran sesuai niatnya. Orang yang hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapatkan ganjaran sebagai amalan hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya. Orang yang hijrah untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya sekadar yang untuk apa yang ia niatkan tersebut.” [HR. Bukhari no. 6953]

Allah ﷻ hanya menerima amalan ikhlas ditujukan kepada Allah semata. Allah ﷻ berfirman:

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima amalan dari orang-orang yang bertakwa.” [QS. Al Maidah: 27]

Ath Thabari rahimahullah menjelaskan:

وقد قال جماعة من أهل التأويل: ” المتقون ” في هذا الموضع، الذين اتقوا الشرك.

“Sejumlah ulama tafsir dalam kalangan Salaf di beberapa tempat telah mengatakan: “muttaqun” di sini maksudnya orang-orang yang menjauhkan diri dari kesyirikan.” [Tafsir Ath Thabari]

2. Menasihati dengan Cara yang Benar Sesuai Syariat

Selain niat harus ikhlas, cara memberikan nasihat juga harus benar. Allah ﷻ berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Rabb-Nya, maka amalkanlah amalan kebaikan, dan jangan memersekutukan Rabb-nya dengan sesuatu apapun.” [QS. Al Kahfi: 110]

As Sa’di dalam Tafsir-nya menjelaskan:

فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا ْ} وهو الموافق لشرع الله، من واجب ومستحب، { وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ْ} أي: لا يرائي بعمله بل يعمله خالصا لوجه الله تعالى، فهذا الذي جمع بين { الإخلاص والمتابعة

“(Maka amalkanlah amalan saleh), yaitu amalan yang sesuai dengan syariat Allah, berupa amalan yang wajib atau mustahab. (Dan jangan memersekutukan Rabb-nya dengan sesuatu apapun) maksudnya: jangan riya’ dalam amalan, namun harus ikhlas mengharap wajah Allah. Maka ayat ini menggabungka dua syarat diterimanya amalan: ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan).”

Maka cara menasihati haruslah benar sesuai tuntunan syariat. Oleh karena itu dalam hadis dari Abu Sa’id Al Khudhri radhiallahu’anhu, Nabi ﷺ memberikan tingkatan urutan dalam mengingkari kemungkaran. Beliau ﷺ bersabda:

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده . فإن لم يستطع فبلسانه . فإن لم يستطع فبقلبه .وذلك أضعف الإيمان

“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” [HR. Muslim, no.49]

Hadis ini menunjukkan, bahwa ketika tidak ada kemampuan untuk mengingkari dengan tangan, maka tidak boleh nekat tetap melakukan pengingkaran dengan tangan, walaupun niatnya baik. Namun berpindah kepada cara selanjutnya yaitu mengingkari dengan lisan. Ini mengisyaratkan wajibnya mengikuti tuntunan syariat dalam ingkarul mungkar, dan juga dalam nasihat.

Oleh karena itu para ulama menyatakan suatu kaidah penting:

الْغَايَةُ لاَ تُبَرِّرُ الْوَسِيْلَةَ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

“Tujuan tidak membolehkan wasilah (cara) kecuali dengan dalil.”

3. Gunakan Kata-Kata yang Baik

Dalam menyampaikan nasihat hendaknya menggunakan kata-kata yang baik, yaitu kata-kata yang penuh kelembutan dan hikmah. Perhatikan bagaimana Allah ﷻ perintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam ketika akan memberi nasihat kepada Firaun. Allah ﷻ berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia akan ingat atau takut kepada Allah.” [QS. Thaha: 44]

Padahal Firaun jelas kekafirannya dan kezalimannya. Bahkan ia mengatakan: “Aku adalah Tuhan kalian yang Maha Tinggi.” Namun Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam tetap diperintahkan untuk memberi nasihat yang lemah lembut. Maka bagaimana lagi jika yang dinasihati adalah seorang Muslim yang beriman kepada Allah?

Celaan dan hinaan tidak menjadi halal ketika memberi nasihat kepada orang yang jatuh pada kesalahan. Celaan dan kata-kata kotor bukanlah akhlak seorang Mukmin. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi ﷺ bersabda:

ليسَ المؤمنُ بالطَّعَّانِ ولا اللَّعَّانِ ولا الفاحِشِ ولا البذَيُّ

“Seorang Mukmin bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka bicara kotor, dan suka bicara jorok.” [HR. Tirmidzi no.1977, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.320]

Dan janganlah menganggap remeh perkataan yang buruk dan menyakiti hati orang lain. Karena bisa jadi perkataan itu bisa menyeret kita ke dalam Neraka sangat dalam. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi ﷺ bersabda:

(إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِي بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِي النَّارِ) وصححه الألباني في صحيح الترمذي .

“Sesungguhnya seorang hamba ketika berbicara dengan perkataan yang dianggap biasa, namun akan menyebabkan ia masuk Neraka 70 tahun.” [HR. Tirmidzi no. 2314, disahihkan oleh Albani dalam Shahih At Tirmidzi]

4. Tabayun; Cross-Check Berita

Hendaknya ketika memberikan nasihat kepada orang lain, tidak bertopang pada kabar yang tidak jelas dan simpang-siur. Karena kabar yang tidak jelas atau simpang siur bukanlah ilmu dan bukanlah informasi sama sekali. Orang yang menyampaikannya disebut orang yang melakukan kebodohan. Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.” [QS. Al-Hujurat: 6]

Maka hendaknya cek dan ricek, klarifikasi dan konfirmasi, sebelum beranjak untuk memberikan nasihat. Itulah adab dalam memberikan nasihat yang harus kita lakukan.

Orang yang memercayai dan menyampaikan semua yang ia dengar tanpa cek dan ricek, klarifikasi dan konfirmasi, maka ia seorang pendosa. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi kita ﷺ bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang telah berdosa jika menyampaikan seluruh yang ia dengar.” [HR. Muslim no.5]

5. Jangan Suuzhan! (Buruk Sangka)

Hendaknya nasihat yang diberikan kepada orang lain bukan didasari oleh prasangka buruk. Allah ﷻ berfirman:

اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.” [QS. Al-Hujuraat: 12]

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi ﷺ juga bersabda:

إياكم والظنَّ، فإنَّ الظنَّ أكذب الحديث

“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.” [HR. Bukhari no.5143, Muslim no. 2563]

Hendaknya kita mencari kemungkinan-kemungkinan baik bagi saudara kita sesama Muslim, selama masih memungkinkan. Muhammad bin Manazil rahimahullah berkata:

الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ مَعَاذِيرَ إِخْوَانِهِ ، وَالْمُنَافِقُ يَطْلُبُ عَثَرَاتِ إِخْوَانِهِ

“Seorang Mukmin itu mencari udzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya. Sedangkan seorang munafik itu mencari-cari kesalahan saudaranya.” [HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.10437].

6. Jangan Memaksa Agar Nasihat Diterima

Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah mengatakan:

وَلَا تنصح على شَرط الْقبُول مِنْك فَإِن تعديت هَذِه الْوُجُوه فَأَنت ظَالِم لَا نَاصح وطالب طَاعَة وَملك لَا مؤدي حق أَمَانَة وأخوة وَلَيْسَ هَذَا حكم الْعقل وَلَا حكم الصداقة لَكِن حكم الْأَمِير مَعَ رَعيته وَالسَّيِّد مَعَ عبيده

“Jangan engkau menasihati orang dengan memersyaratkan harus diterima nasihat tersebut darimu. Jika engkau melakukan perbuatan berlebihan yang demikian, maka engkau adalah ORANG YANG ZALIM, bukan orang yang menasihati. Engkau juga orang yang menuntut ketaatan bak seorang raja, bukan orang yang ingin menunaikan amanah kebenaran dan persaudaraan. Yang demikian juga bukanlah perlakuan orang berakal dan bukan perilaku kedermawanan, namun bagaikan perlakuan penguasa kepada rakyatnya, atau majikan kepada budaknya.” [Al Akhlaq was Siyar fi Mudawatin Nufus, 45]

Maka yang benar, sampaikan nasihat. Jika diterima, itu yang diharapkan. Jika tidak diterima, maka tidak mengapa. Perhatikan nasihat Imam Malik berikut:

الهيثم بن جميل: قلت لمالك ابن انس: الرجل يكون عالما بالسنة أيجادل عنها؟ قال: لا .. ولكن يُخبِر بالسنة فإن قُبِلتْ منه وإلا سكت

Al Haitsam bin Jamil mengatakan, saya pernah berkata kepada Imam Malik bin Anas: “Seseorang yang alim (berilmu) terhadap Sunnah Nabi, apakah boleh ia berdebat tentang As Sunnah?”
Imam Malik menjawab: “Jangan! Namun sampaikanlah tentang As Sunnah. Jika diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, ya sudah diam saja.” [Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/94]

Dan memberi nasihat adalah amalan saleh. Ia akan diganjar pahala, walaupun nasihat tidak diterima.

7. Tidak Menasihati di Depan Umum

Hendaknya memberi nasihat kepada orang lain tidak di hadapan orang banyak. Karena orang yang dinasihati akan tersinggung dan merasa dipermalukan di depan orang-orang, sehingga tujuan dari nasihat akan menjadi jauh tercapai. Oleh karena itu, adab dalam memberikan nasihat ini harus kita amalkan agar tujuan dari nasihat bisa tercapai.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:

تعمدني بنصحك في انفرادي . وجنبْني النصيحة في الجماعهْ .فإن النصح بين الناس نوع. من التوبيخ لا أرضى استماعهْ . وإن خالفتني وعصيت قولي. فلا تجزعْ إذا لم تُعْطَ طاعهْ

“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku, maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.” [Diwan Asy Syafi’i, hal. 56]

Al Hafizh Ibnu Rajab berkata:
“Apabila para Salaf hendak memberikan nasihat kepada seseorang, maka mereka menasihatinya secara rahasia. Barang siapa yang menasihati saudaranya berduaan saja, maka itulah nasihat. Dan barang siapa yang menasihatinya di depan orang banyak, maka sebenarnya dia memermalukannya.” [Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77]

Oleh karena itulah Nabi Muhammad ﷺ bersabda tentang menasihati pemimpin:

من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية، ولكن ليأخذ بيده فيخلو به، فإن قبل منه فذاك،وإلا كان قد أدى الذي عليه

“Barang siapa ingin menasihati penguasa dengan sesuatu hal, maka janganlah tampakkan nasihat tersebut secara terang-terangan. Namun ambillah tangannya, dan bicaralah empat mata dengannya. Jika nasihat diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, engkau telah menunaikan apa yang dituntut darimu.” [HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Takhrij As Sunnah Libni Abi Ashim, 1097]

8. Jangan Melakukan Tahrisy

Hendaknya jauhi tahrisy ketika berusaha memberikan nasihat. Apa itu tahrisy? Ibnu Atsir rahimahullah mengatakan:

التحريش: الإغراء بين الناس بعضهم ببعض

“Tahrisy adalah memancing pertengkaran antara orang-orang satu sama lain.” [Jami’ Al Ushul, 2/754]

Dengan kata lain, tahrisy adalah provokasi. Tahrisy adalah perbuatan langkah setan untuk memecah belah kaum Muslimin. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ قد أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ في جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ في التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ

“Sesungguhnya setan telah putus asa membuat orang-orang yang salat menyembahnya di Jazirah Arab. Namun setan masih bisa melakukan tahrisy di antara mereka.” [HR. Muslim no. 2812]

Melakukan provokasi atau tahrisy ini termasuk namimah (adu domba). Al Imam Ibnu Katsir mengatakan:

النميمة على قسمين: تارة تكون على وجه التحريش بين الناس وتفريق قلوب المؤمنين فهذا حرام متفق عليه

“Namimah ada dua macam: terkadang berupa tahrisy (provokasi) antara orang-orang dan mencerai-beraikan hati kaum Mukminin. Maka ini hukumnya haram secara sepakat ulama.” [Tafsir Ibnu Katsir, 1/371, Asy Syamilah]

Dan namimah ini merupakan dosa besar. Allah ﷻ berfirman:

وَلَا تُطِع كل حلاف مهين هماز مشاء بنميم

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menebar namimah.” [QS. Al Qalam: 10-11]

Maka hindarilah cara-cara yang berupa provokasi dalam menasihati sesama Muslim. Gunakan cara-cara yang baik, yang mendekatkan bukan membuat permusuhan.

Demikian beberapa adab dalam memberikan nasihat. Semoga Allah ﷻ memberikan taufik untuk mengamalkannya.

Penulis: Yulian Purnama
Sumber: https://muslim.or.id/52031-adab-adab-dalam-memberikan-nasehat.html

══════

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat