بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#AdabAkhlak
JIKA ENGKAU TIDAK MALU, BERBUATLAH SESUKAMU

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari al-Badri radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”
Takhrij Hadis
Hadis ini Shahih diriwayatkan oleh: Al-Bukhari (no. 3483, 3484, 6120), Ahmad (IV/121, 122, V/273), Abu Dawud (no. 4797), Ibnu Majah (no. 4183), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 2332), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (IV/411, VIII/129), al-Baihaqi (X/192), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3597), ath-Thayalisi (no. 655), dan Ibnu Hibban (no. 606-at-Ta’liqatul Hisan).
Penjelasan Hadis

A. Pengertian Malu

Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci. [Lihat Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala’ (hal. 53)]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat, bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhur. Hidup dan matinya hati seseorang sangat memengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Al-Junaid rahimahullah berkata: “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran, sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan, dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’” [Madarijus Salikin (II/270). Lihat juga Fathul Bari (X/522) tentang definisi malu]
Kesimpulan definisi di atas ialah, bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat, serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain. [Lihat al-Haya’ fi Dhau-il Qur-anil Karim wal Ahadis ash-Shahihah (hal. 9)]

B. Keutamaan Malu

  1. Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan sifat-sifat yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.

Rasulullah ﷺ bersabda:

اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.

“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu, melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq ‘alaihi]
Dalam riwayat Muslim disebutkan:

اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.

“Malu itu kebaikan seluruhnya.” [Shahih: HR.al-Bukhari (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), dari Sahabat ‘Imran bin Husain]
Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad ﷺ, yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang dipingit.

  1. Malu Adalah Cabang Keimanan

Rasulullah ﷺ bersabda:

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.

“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘La ilaha illallah,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.” [Shahih: HR.al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abu Dawud (no. 4676), an-Nasa-i (VIII/110) dan Ibnu Majah (no. 57), dari Sahabat Abu Hurairah. Lihat Shahihul Jami’ ash-Shaghir (no. 2800)]
 

  1. Allah ﷻ Cinta Kepada Orang-Orang Yang Malu

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.

“Sesungguhnya Allah ﷻ Maha Pemalu, Maha Menutupi. Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.” [Shahih: HR.Abu Dawud (no. 4012), an-Nasa-i (I/200), dan Ahmad (IV/224) dari Ya’la]

  1. Malu Adalah Akhlak Para Malaikat

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.

“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para malaikat merasa malu kepadanya.” [ Shahih: HR.Muslim (no. 2401)]

  1. Malu Adalah Akhlak Islam

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.

“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.” [Shahih: HR.Ibnu Majah (no. 4181) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamush Shaghir (I/13-14) dari Sahabat Anas bin Malik. Lihat Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah (no. 940)]

  1. Malu Sebagai Pencegah Pemiliknya Dari Melakukan Maksiat

Ada salah seorang sahabat radhiyallahu anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu, dan ia berkata kepadanya: “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:

دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.

“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.” [Shahih: HR.al-Bukhari (no. 24, 6118), Muslim (no. 36), Ahmad (II/9), Abu Dawud (no. 4795), at-Tirmidzi (no. 2516), an-Nasa-i (VIII/121), Ibnu Majah (no. 58), dan Ibnu Hibban (no. 610) dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu]
Abu ‘Ubaid al-Harawi rahimahullah berkata: “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman, yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.” [Fathul Bari (X/522)]

  1. Malu Senantiasa Seiring dengan Iman, Bila Salah Satunya Tercabut Hilanglah yang Lainnya

Rasulullah ﷺ bersabda:

اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.

“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.” [Shahih: HR.al-Hakim (I/22), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamush Shaghir (I/223), al-Mundziri dalam at-Targhib wat Tarhib (no. 3827), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya. Lihat Shahih al-Jami’ish Shaghir (no. 3200)]

  1. Malu Akan Mengantarkan Seseorang Ke Surga

Rasulullah ﷺ bersabda:

اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.

[“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga. Dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.” Shahih: HR.Ahmad (II/501), at-Tirmidzi (no. 2009), Ibnu Hibban (no. 1929-Mawarid), al-Hakim (I/52-53) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah (no. 495) dan Shahih al-Jami’ish Shaghir (no. 3199)]

C. Malu Adalah Warisan Para Nabi Terdahulu

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu…”
Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi, hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad ﷺ . Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah ﷻ adalah berakhlak malu. [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (I/497) dan Qawa’id wa Fawa-id (hal. 179-180). Cet. I Dar Ibni Hazm]
Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syariat-syariat para nabi terdahulu. [Lihat Syarh al-Arba’in (hal. 83) karya Ibnu Daqiq al-‘Ied]

D. Rasulullah ﷺ Adalah Sosok Pribadi Yang Sangat Pemalu

Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi, kecuali bila kamu diizinkan untuk makan, dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Tetapi jika kamu diundang, maka masuklah. Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memerpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. [al-Ahzab/ 33:53]
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.

“Nabi ﷺ lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.” [ Shahih: HR.al-Bukhari (no. 6119)]
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah ﷻ sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharizah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi ﷺ memiliki dua jenis malu ini. Akan tetapi sifat tabiat beliau ﷺ lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.” [Fathul Bari (X/522)]

E. Makna Perintah Untuk Malu dalam Hadis Ini

Sabda Rasulullah ﷺ: “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”
Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadis ini, di antaranya:

  1. Perintah Tersebut Mengandung Arti Peringatan dan Ancaman

Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu, karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di Akhirat, atau kedua-duanya. Seperti firman Allah ﷻ:

اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Perbuatlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [Fushilat/41:40]

  1. Perintah Tersebut Mengandung Arti Penjelasan

Maksudnya, barang siapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang memunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

“Barang siapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.” [Shahih: HR.al-Bukhari (no. 110), Muslim (no. 30), dan selainnya dengan sanad Mutawatir dari banyak para sahabat]
Sabda beliau ﷺ di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan, bahwa barang siapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (I/498) dan Qawa’id wa Faawaid (hal. 180)]

  1. Perintah Tersebut Mengandung Arti Pembolehan

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah ﷻ dan manusia, maka lakukanlah. Jika tidak, maka tinggalkanlah.” [Fathul Bari (X/523)]
Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat Jumhur Ulama. [Lihat Madarijus Salikin (II/270)]

F. Malu Itu Ada Dua Jenis

  1. Malu Yang Merupakan Tabiat dan Watak Bawaan

Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah ﷻ kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ bersabda:

اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.

“Malu tidak mendatangkan sesuatu, kecuali kebaikan.” [Shahih: HR.al-Bukhari (no. 6117) dan Muslim (no. 37)]
Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrah bin ‘Abdullah al-Hakami berkata: “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (I/501)]

  1. Malu Yang Timbul Karena Adanya Usaha

Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullah (mengenal Allah ﷻ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah ﷻ sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabiat maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat, sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk, yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah ﷻ. [Lihat Qawa’id wa Fawa-id (hal. 181)]
Dahulu, orang-orang Jahiliyyah, yang berada di atas kebodohannya, sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk, karena dicegah oleh rasa malunya. Di antara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius, ketika ia ditanya tentang Rasulullah ﷺ., Abu Sufyan berkata:

فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.

“Demi Allah ﷻ, kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Rasulullah ﷺ).” [Shahih: HR.al-Bukhari (no. 7)]
Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah ﷺ, karena ia malu jika dituduh sebagai pendusta.

G. Konsekuensi Malu Menurut Syariat Islam

Rasulullah ﷺ bersabda:

اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرٍِِِِِِِِِِِِِِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِِِِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.

Hendaklah kalian malu kepada Allah ﷻ dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah ﷻ dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barang siapa yang menginginkan kehidupan Akhirat, hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barang siapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah ﷻ dengan sebenar-benar malu. [Hasan: HR.at-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hakim (IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033). Lihat Shahih al-Jami’ish Shaghir (no. 935)]

H. Malu Yang Tercela

Qadhi ‘Iyadh rahimahullah dan yang lainnya mengatakan: “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak, bukanlah malu yang disyariatkan. Bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu, karena menyerupai malu yang disyariatkan.” [Fathul Bari (X/522)]. Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah ﷻ, sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum Muslimin, adalah tercela, karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan. [Lihat Qawa’id wa Fawaid (hal. 182)]
Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syari, malu mengaji, malu membaca Alquran, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjamaah di masjid bersama kaum Muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syari, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela, karena akan menghalanginya memeroleh kebaikan yang sangat besar.
Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata:

لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.

Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu. [Atsar Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari secara Muallaq dalam Shahih-nya kitab al-‘Ilmu bab al-Haya’ fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jami’ bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/534-535, no. 879)]
Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshar:

نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.

Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memerdalam ilmu Agama. [Atsar Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya kitab al-‘Ilmu bab al-Haya’ fil ‘Ilmi secara Muallaq]
Para wanita Anshar radhiyallahu ‘anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah ﷺ, jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.
Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah ﷺ! Sesungguhnya Allah ﷻ tidak malu terhadap kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjima’)?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Apabila ia melihat air.”[Shahih: HR.al-Bukhari (no. 130) dan Muslim (no. 313)].
Maksud hadis ini ialah, wajib bagi laki-laki dan wanita mandi janabat, apabila ia mimpi jima’ (bersetubuh) lalu keluar mani. Apabila ia mimpi jima’ tetapi tidak keluar mani, maka tidak wajib mandi. Adapun jika suami-istri jima’ (bersetubuh), keduanya wajib mandi, meskipun tidak keluar mani.

I. Wanita Muslimah dan Rasa Malu

Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum Muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi, dan mendidik generasi dengan kesucian fitrah kewanitaan yang selamat. Alquranul Karim telah mengisyaratkan, ketika Allah ﷻ menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah ﷻ berfirman:

فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا

“Kemudian datanglah kepada Musa, salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu. Dia berkata: ‘Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak kami)…” [Al-Qashash/28: 25]
Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fitrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fitrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya. Tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.
Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran, adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syariat. Maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Alquran dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka. Merasuk ke dalam dirinya, apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah, berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan Akhirat. [Lihat al-Wafi fi Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah (hal. 153)] Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.
Setiap suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati, dan wajib menjaga istri dan anak-anak perempuannya, agar tidak mengikuti pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu, seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain. Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di atas rasa malu, karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun ikut hilang.

J. Buah Dari Rasa Malu

Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku ‘iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa’ (setia/menepati janji).
Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata: “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Di antara berkah mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu, adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu, berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah, dan saat berhubungan sosial dengan orang lain.
Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup. [Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala’ (hal. 55)]
Beliau melanjutkan: “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya, maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya. Siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia. Siapa yang dibenci manusia, pasti ia akan disakiti. Siapa yang disakiti, pasti akan bersedih. Siapa yang bersedih, pasti memikirkannya. Siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya, dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu. Tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya ,dan berucap apa saja yang disukainya.”
Fawaid Hadis

  1. Malu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi terdahulu.
  2. Sifat malu semuanya terpuji dan senantiasa disyariatkan oleh para Nabi terdahulu.
  3. Hadis ini menunjukkan, bahwa malu itu seluruhnya baik. Barang siapa banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih menyeluruh. Dan barang siapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula kebaikannya.
  4. Malu adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk.
  5. Malu yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang tercela.
  6. Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.
  7. Buah dari malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan) dan wafa’ (setia).
  8. Malu adalah bagian dari iman yang wajib.
  9. Orang-orang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan jelek.
  10. Allah ﷻ Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang pemalu.
  11. Rasulullah ﷺ adalah sosok pribadi yang sangat pemalu.
  12. Malaikat memunyai sifat malu.
  13. Lawan dari malu adalah tidak tahu malu (muka tembok). Ia adalah perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di dalamnya, serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ.

Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan. [Shahih: HR.al-Bukhari (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abu Hurairah Shahih: HR.al-Bukhari (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abu Hurairah]

  1. Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak mereka.

 
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
[Artikel: manhaj.or.id]
 
Sumber: http://www.alquran-sunnah.com/artikel/kategori/hadits/837-jika-engkau-tidak-malu,-berbuatlah-sesukamu