بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

#SeriPuasaRamadan
#SifatPuasaNabi

KEWAJIBAN BERPUASA DAN BERHARI RAYA BERSAMA PEMERINTAH

Rasulullah ﷺ bersabda:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Berpuasa adalah hari kalian berpuasa, berbuka (berhari raya Idul Fitri) adalah hari kalian berbuka, dan berkurban (berhari raya Idul Adha), adalah hari kalian berkurban.” [HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 224]

#Beberapa_Pelajaran:

Pertama: Perintah Berpuasa dan Berhari Raya bersama Pemerintah

Para ulama menjelaskan, bahwa makna hadis yang mulia ini adalah perintah berpuasa Ramadan dan berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha bersama Pemerintah. Dan, bahwa Pemerintah yang berhak menentukan waktu dimulainya puasa dan hari raya.

Al-Imam Abu Isa At-Tirmidzi rahimahullah setelah meriwayatkan hadis ini, beliau berkata:

وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ : إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا الصَّوْمُ وَالْفِطْرُ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعِظَمِ النَّاسِ

“Sebagian ulama telah menafsirkan hadis ini, mereka berkata: Hanyalah makna hadis ini adalah berpuasa dan berbuka (berhari raya) bersama al-jamaah (Pemerintah), dan kebanyakan manusia (tidak sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok).” [Sunan At-Tirmidzi, 2/72]

Al-‘Allaamah As-Sindi rahimahullah berkata:

وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة

“Dan nampak jelas, bahwa makna hadis ini adalah, perkara-perkara ini (menentukan waktu puasa dan hari raya), tidak boleh ada campur tangan individu-individu, dan tidak boleh bagi mereka untuk menetapkan keputusan sendiri, akan tetapi keputusannya diserahkan kepada pemimpin dan pemerintah. Dan wajib bagi individu-individu untuk mengikuti keputusan pemimpin dan pemerintah.” [Haasyiatus Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/509]

Kedua: Renungan untuk Ormas yang Menggunakan Metode Hisab dan Menyelisihi Pemerintah

Hadis yang mulia ini juga menunjukkan, bahwa orang yang menentukan puasa dan hari raya dengan cara hisab dan tidak diakui pemerintah adalah tertolak.

Al-Imam Al-Mundziri rahimahullah berkata:

وَقِيلَ فِيهِ الرَّدُّ عَلَى مَنْ يَقُولُ إِنَّ مَنْ عَرَفَ طُلُوعَ الْقَمَرِ بِتَقْدِيرِ حِسَابِ الْمَنَازِلِ جَازَ لَهُ أَنْ يَصُومَ بِهِ وَيُفْطِرَ دُونَ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ

“Dan dikatakan, bahwa dalam hadis ini ada bantahan terhadap orang yang berpendapat, bahwa siapa yang mengetahui kemunculan bulan dengan perkiraan hisab (perhitungan) tempat-tempat (posisi) bulan, maka boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka tanpa diketahui orang lain.” [Tuhfatul Ahwadzi, 3/313]

Terlebih lagi, jika Pemerintah di suatu negeri diberikan taufik oleh Allah ta’ala untuk menetapkan awal Ramadan dengan cara yang sesuai syariat, yaitu dengan cara melihat hilal. Apabila hilal tidak terlihat, maka bulan Syaban disempurnakan menjadi 30 hari, sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya.

Maka orang atau ormas yang menyelisihi keputusan pemerintah karena mengikuti metode hisab, mereka telah melakukan beberapa kesalahan:

1) Menyelisihi perintah Rasulullah ﷺ untuk mengikuti Pemerintah. Maka tidak dibenarkan mengikuti keputusan ormas-ormas atau kelompok-kelompok tertentu dalam penetapan puasa dan hari raya.

2) Menetapkan awal Ramadan dengan cara mengada-ada dalama agama, tanpa ada contoh dari Rasulullah ﷺ, yaitu dengan cara hisab, padahal seharusnya dengan ru’yah hilal.

3) Apabila disertai dengan celaan terhadap pemerintah secara terang-terangan, dengan dalih menasihati, maka ini adalah cara menasihati kelompok ahlul bid’ah Khawarij yang menyelisihi syariat.

4) Itu juga termasuk ghibah, yang merupakan dosa besar.

Ketiga: Apabila Kesaksian Melihat Bulan Tidak Diakui Pemerintah

Hadis yang mulia ini juga menunjukkan, bahwa orang yang melihat hilal (bulan baru), namun kesaksiannya tidak diakui oleh Pemerintah, maka tidak boleh baginya untuk berpuasa, menurut pendapat yang terkuat insya Allah.

Al-Imam Al-Mundziri rahimahullah berkata:

وَقِيلَ إِنَّ الشَّاهِدَ الْوَاحِدَ إِذَا رَأَى الْهِلَالَ وَلَمْ يَحْكُمْ الْقَاضِي بِشَهَادَتِهِ أَنَّ هَذَا لَا يَكُونُ هَذَا صَوْمًا لَهُ كَمَا لَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ

“Dan dikatakan, bahwa satu orang saksi yang melihat hilal dan kesaksiannya tidak diakui oleh hakim, maka tidak boleh baginya berpuasa, sebagaimana tidak boleh juga bagi orang-orang.” [Tuhfatul Ahwadzi, 3/313]

Al-‘Allaamah As-Sindi rahimahullah berkata:

وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ

“Oleh karena itu, apabila seseorang melihat hilal, namun Penguasa menolak persaksiannya, maka sepatutnya ia tidak memutuskan apa-apa dalam perkara-perkara ini, dan wajib baginya untuk mengikuti keputusan Pemerintah.” [Haasyitus Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/509]

Pendapat ini juga yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari tiga pendapat ulama, berdasarkan hadis yang mulia ini. Beliau berkata:

 يَصُومُ مَعَ النَّاسِ وَيُفْطِرُ مَعَ النَّاسِ وَهَذَا أَظْهَرُ الْأَقْوَالِ

“Hendaklah orang yang melihat hilal tetap berpuasa dan berhari raya bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas (kebenarannya).” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/114-115]

Karena pada hakikatnya yang dinamakan hilal apabila ia sudah terlihat dan diakui pemerintah, kemudian pemerintah menetapkannya, dan tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat. Jadi bukan sekedar melihat keberadaan hilal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

 فَإِنَّ الْهِلَالَ مَأْخُوذٌ مِنْ الظُّهُورِ وَرَفْعِ الصَّوْتِ فَطُلُوعُهُ فِي السَّمَاءِ إنْ لَمْ يَظْهَرْ فِي الْأَرْضِ فَلَا حُكْمَ لَهُ لَا بَاطِنًا وَلَا ظَاهِرًا وَاسْمُهُ مُشْتَقٌّ مَنْ فِعْلِ الْآدَمِيِّينَ يُقَالُ: أَهْلَلْنَا الْهِلَالَ وَاسْتَهْلَلْنَاهُ فَلَا هِلَالَ إلَّا مَا اُسْتُهِلَّ فَإِذَا اسْتَهَلَّهُ الْوَاحِدُ وَالِاثْنَانِ فَلَمْ يُخْبِرَا بِهِ فَلَمْ يَكُنْ ذَاكَ هِلَالًا فَلَا يَثْبُتْ بِهِ حُكْمٌ حَتَّى يُخْبِرَا بِهِ فَيَكُونُ خَبَرُهُمَا هُوَ الْإِهْلَالَ الَّذِي هُوَ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالْإِخْبَارِ بِهِ وَلِأَنَّ التَّكْلِيفَ يَتْبَعُ الْعِلْمَ فَإِذَا لَمْ يُمْكِنْ عِلْمُهُ لَمْ يَجِبْ صَوْمُهُ

“Sesungguhnya hilal diambil dari makna azh-zhuhur (nampak jelas) dan raf’u ash-shout (mengangkat suara). Maka kemunculannya di langit, apabila belum nampak di bumi, tidak ada hukum karenanya, (tidak memberikan pengaruh pada penetapan awal dan akhir Ramadan), tidak secara batin, tidak pula sacara zahir. Dan isim (kata benda) hilal adalah pecahan kata dari perbuatan (kata kerja) yang dilakukan oleh manusia, seperti dikatakan: Kami telah menyaksikan hilal dan melihatnya. Maka tidak ada hilal kecuali sesuatu yang telah jelas. Apabila satu atau dua orang telah melihatnya, namun mereka tidak mengabarkannya kepada manusia, maka itu bukan hilal, sehingga tidak ditetapkan hukum karenanya, sampai mereka mengabarkannya kepada manusia. Maka ketika itu barulah pengabaran mereka menjadi penampakan hilal yang merupakan rof’u ash-shout (mengangkat suara), dengan mengabarkan keberadaannya. Dan karena pensyariatan ibadah mengikuti ilmu, maka apabila belum memungkinkan untuk mencapai ilmunya, (yaitu ilmu tentang awal Ramadan), belum wajib mulai berpuasa.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/109-110]

Keempat: Bagaimana Apabila Ijtihad Pemerintah Salah dalam Menetapkan Awal atau Akhir Ramadan?

Hadis yang mulia ini juga menununjukkan, bahwa penetapan waktu puasa dan hari raya diserahkan kepada Ijtihad pemerintah dengan cara yang benar, yaitu melihat bulan atau menyempurnakan bulan. Apabila mereka sudah berusaha untuk berijtihad dengan cara yang benar, dan ternyata ijtihad mereka keliru, maka tidak ada celaan atas mereka, dan tidak perlu dipermasalahkan.

Al-Imam Al-Khottabi rahimahullah berkata:

 مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّ الْخِطَابَ مَوْضُوعٌ عَلَى النَّاسِ فِيمَا سَبِيلُهُ الِاجْتِهَادُ فَلَوْ أَنَّ قَوْمًا اجْتَهَدُوا فَلَمْ يَرَوُا الْهِلَالَ إِلَّا بَعْدَ الثَّلَاثِينَ فَلَمْ يُفْطِرُوا حَتَّى اسْتَوْفَوُا الْعَدَدَ ثُمَّ ثَبَتَ عِنْدَهُمْ أَنَّ الشَّهْرَ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَإِنَّ صَوْمَهُمْ وَفِطْرَهُمْ مَاضٍ وَلَا عَتْبَ عَلَيْهِمْ

“Makna hadis ini, bahwa penetapan awal puasa dan hari raya diserahkan kepada manusia (pemerintah) serta termasuk perkara yang ditetapkan melalui Ijtihad. Andaikan satu kaum berijtihad, lalu mereka tidak melihat hilal kecuali setelah hari ke-30, lalu mereka tidak berbuka sampai menyempurnakan bulan menjadi 30 hari, kemudian ternyata di kemudian hari menjadi jelas bagi mereka, bahwa bulan hanya 29 hari, maka puasa dan berbuka mereka telah berlalu dan tidak ada celaan atas mereka.” [Haasyiatus Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/509-510]

Kelima: Hikmah Menaati Pemerintah dalam Penetapan Awal dan Akhir Ramadan

Di antara hikmah besar apabila seluruh kaum Muslimin mengikuti keputusan Pemerintah dalam penetapan awal dan akhir Ramadan adalah mengokohkan persatuan kaum Muslimin. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata:

 لا شك أن اجتماع المسلمين في الصوم والفطر أمر طيب ومحبوب للنفوس ومطلوب شرعا حيث أمكن

“Tidak diragukan lagi, bahwa bersatunya kaum Muslimin dalam puasa dan hari raya adalah perkara yang baik, dicintai oleh jiwa, dan dituntut secara syariat, apabila memungkinkan.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/74]

 

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

 

Sumber:

 https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/801557856660365:0

http://sofyanruray.info/kewajiban-berpuasa-dan-berhari-raya-bersama-pemerintah/