TRANSFER PIUTANG (HAWALAH)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#IlmuFikih
TRANSFER PIUTANG (HAWALAH)
Hawalah adalah transaksi untuk mengalihkan utang, dari seseorang menjadi tanggungan orang lain.
Secara sederhana, akad Hawalah dapat digambarkan sebagai berikut:
A memberi utang pada B dengan tenggang waktu pelunasan yang telah ditentukan. Ternyata B juga pernah memberikan utang pada C, dengan jumlah yang sama dan waktu pelunasan yang sama pula. Ketika tiba waktunya pelunasan utang, A ingin menagih dari B, namun B mengalihkan pelunasan utangnya kepada C, dan meminta A agar menagih utang tersebut dari C.
Jadi, proses Hawalah terjadi di antara tiga orang, yaitu:
(1) A sebagai pemberi piutang pada B;
(2) B sebagai penerima utang dari A dan sekaligus memberi piutang pada C; dan
(3) C, penerima utang dari B.
Dalil Hawalah
Disebutkan dalam hadis shahih dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya:
“Menunda pembayaran utang, padahal mampu untuk melunasinya adalah perbuatan zalim. Apabila kamu memberi piutang kemudian hendak menagih piutang tersebut, namun kamu ditawari untuk menagihnya dari orang lain yang mampu untuk melunasinya, maka hendaklah  kamu  menerima tawaran tersebut” [HR Bukhari & Muslim].
Perlu diperhatikan, Hawalah BUKANLAH proses jual-beli. Karena itu, B tidak dikatakan sedang menjual piutangnya kepada C untuk melunasi utangnya pada A. Hawalah juga BUKAN bentuk wakalah (mewakilkan). Karena dalam Hawalah, A menagih utang dari C untuk dirinya, bukan untuk diserahkan kepada B. Tetapi Hawalah merupakan bentuk akad tersendiri, sebagai salah satu bentuk cara pelunasan utang.
Rukun dan Syarat Hawalah
Agar proses Hawalah sempurna, ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Rukun Hawalah terdiri dari tiga unsur, yaitu:

  1. Shigho: Segala bentuk ucapan maupun tulisan, yang menandakan bahwa B menawari A untuk menagih utangnya kepada C, dan menerima tawaran tersebut.
  2. Adanya tiga pihak seperti yang disebutkan sebelumnya. Dalam istilah Ilmu Fikih, mereka dinamakan Muhiil (B – Orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berutang), Muhaal (A – Orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain, yaitu orang yang memunyai piutang) dan Muhaal ‘Alaihi (C – Orang yang dipindahkan kepadanya, objek penagihan)
  3. Adanya utang yang hendak ditagih.

Sementara Syarat Hawalah antara lain:

  1. Adanya kerelaan dari ketiga pihak tersebut. B rida kalau piutangnya pada C ditagih oleh A. B rida kalau utangnya pada A dialihkan pelunasannya ke C. C juga rida kalau utangnya pada B ditagih oleh A.
  2. Ketiga pihak tersebut disahkan oleh syariat untuk mengadakan transaksi, seperti: orang yang sudah baligh dan berakal (tidak gila).

Konsekuensi Akad Hawalah
Dalam setiap akad ada konsekuensi yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh pelakunya. Begitu pula dengan Hawalah. Di antara Konsekwensi Akad Hawalah adalah:

  1. Apabila telah terlaksana akad Hawalah sesuai dengan ketentuan dan syaratnya, konsekuensi dari akad tersebut adalah lepasnya tanggung jawab B untuk membayar utang kepada A. Artinya, A hanya berhak menagih utang dari C, dan C hanya berkewajiban membayar utang kepada A.
  1. Hawalah bukanlah akad jual-beli, namun masuk dalam akad utang-piutang, karena salah satu pihak tidak diperbolehkan mengambil keuntungan sedikit pun dari piutangnya.

Dalam sebuah hadis dinyatakan:
“Segala bentuk piutang yang dimaksudkan untuk memeroleh keuntungan adalah bentuk perbuatan riba.” [HR Baihaqi secara Mauquf dalam Sunan Kubro 5/305].
Para ulama juga sepakat dalam hal ini, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 6/436
Beberapa Kondisi dalam Hawalah

  1. Apabila B mengalihkan pelunasan utangnya ke C, sedangkan C tidak punya utang pada B, proses akad Hawalah TETAP SAH, dengan syarat, C bersedia MEMBANTU melunasi utang B ke A. Dalam kondisi ini, kedudukan C bukanlah sebagai orang yang berkewajiban membayar utang, tetapi dia hanyalah seorang dermawan yang ingin membantu melunasi utang B kepada si A.

2. Apabila utang B pada A dalam mata uang Rupiah, sedangkan utang C pada B berupa Dolar, Hawalah TETAP BISA DIJALANKAN jika ketiganya rida. Dengan syarat, ketika A menagih utang ke C, keduanya mengadakan akad Shorf (Penukaran valuta asing). Kurs yang dipakai ketika proses pembayaran haruslah kurs harga di pasaran saat itu. Tidak boleh mengambil keuntungan dengan cara menetapkan sendiri kurs harga tukar.

3. Apabila C mengalami pailit sebelum akad Hawalah, sehingga tidak mungkin bisa melunasi utangnya, dan B tahu tentang keadaan tersebut, tapi TIDAK dia sampaikan kepada A, padahal A tidak mengetahuinya, kemudian mereka mengadakan akad Hawalah, maka A BERHAK UNTUK MEMBATALKAN Hawalah, karena dia berada pada posisi tertipu. Dengan demikian, A tetap menagih piutangnya pada B.

4. Apabila ketiga pihak telah sepakat untuk melakukan akad Hawalah, namun sebelum A menagih dari  C, ternyata C meninggal dunia atau terjadi sesuatu yang menyebabkan ia pailit, maka A tidak berhak lagi untuk menagih utangnya yang dulu dari B. Artinya, akad Hawalah tetap berlaku. Karena demikianlah konsekuensi akad Hawalah.

Jalan keluarnya: bila C meninggal dunia, A menagih piutangnya dari ahli waris C. Bila C jatuh pailit, A hanya bisa menunggu dan memerpanjang tempo pembayaran sampai keluarga C mampu melunasi. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Dan jika orang yang berutang itu dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memeroleh kelapangan.” [QS Al-Baqarah: 280].

5. Apabila piutang A pada B telah jatuh tempo, namun ketika ditagih, B mengalihkan pelunasannya ke C karena alasan tertentu, sementara  piutang B pada C belum jatuh tempo, maka jika A dengan rida menerima penawaran Hawalah dari B, A TIDAK BERHAK langsung menagih dari C, kecuali setelah jatuh tempo pelunasan utang C. Dengan demikian, ketika A menerima tawaran Hawalah, seakan-akan ia rida terhadap penangguhan pelunasannya dari tempo semula.***

 
Penulis: Ustadz Muhammad Yasir, MA hafizhahullahu ta’ala
Sumber: http://pengusahamuslim.com/5518-oper-utang-piutang-fikih-Hawalah.html
 
Catatan Tambahan:
Istilah dalam Hawalah:

  • Muhil (Orang yang memindahkan penagihan, yaitu orang yang berutang).
  • Muhal (Orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain, yaitu orang yang memunyai piutang).
  • Muhal ‘alaih (Orang yang dipindahkan kepadanya objek penagihan).
  • Muhal bih (Hak yang dipindahkan, yaitu utang).
Admin Nasihat Sahabat

Artikel Terbaru

DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…

3 months lalu

BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…

3 months lalu

BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…

3 months lalu

LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…

3 months lalu

KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…

3 months lalu

SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…

4 months lalu