Toleransi dan Empati Antara Suami Istri
Pada dasarnya, wanita (perempuan), ia merupakan bagian masyarakat yang dijamin kehidupannya sepanjang fase usianya, baik ia sebagai anak, istri, ibu atau saudara perempuan. Kaum lelaki dari keluarganyalah yang bertanggung jawab atas kehidupannya. Wanita tidak wajib untuk menanggung nafkah keluarga.
Bila wanita sudah berkeluarga, maka kebutuhan dan keperluan rumah serta anak-anaknya menjadi tanggung jawab suaminya. Ini merupakan salah satu bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain (kaum wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. [an Nisaa`/4: 34].
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, sudah menjadi Ijma’ ulama, ayah (suami)lah yang menafkahi anak-anak, tanpa dibarengi oleh ibu (istri) [Zaadul Ma’ad (5/448)].
Idealnya, antara suami dan istri terjalin kasih-sayang dan empati timbal-balik. Hubungan mesra mereka sepantasnya tidak tergantung pada uang. Karena, harga kemesraan dan keutuhan keluarga tidak bisa diukur dengan uang. Kerjasama dan saling mendukung antara suami dan istri harus tetap terjaga.
Apabila seorang suami berkecukupan, seyogyanya ia tidak mengambil milik istri. Begitu pun sebaliknya, istri yang berpenghasilan, sementara suaminya masih dalam kondisi ekonomi yang kurang, disyariatkan baginya untuk membantu suami, memberikan bantuan apa yang ia mampu untuk menopang kehidupan keluarga dengan jiwa yang ridha. Betapa indahnya, apabila seorang istri bisa melakukan sebagaimana yang diperbuat Zainab, istri Ibnu Mas’ud, dan bertindak seperti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Al Bukhari meriwayatkan hadis Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihnya, ia berkata:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه: …جَاءَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ فَقَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ فَقِيلَ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ نَعَمْ ائْذَنُوا لَهَا فَأُذِنَ لَهَا قَالَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّكَ أَمَرْتَ الْيَوْمَ بِالصَّدَقَةِ وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ
“Dari Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu anhu: … Zainab, istri Ibnu Mas’ud datang meminta izin untuk bertemu. Ada yang memberitahu: “Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab,” beliau bertanya,”Zainab yang mana?” Maka ada yang menjawab: “(Zainab) istri Ibnu Mas’ud,” beliau menjawab,”Baiklah. Izinkanlah dirinya,” maka ia (Zainab) berkata: “Wahai, Nabi Allah. Hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku mempunyai perhiasan dan ingin bersedekah. Namun Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku,” Nabi bersabda,”Ibnu Mas’ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu.” Dalam lafazh lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam menambahkan:
نَعَمْ لَهَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ
“Benar, ia mendapatkan dua pahala, pahala menjalin tali kekerabatan dan pahala sedekah.”
Penempatan hadis di atas oleh al Bukhari dalam (Bab “Zakat Terhadap Kaum Kerabat, Bab Zakat Kepada Suami dan Anak-Anak Yatim yang Berada Dalam Pengawasannya), menunjukkan hal itu mencakup zakat yang wajib maupun yang bersifat Tathawwu’ (Sukarela). Mayoritas ulama berpendapat, zakat yang wajib tidak boleh diserahkan kepada orang yang nafkah hidupnya menjadi kewajiban Muzakki (Yang berkewajiban membayar zakat). Dan tidak ada keraguan lagi, bahwa nafkah suami bukan kewajiban istri, maka ia boleh memberikan zakatnya kepada suaminya, tetapi tidak sebaliknya. Oleh karena itu, suami tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada istrinya. Adapun anak-anak, nafkah mereka menjadi tanggungan ayah mereka, bukan pada ibu mereka, selama sang ayah masih ada.
Syaikh Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd mengatakan, pelajaran dari hadis di atas:
- Diperbolehkan bagi wanita bersedekah untuk suaminya yang miskin.
- Suami adalah orang yang paling utama untuk menerima sedekah dari istrinya dibandingkan dengan orang lain.
- Istri diperbolehkan bersedekah untuk anak-anaknya dan kaum kerabatnya yang tidak menjadi tanggungannya.
- Sedekah istri tersebut termasuk bentuk sedekah yang paling utama [Penjelasan hadis dan faidah-faidahnya diambil dari Fiqhul Islam Syarhu Bulughi al Maram, karya Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd, 3/154-156].
Dalam masalah sedekah kepada suami, terdapat sebuah teladan monumental telah dipahat oleh Ummul Mukminin Khadijah. Yaitu beliau membantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jiwa, raga dan benda. Sungguh sebuah peranan yang besar seorang istri bagi suaminya.
Oleh karena itu, layak untuk diperhatikan oleh seorang istri. Bahwa istri yang baik, mengelola uang dan harta milik pribadinya secara bijak, membelanjakan pada pos-pos yang bermanfaat bagi dirinya di dunia dan akhirat, tidak berbuat boros yang hanya akan mendatangkan kerugian baginya saja.
Wallahu a’lam. Washallallahu ‘ala Muhammad wa ‘ala Alihi wa Shahbihi ajma’in.
Untuk lengkapnya:
Leave A Comment