بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
#Tafslir_Alquran
TAFSIR AYAT ‘LAA IKRAHA FIDDIIN’
Apakah benar, bahwa semua agama itu benar, dan Islam bukanlah agama yang paling benar? Dan bahwa Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk memeluk agama apa saja?
Allah ta’ala berfirman:
لَا إكْرَاه فِي الدِّين قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ
“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)
Sebagian orang SALAH dalam memahami ayat ini, sehingga terjebak dalam pemahaman Pluralisme agama. Yaitu bahwa semua agama itu benar, dan Islam bukanlah agama yang paling benar. Paham ini juga mengajarkan, bahwa Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk memeluk agama apa saja, dan agama apapun dapat mengantarkan pemeluknya kepada Surga Allah ta’ala. Dengan demikian, menurut para Pluralis, dalam Islam tidak ada konsep Mukmin dan kafir.
Padahal Islam sama sekali TIDAK MENGAJARKAN Pluralisme agama. Bahkan Islam mengajarkan tauhid. Dan Allah ﷻ sama sekali tidak ridha terhadap agama selain Islam, serta segala bentuk kemusyrikan. Lalu bagaimana dengan ayat di atas? Mari kita simak pembahasannya.
Penafsiran Ahli Tafsir
Islam mengajarkan kepada ummatnya agar mengembalikan setiap permasalahan kepada ahlinya. Allah ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada ahli ilmu, jika engkau tidak tahu” (QS. An Nahl: 43)
Bahkan dalam urusan duniawi, harus dikembalikan kepada orang yang ahli dalam urusan tersebut. Rasulullah ﷺ bersabda:
أنتم أعلم بأمر دنياكم
“Engkau lebih tahu urusan dunia kalian” (HR Muslim no.2363)
Dan setiap orang berakal tentu akan menerima konsep ‘Kembalikanlah setiap urusan kepada ahlinya‘. Kita tentu tidak akan menanyakan obat suatu penyakit kepada ahli matematika, melainkan kepada dokter bukan?
Oleh karena itu, marilah kita bersikap bijak untuk mengembalikan urusan penafsiran Alquran kepada ulama ahli tafsir, dan BUKAN opini masing-masing, atau opini dari orang yang bukan ulama ahli tafsir.
Seorang imam ahli tafsir yang terkemuka, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan:
“Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam enam pendapat:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِير
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya” (QS. At Taubah: 73). Pendapat pertama ini diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud dan dari banyak ahli tafsir.
Adanya perbedaan pendapat ini juga dipaparkan oleh Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari, Abu Hatim dalam Tafsir Abi Hatim, Asy Syaukani dalam Fathul Qadhir, dan beberapa ulama ahli tafsir yang lain.
Namun sebagian ulama menafsirkan ayat ini secara mujmal (umum). Sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni. Ash Shabuni menafsirkan ayat ini: “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam, karena telah jelas perbedaan antara kebenaran dan kebatilan, dan hidayah telah terbedakan dari kesesatan” (Shafwatut Tafasir)
Pendapat yang lebih kuat, wallahu’alam, sebagaimana yang dikuatkan oleh imam ahli tafsir yang lain, Ibnu Jarir Ath Thabari, setelah memberikan sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan ayat ini mansukh (dihapus), beliau menyimpulkan makna ayat: “Sehingga jelas bahwa makna ayat ini adalah: Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam bagi orang kafir yang dikenai Jizyah, dan telah membayarnya, dan mereka ridha terhadap hukum Islam.” (Tafsir Ath Thabari)
Telah Jelas Kebenaran dan Kebatilan
Perbedaan di antara ahli tafsir tersebut masing-masing didasari oleh riwayat-riwayat dari para sahabat, atau dari para ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga setiap pendapat dapat diterima dan dapat ditoleransi. Jika demikian, andaikan seseorang mengambil pendapat ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini tidak mansukh (dihapus), dan menafsirkan ayat ini secara umum, yaitu tidak ada paksaan untuk memeluk Islam bagi siapa pun, sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni, pendapat ini tetap tidak sejalan dengan konsep Pluralisme agama. Sama sekali tidak! Karena Allah ta’ala berfirman:
قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ
“Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)
Jelas bahwa pendapat ini menetapkan, bahwa telah JELASLAH KEBENARAN ISLAM DAN TELAH JELASLAH KEBATILAN AGAMA SELAIN ISLAM. Sehingga orang yang berhati bersih dan memandang dengan jernih, tentu akan melihat kebenaran itu, dan dengan sendirinya masuk Islam tanpa perlu dipaksa. Sedangkan orang yang enggan masuk Islam, seolah-olah ia buta dan tertutup hatinya, sehingga tidak dapat melihat kebenaran yang begitu jelas ini.
Ibnu Katsir menyatakan: “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam, karena telah jelas dan tegas, tanda dan bukti kebenaran Islam, sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya, sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk Islam” (Tafsir Ibnu Katsir)
Senada dengan beliau, Ibnu Jarir Ath Thabari juga berkata: “Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kebatilan. Dan telah jelas sudah sisi kebenaran bagi para pencari kebenaran. Dan kebenaran ini telah terbedakan dari kesesatan. Sehingga tidak perlu lagi memaksa para Ahli Kitab dan orang-orang kafir yang dikenai Jizyah untuk memeluk agama Islam, agama yang benar. Dan orang-orang yang berpaling dari kebenaran ini setelah jelas baginya, biarlah Allah yang mengurusnya. Sungguh Allahlah yang akan memersiapkan hukuman bagi mereka di Akhirat kelak” (Tafsir Ath Thabari)
Maka jelaslah, bahwa tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam, BUKAN berarti ridha terhadap kekafiran mereka, BUKAN membenarkan semua agama yang ada, dan BUKAN menghilangkan status ‘kafir’ dari diri mereka, sebagaimana diklaim oleh para Pluralis.
Agama yang Benar Hanya Islam
Satu hal yang wajib dijadikan pegangan setiap Muslim, yaitu bahwa ayat-ayat Alquran tidak ada yang saling bertentangan. Allah ta’ala berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Apakah kalian tidak menadabburi Alquran? Andaikan Alquran bukan diturunkan dari sisi Allah, tentu akan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. An Nisa: 82)
Dan di dalam ayat lain, pemahaman bahwa semua agama sama dan semua agama itu benar telah DIBANTAH oleh Allah ta’ala sendiri. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ
“Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)
Allah ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al Imran: 85)
Orang yang mengusung isu Pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘Berserah diri’. Menurut mereka, semua agama itu benar, asalkan berserah diri kepada Tuhan. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah ﷺ:
الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا
”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah. Dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah. Engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada Ramadan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah, jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no. 8)
Sehingga ber-Islam BUKANLAH hanya sekedar berserah diri kepada Tuhan, siapapun Tuhan-nya. Namun Islam yang diinginkan oleh Allah ta’ala adalah BERSERAH DIRI KEPADA ALLAH TA’ALA SAJA dengan menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada yang lain. Inilah inti ajaran Islam. Rasulullah ﷺ bersabda:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallah” (HR. Bukhari no. 1399, Muslim no. 124)
Oleh karena itu jelaslah, bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam, bukan berarti tidak mengakui bahwa Islam itu agamanya yang paling benar, dan agama yang hanya diridhai oleh Allah ta’ala.
Dari sini kita pun melihat keanehan dan kelemahan argumen para Pluralis. Mereka mencomot sebuah dalil, namun di sisi lain menginjak-injak dalil yang lain.
Tidak Memaksa Bukan Tidak Membenci
Inti ajaran Islam adalah mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah ﷻ semata. Karena hanya Allah ta’ala-lah satu-satunya Sesembahan yang berhak disembah dengan benar. Allah ta’ala-lah Dzat yang paling berhak mendapat kecintaan dan ketundukan terbesar dari setiap manusia. Konsekuensinya, seorang Mukmin akan membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, dan kecintaan terhadap Sesembahan selain Allah, serta membenci orang-orang yang melakukan demikian. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)
Sebagai bentuk kebencian itu, Allah ta’ala juga MELARANG kaum Mukminin menjadi teman akrab, merendahkan diri, serta tunduk kepada orang kafir,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, sebagai wali. (Yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)
Wali secara bahasa artinya orang yang dicintai, teman akrab, atau penolong (Lihat Qamush Al Muhith). Selain itu, rasa benci terhadap kekufuran ini adalah tuntutan iman dan syarat sempurnanya iman. Rasulullah ﷺ juga bersabda:
من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان
“Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Dengan demikian jelaslah, bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam, bukan berarti tidak membenci mereka. Kita tidak memaksa mereka, namun tetap menyimpan rasa benci kepada mereka, selama mereka belum mengakui, bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Sesembahan yang berhak disembah dan memeluk Islam.
Namun perlu digaris bawahi, rasa benci terhadap kekufuran dan orang kafir wajib ada di hati setiap Muslim. Akan tetapi kebencian ini bukan berarti harus menyakiti, menzalimi atau bahkan membunuh setiap orang kafir yang kita jumpai. Karena dalam aturan Islam, orang kafir dibagi menjadi beberapa jenis, ada yang boleh disakiti dan diperangi, ada pula orang kafir yang haram untuk disakiti dan diperangi. Walau demikian, tetap Tidak Boleh memberikan kasih sayang dan loyalitas kepada mereka.
Demikian penjelasan singkat mengenai tafsir ayat ini. Mudah-mudahan Allah ta’ala senantiasa memberikan kita keteguhan hati untuk terus meniti di atas jalan-Nya yang lurus.
Wabillahi At Taufiq.
—
Penulis: Yulian Purnama
[Artikel www.Muslim.or.id]
https://Muslim.or.id/1851-tafsir-ayat-laa-ikraha-fiddiin.html
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…