بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
#SeriPuasaRamadan
SYARAT-SYARAT WAJIBNYA PUASA
Syarat Pertama: Islam
Karena ibadah orang kafir tidak akan diterima oleh Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِالله وَبِرَسُولِهِ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya, melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah: 54]
Dan firman Allah ta’ala:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al-Furqon: 23]
Dan firman Allah ta’ala:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka memersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al-An’am: 88]
Dan firman Allah ta’ala:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu memersekutukan Allah, niscaya akan terhapuslah amalanmu.” [Az-Zumar: 65]
Akan tetapi orang-orang kafir pun akan mendapatkan azab, karena mereka menyekutukan Allah atau kafir kepada-Nya, dan juga karena meninggalkan puasa, dan amalan-amalan lainnya, karena perintah dan larangan syariat juga tertuju kepada mereka, sebagaimana firman Allah ta’ala:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَر * قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّين * وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِين* وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِين * وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّين * حَتَّى أَتَانَا الْيَقِين
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (Neraka)? Mereka menjawab: Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan Hari Pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” [Al-Mudatstsir: 42-47]
Apabila Orang Kafir Masuk Islam di Siang Hari Ramadan
Apabila orang kafir masuk Islam di siang hari, maka hendaklah ia memulai puasa pada saat itu juga, sampai terbenam matahari. Puasanya sah dan tidak perlu meng-qodho’. Ini pendapat yang terkuat insya Allah, dari dua pendapat ulama. [Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin rahimahullah, 19/76, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 83]
Hukum Menjual Makanan kepada Orang Kafir di Siang Hari Ramadan
Penjelasan di atas menunjukkan, bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim memberi atau menjual makanan kepada orang kafir di siang hari Ramadan, karena itu termasuk tolong menolong dalam dosa, sebagaimana fatwa Dewan Ulama Senior dalam Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia:
لا يجوز فتح المطعم في نهار رمضان للكفار ولا خدمتهم فيه؛ لما فيه من المحاذير الشرعية العظيمة، من إعانة لهم على ما حرم الله، ومعلوم من الشرع المطهر أن الكفار مخاطبون بأصول الشريعة وفروعها، ولا ريب أن صيام رمضان من أركان الإسلام، وأن الواجب عليهم فعل ذلك مع تحقيق شرطه وهو الدخول في الإسلام
“Tidak boleh membuka rumah makan di siang hari Ramadan untuk orang-orang kafir, dan membantu mereka untuk makan, karena itu sangat terlarang dalam syariat, yaitu menolong mereka untuk melakukan apa yang Allah haramkan. Karena dimaklumi, bahwa orang-orang kafir pun diperintahkan untuk mengamalkan pokok syariat dan cabangnya, dan tidak diragukan lagi, bahwa puasa Ramadan termasuk rukun Islam. Maka wajib atas mereka berpuasa dengan memenuhi syarat puasa, yaitu masuk Islam.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/37 no. 17717]
Syarat Kedua: Baligh
Puasa tidak wajib bagi anak kecil yang belum baligh, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Pena diangkat dari tiga golongan, yaitu dari orang gila yang tertutup akalnya sampai ia sadar, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dan dari anak kecil sampai ia baligh.” [HR. Abu Daud dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Al-Irwa’, 2/5]
Dan hendaklah orang tua atau wali melatih anak berpuasa, dan memerintahkannya apabila telah berumur tujuh tahun atau lebih. [Lihat Majmu Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/180]. Sebagaimana yang dilakukan para sahabat radhiyallahu’anhum. Shahabiyah yang Mulia Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiyallahu’aha berkata:
وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ العِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الإِفْطَارِ
“Dan kami memerintahkan anak-anak kami berpuasa, dan kami buatkan untuk mereka mainan dari wol. Maka apabila salah seorang anak menangis karena lapar, kami berikan mainan itu sampai akhirnya masuk waktu berbuka.” [Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim]
Apabila Anak Baligh di Siang Hari Ramadan
Apabila seorang anak baligh di siang hari, maka saat itulah ia wajib berpuasa sampai matahari terbenam. Puasanya sah, dan tidak perlu meng-qodho’, menurut pendapat yang terkuat insya Allah, dari tiga pendapat ulama. [Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyah rahimahullah, 25/109]
Cara Mengetahui Usia Baligh
Usia baligh dapat diketahui dengan salah satu dari tiga perkara bagi laki-laki, dan ditambah satu lagi bagi wanita: [Lihat Majmu Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/174 dan Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 85-88]
Syarat Ketiga: Berakal
Adapun orang gila tidak wajib puasa, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Pena diangkat dari tiga golongan, yaitu dari orang gila yang tertutup akalnya sampai ia sadar, dari orang yang tidur sampai ia bangun dan dari anak kecil sampai ia baligh.” [HR. Abu Daud dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Al-Irwa’, 2/5]
Apabila Kadang Sadar dan Kadang Gila
Apabila ia terkadang sadar dan terkadang gila, maka wajib baginya berpuasa di hari-hari sadarnya. Apabila ia sadar di tengah hari, maka wajib baginya berpuasa pada saat itu juga, sampai matahari terbenam. Puasanya sah, dan tidak ada kewajiban qodho’. [Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyah rahimahullah, 25/109 dan Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 90]
Hukum Orang Tua yang Pikun
Orang tua yang pikun serta hilang kesadaran, maka sama hukumnya dengan orang gila. Tidak wajib puasa, dan tidak pula wajib fidyah. Apabila terkadang kepikunannya hilang, maka wajib baginya puasa, atau fidyah, jika tidak mampu berpuasa karena sudah tua. [Lihat Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/205-206 dan Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 91]
Syarat Keempat: Mampu
Orang yang tidak mampu tidak wajib puasa, sebagaimana firman Allah ta’ala:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan jauh (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain (di luar Ramadan).” [QS. Al-Baqoroh: 185]
Siapa yang Termasuk Kategori Tidak Mampu Puasa dan Apa Kewajibannya?
Ketidakmampuan ada dua bentuk:
Pertama: Tidak mampu sementara, seperti orang sakit yang masih diharapkan kesembuhannya. Apabila berat baginya berpuasa, atau jika berpuasa akan memudaratkannya, maka boleh berbuka, dan wajib atasnya meng-qodho’ setelah Ramadan, jika telah sembuh, sebagaimana disebutkan dalam ayat yang mulia di atas.
Kedua: Tidak mampu selamanya, yaitu orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa, dan orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, menurut persaksian para dokter yang terpercaya. [Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/175]. Insya Allah akan datang pembahasannya lebih detail.
Adapun kewajibannya adalah membayar fidyah. Untuk setiap satu hari puasa yang ditinggalkan, memberi makan satu orang miskin, sebanyak satu sho’ (senilai kurang lebih 1,5 kg) bahan makanan pokok di negerinya. [Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/175]. Atau makanan jadi satu porsi makan yang mencukupi, untuk setiap satu hari puasa yang ditinggalkan.
Fidyah hendaklah dengan makanan, tidak diuangkan, dan boleh diberikan sekaligus di awal, tengah atau akhir Ramadan, kepada satu orang miskin atau lebih [Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/175-176]. Insya Allah juga akan datang pembahasannya lebih detail.
Hukum Puasa Wanita Hamil dan Menyusui
Wanita hamil dan menyusui sama dengan orang sakit yang masih diharapkan kesembuhannya, yaitu boleh berbuka apabila merasa berat untuk puasa, atau khawatir mudarat. Dan hendaklah meng-qodho’, tidak perlu membayar fidyah. Ini pendapat terkuat insya Allah ta’ala. [Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/223]
Juga sama dengan musafir yang boleh berbuka, wajib meng-qodho’ di luar Ramadan dan tidak perlu membayar fidyah, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ، أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنِ الْمُسَافِرِ، وَعَنِ الْمُرْضِعِ، أَوِ الْحُبْلَى
“Sesungguhnya Allah ta’ala meringankan sebagian sholat atau separuh sholat dan puasa dari musafir dan dari wanita menyusui atau wanita hamil.” [HR. Abu Daud dari Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiyallahu’anhu, Shahih Abi Daud: 2083]
Syarat Kelima: Mukim
Adapun musafir tidak wajib puasa, namun boleh berpuasa jika mampu dan tidak berat bebannya. Boleh juga berbuka dan wajib meng-qodho’ di luar Ramadan, sebagaimana firman Allah ta’ala:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan jauh (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya, itu pada hari-hari yang lain (di luar Ramadan).” [QS. Al-Baqoroh: 185]
Insya Allah akan datang pembahasannya lebih detail.
Syarat Keenam: Tidak Ada Penghalang
Ini adalah ketentuan khusus bagi wanita, yaitu tidak sedang haid dan nifas, karena keduanya adalah penghalang sahnya puasa, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah apabila wanita haid tidak boleh puasa dan sholat.” [HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu]
Dan wajib bagi wanita haid dan nifas untuk meng-qodho’, [Lihat Fatawa Nur ‘alad Darb libni Baz rahimahullah, 7/212] sebagaimana dalam hadis Mu’adzah rahimahallah, ia berkata:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ،فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Aku bertanya kepada Aisyah -radhiyallahu’anha-: Mengapakah wanita haid harus meng-qodho’ puasa dan tidak men-gqodho’ sholat? Beliau berkata: Apakah kamu wanita Khawarij? Aku berkata: Aku bukan wanita Khawarij, tapi aku bertanya. Maka beliau berkata: Dahulu ketika kami haid, kami diperintahkan untuk mengqodho’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqodho’ sholat.” [HR. Muslim]
Apabila seorang wanita dipastikan suci sebelum terbit fajar, maka wajib baginya puasa, walau belum sempat mandi. [Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/191]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
——————————
Penulis: Al-Ustadz Sofyan Chalid Ruray hafizhahullah
Sumber:
Sumber: http://sofyanruray.info/syarat-syarat-wajibnya-puasa/
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…