>> Boleh beramal dengah Hadis Dhaif tapi harus penuhi syarat-syaratnya
Berikut ini adalah syarat-syarat beramal dengan Hadis Dhaif:
1. Syarat Pertama
Hadis tersebut khusus untuk Fadhailul Amal atau Targhib dan Tarhib. TIDAK BOLEH untuk akidah atau ahkam (seperti hukum halal, haram, wajib, sunat, makruh) atau tafsir Alquran. Jadi seorang yang akan membawakan hadis-hadis Dhaif, terlebih dahulu HARUS MENGETAHUI mana hadis Dhaif yang MASUK bagian Fadha Ilul A’mal dan mana hadis Dhaif yang masuk bagian Akidah atau Ahkam.
Tentu saja persyaratan pertama ini CUKUP BERAT dan tidak sembarang orang dapat mengetahui perbedaan hadis-hadis Dhaif, kecuali mereka YANG BENAR-BENAR AHLI HADIS.
Kenyataannya, kebanyakan dari mereka (khususnya kaum KHUTOBAA’- para penceramah / khotib) tidak mampu dan telah melanggar persyaratan pertama ini.
Berapa banyak hadis Dhaif tentang akidah dan ahkam yang mereka sebarkan melaului mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan.!!!!
2. Syarat Kedua
Hadis tersebut TIDAK SANGAT DHOIF apalagi MAUDHU’, BATIL, MUNGKAR dan Hadis-hadis yang TIDAK ADA ASALNYA.
Yakni, yang boleh dibawakan hanyalah hadis-hadis yang ringan (kelemahannya). Persyaratan kedua ini LEBIH BERAT dan SULIT dibandingkan dengan syarat yang pertama. Karena untuk itu harus mengetahui suatu hadis itu derajatnya SHAHIH, HASAN, DHAIF ringan, atau sangat DHAIF, dan seterusnya.
Bukanlah pekerjaan yang mudah, sebagaimana telah dimaklumi oleh mereka yang faham betul dengan ilmu yang mulia ini.
Pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang sangat berat yang hanya dapat dikerjakan oleh para AHLI HADIS yang benar-benar ahli. Dan persyaratan kedua ini pun DILANGGAR besar-besaran. Berapa banyak hadis yang batil dan mungkar, sangat Dhaif, Maudhu’, dan tidakada asalnya yang mereka sebarkan dengan lisan maupun tulisan.
Anehnya, orang-orang jahil ini kalau dinasihati oleh ahli ilmu, dengan cepat mereka menjawab:”Dibolehkan untuk Fadha ilul a’mal”. Lihatlah betapa sempurnanya kejahilan mereka!!!
3. Syarat Ketiga
Hadis tersebut TIDAK BOLEH DI-I’TIQODKAN (diyakini) sebagai sabda Nabi ﷺ, sebab bisa terkena ancaman beliau ﷺ, yakni berdusta atas nama beliau ﷺ. Persyaratan ketiga ini SAMA SEKALI tidak dapat dipenuhi, karena yang membawakan dan mendengarkan betul-betul MENYAKINI sebagai sabda Nabi ﷺ
4. Syarat Keempat
Hadis tersebut harus mempunyai dasar yang umum dari hadis yang SHAHIH. Persyaratan yang keempat ini selain susah dan lagi-lagi mereka tidak dapat memenuhinya, juga apabila TELAH ADA hadis yang Shahih, untuk apalagi segala macam hadis-hadis yang Dhaif.
5. Syarat kelima
Hadis tersebut TIDAK BOLEH DIMASYHURKAN (DIPOPULERKAN). Menurut Imam ibnu
Hajar rahimahulllah, apabila hadis-hadis Dhaif itu dipopulerkan, niscaya akan terkena ancaman berdusta atas nama Nabi ﷺ.
Lihatlah! Ramai-ramai mereka menyebarkan dan memopulerkan hadis-hadis Dhaif, sangat Dhaif, bahkan Maudhu’, sehingga umat lebih mengenal hadis-hadis tersebut daripada hadis Shahih. Innalillahi wa inna ilahi rooji’un !! Alangkah terkenanya mereka dengan ancaman Nabi ﷺ.
6. Syarat Keenam
Wajib memberikan bayan (PENJELASAN) bahwa hadis tersebut Dhaif saat menyampaikan atau membawakannya. Kalau tidak, niscaya mereka terkena kepada kepada ancaman menyembunyikan ilmu dan masuk ke dalam ancaman Nabi ﷺ:” Ancaman berdusta atas nama Nabi ﷺ”.
Demikian ketetapan para Muhaqiq dari Ahli Hadis dan Ulama Ushul, sebagaimana diterangkan oleh Abu Syaamah [baca Tamaamul minnah: Al Bani hal:32]
Inilah hukum orang yang “Diam”, tidak menjelaskan hadis-hadis Dhaif yang ia bawakan untuk Fadhailul A’mal.
Maka bagaimana dengan orang yang “Diam” terhadap riwayat-riwayat yang batil, sangat Dhaif, atau Maudhu untuk Fadhailul A’mal ??? Benarlah para ulama kita rahimahumullah, bahwa mereka terkena ancaman menyembunyikan ilmu dan berdusta atas nama Nabi ﷺ.
7. Syarat Ketujuh
Dalam membawakannya TIDAK BOLEH menggunakan lafal-lafal jazm (yang menetapkan) seperti: “Nabi ﷺ telah bersabda atau mengerjakan sesuatu atau memerintahkan dan melarang dan lain-lain, yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi ﷺ BENAR-BENAR bersabda dan seterusnya.
Tetapi wajib menggunakan lafal TAMRIDH (yaitu lafal yang TIDAK MENUNJUKKAN sebagai sesuatu ketetapan), seperti:
Telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ dan yang serupa dengannya dari lafal Tamridh sebagaimana telah dijelskan oleh Imam Nawawi dalam muqoddimah kitabnya Al Majmu’syarah Muhadzdzab (1/107) dan para ulama lainnya.
Persyaratannya yang terakhir ini, selain mereka tidak memiliki kemampuan, juga tidak bisa dipakai lagi pada jaman kita sekarang (di mana ilmu hadis sangat Gharib / asing sekali).
Karena kebanyakan dari ahli ilmu sendiri (kecuali Ahli Hadis) teristimewa kaum khutobaa / para khatib dan orang awam tidak dapat membedakan antara lafal jazm dan tamridh.
Wallahu ta’ala a’lam
[Dikutip dari Berhati-Hati Dalam Meriwayatkan Hadis Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam Dan Beberapa Kesalahan Dalam Meriwayatkan Dan Hukum Meriwayatkan Dan Mengamalkan Hadis-Hadis Dhaif Untuk Fadhaa-Ilul A’mal, Tagrib Dan Tarhib Dan Lain-Lain oleh Ustadz Abdul Hakim Abdat]