“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” [Al-Kahfi: 110]
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan makna ayat yang mulia ini:
“Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, yaitu pahala dan balasannya yang baik, maka hendaklah ia beramal saleh, yaitu amalan yang sesuai syariat Allah taala.
Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya, yaitu hendaklah (ikhlas) hanya mengharap wajah Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya.
Dua perkara ini adalah Dua Rukun Amalan yang diterima, yaitu harus ikhlas karena Allah taala dan sesuai syariat Rasulullah ﷺ.” [Tafsir Ibnu Katsir, 5/205]
Maka syarat diterimanya ibadah yang telah ditetapkan Allah ‘azza wa jalla ada dua syarat:
1. Ikhlas, yaitu beribadah karena mengharapkan balasan dari Allah semata-mata. Lawannya adalah riya, yaitu mempertontonkan badah karena ingin dipuji orang.
2. Ittiba’, yaitu mengikuti sunnah (petunjuk) Rasulullah ﷺ. Lawannya adalah bid’ah, yaitu mengada-ada dalam agama tanpa dalil.
Ulama sepakat (ijma’), bahwa ibadah tidak akan benar tanpa memenuhi dua syarat ini [lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah, hal. 115].