SIKAP KITA KETIKA MENDENGAR GHIBAH TENTANG AIB ORANG LAIN
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
SIKAP KITA KETIKA MENDENGAR GHIBAH TENTANG AIB ORANG LAIN
Syaikh Salim Bin ‘Ied Al-Hilali, salah seorang murid Syaikh Al-Albani rahimahullah, beliau menukilkan dalam kitabnya:
”Ketahuilah, bahwasanya ghibah membicarakan keburukan itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya.
Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi aib saudaranya yang lain:
• Untuk melarang orang itu, kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas.
• Namun jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya, dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika hal itu memungkinkan.
• Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.
• Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan ghibah keburukan tersebut berlanjut, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa.
• Dia harus membenci ghibah tersebut dengan hatinya agar bisa bebas dari dosa.
• Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya, dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah keburukan itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka haram baginya untuk istima’(mendengarkan), dan isgho’ (mendengarkan dengan seksama) pembicaraan ghibah itu.
Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berzikir kepada Allah subhanahu wa taala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu, maka tidak dosa baginya mendengar ghibah, yaitu sekadar mendengar namun tidak memerhatikan atau tidak mau faham dengan apa yang didengar. Namun jika dalam beberapa waktu kemudian mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis.” [Bahjatun Nadzirin 3/29-30]