“Pena diangkat (kewajiban gugur) dari tiga (orang):
1. Orang yang tidur hingga bangun,
2. Anak kecil hingga bermimpi (baligh), dan
3. Orang gila hingga berakal (sembuh)”. [HR. Abu Daud no. 4403, Tirmidzi no. 1423, An Nasa’i no. 3432, Ibnu Majah no. 2041. Abu Daud berkata: Diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dari Qasim bin Yazid dari Ali radhiallahu’anhu dari Nabi ﷺ ada tambahan di dalamnya, yaitu وَالْخَرِفِ (pikun). Hadis ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam shahih Abu Daud]
Dalam kitab ‘Aunul Ma’bud’ dikatakan, bahwa kata ( وَالْخَرِفِ ) berasal dari kata الْخَرَف, yaitu kerusakan akal disebabkan usia tua. Maksudnya di sini adalah orang tua renta yang telah hilang akalnya karena faktor usia. Karena orang tua terkadang akalnya tidak jernih, sehingga tidak mampu membedakan, dan karenanya ia bukan orang yang terkena kewajiban. Namun seperti itu tidak disebut gila.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Orang tua yang sudah sampai pada kondisi tidak tahu apa yang ia ucapkan, maka dia TIDAK berkewajiban menjalankan puasa, dan tidak diharuskan menunaikan fidyah, karena sudah teranggap tidak berakal”. [Liqa’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 4]
Bagaimana untuk puasanya yang dulu ketika dalam kondisi sakit dan tidak ia lakukan?
Ada dua rincian:
1- Jika pada waktu tersebut diharapkan sembuhnya, namun sampai sekarang dalam keadaan sakit dan belum bisa mengqadha, maka ia tidak kena kewajiban apa-apa (tidak ada qadha dan tidak ada fidyah). Karena kewajiban dia adalah mengqadha, namun ia juga tak kunjung sembuh.
2- Jika pada waktu tersebut tidak diharapkan sembuhnya, maka puasa yang dulu tersebut diganti dengan menunaikan fidyah, yaitu memberikan makan pada orang miskin. Jika yang sedang pikun tersebut tidak bisa mengeluarkannya, maka keluarganyalah yang mengeluarkan fidyah dari hartanya. (Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad Sholeh Al Munajjid dalam Tanya Jawab Islam no. 106965)