Tidaklah Allah ﷻ memerintahkan satu perkara, melainkan perkara itu pasti dicintai-Nya dan memiliki keutamaan di sisi-Nya, serta membawa kebaikan bagi para hamba. Termasuk masalah memenuhi nafkah keluarga. Melalui lisan Rasul-Nya ﷺ, Allah ﷻ telah menjelaskan tentang keutamaan memberi nafkah kepada keluarga. Nabi ﷺ bersabda:
دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في على أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَتَهُ على أهْلِكَ
“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, Dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, Dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan Dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah Dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” [HR Muslim, Ahmad dan Baihaqi]
“Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan istrimu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.” [HR Ibnu Majah, 2138; Ahmad, 916727; dan disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 1739]
Al Hafizh Ibnul Hajar Al Asqalani berkata:
”Memberi nafkah kepada keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami. Syariat menyebutnya sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapatkan balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang akan diberikan bagi orang yang bersedekah. Oleh karena itu, syariat memerkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga termasuk sedekah (yang berhak mendapat pahala, Pen). Sehingga tidak boleh memberikan sedekah kepada selain keluarga mereka, sebelum mereka mencukupi nafkah (yang wajib) bagi keluarga mereka, sebagai pendorong untuk lebih mengutamakan sedekah yang wajib mereka keluarkan (yakni nafkah kepada keluarga, -pen) dari sedekah yang sunnah.” [Fathul Bari, 9/498]
Adalah satu hal yang sangat tidak logis, apabila ada suami yang makan-makan bersama teman-temannya, mentraktir mereka karena ingin terlihat hebat di mata mereka, sementara anak dan istrinya di rumah mengencangkan perut menahan lapar. Di manakah sikap perwira dan tanggung jawabnya sebagai suami? Satu hal yang juga tidak kalah penting untuk diingat, bahwa suami wajib memberi nafkah dari rezeki yang halal. Jangan sekali-kali memberi nafkah dari jalan yang haram, karena setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram berhak mendapat siksa api Neraka. Sang suami akan dimintai pertanggungjawaban tentang nafkah yang diberikan kepada keluarganya.