بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
SEBAB TERANGKATNYA DERAJAT SESEORANG DI SISI ALLAH
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“الرِّفْعـــة عنـــد الله ليست بمجرد العلم وإنما هي باتّباع الحق وإيثاره وقَصْدِ مرضاة الله فنعوذُ بالله من علمٍ لا يَنفع” .
“Derajat yang tinggi di sisi Allah tidaklah diraih dengan sebab ilmu agama semata, akan tetapi ia diraih dengan sebab mengikuti kebenaran, mendahulukan kebenaran, dan tujuannya untuk meraih keridaan Allah. Maka kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.” [I’lamul Muwaqqi’in, 2/292]
Faidah yang dapat kita ambil adalah:
1. Salah satu fitrah yang Allah ﷻ ciptakan bagi umat manusia adalah sikap mencintai kebenaran dan usaha untuk mencarinya. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” [QS. Ar-Rum: 30]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Hati adalah makhluk yang mencintai kebenaran, menginginkan, dan mencarinya.” [Majmu Fatawa, 10/88]
Beliau pun berkata:
“Sesungguhnya kebenaran itu dicintai oleh fitrah yang baik. Bahkan ia (kebenaran) itu lebih dicintai, lebih dimuliakan, dan lebih nikmat bagi fitrah daripada kebatilan yang tidak ada dasarnya. Sungguh, fitrah tidak menyukai hal ini.” [Majmu Fatawa, 16/338]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata:
“Agama Islam adalah agama yang hikmah. Maknanya, mengilmui kebenaran dan mengamalkannya dalam seluruh perkara.” [Taisirul Lathifil Mannan, hlm. 58]
2. Kedudukan (derajat) makhluk di sisi Allah ﷻ baik di dunia maupun di Akhirat ditentukan oleh kadar perbedaan mereka dalam membedakan antara kebenaran dan kebatilan, dan lebih memilih kebenaran tersebut daripada kebatilan. Dua perkara inilah yang menjadikan para Nabi dipuji oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya:
وَٱذۡكُرۡ عِبَٰدَنَآ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَ أُوْلِي ٱلۡأَيۡدِي وَٱلۡأَبۡصَٰرِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang memiliki kekuatan dan ilmu-ilmu (yang tinggi).” [QS. Shad: 45]
Makna الْأَيْدِي adalah ‘kuat dalam melaksanakan kebenaran’. Adapun makna الْأَبْصَارُ adalah ‘kemampuan untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan dalam urusan agama’.
Dalam ayat ini Allah ﷻ menyifati mereka, para Nabi, dengan kesempurnaan dalam memahami kebenaran, dan kesempurnaan dalam mengamalkannya.” [Al-Jawabul Kafi, hlm. 139).
3. Faktor-faktor yang menghalangi dan menggelincirkan seorang hamba dari kebenaran sangat banyak jumlahnya. Hal itu bisa berasal dari diri sendiri, seperti kebodohan dan hawa nafsunya. Bisa juga dari luar dirinya, seperti setan dari golongan jin dan manusia. Dan dari sekian banyak faktor tersebut, yang paling banyak menggelincirkan makhluk dari jalan Allah adalah al-kibr (kesombongan) dan hasad (kedengkian) yang melekat pada dirinya.
4. Perintah agar berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat, ilmu yang justru membuat dirinya menjadi sombong, merasa tinggi dari orang lain, merasa sok suci. Sebab hakikat dari ilmu adalah tawadhu. Semakin tinggi ilmunya, maka ia semakin merunduk. Bukan sebaliknya, semakin meninggi dan sombong.
5. Orang-orang yang mengikuti kebenaran memiliki sifat tawadhu. Mereka senantiasa mengintrospeksi diri dan selalu berusaha mencari kebenaran. Mereka tidak akan sungkan untuk memertanyakan pendapatnya sendiri. Tidak pula enggan untuk mencari hakikat kebenaran dari suatu perkara, lebih-lebih pada hal-hal yang bisa menimbulkan masalah.
6. Tawadhu adalah menerima kebenaran dengan tunduk kepadanya, menghinakan diri, patuh, dan merendah. Kebenaran itulah yang mengatur dirinya, sebagaimana seorang raja mengatur kekuasaannya. Dengan inilah seorang hamba akan mendapatkan perangai tawadhu.
Dan agar bisa bersikap demikian, seorang Muslim tentu membutuhkan ilmu, ikhlas, sabar, dan latihan yang terus-menerus, diiringi doa, serta senantiasa menjaga keselamatan hati dari penyakit-penyakitnya (ujub, riya, sum’ah sombong, hasad, dll).
7. Barang siapa yang jiwanya belum terlatih untuk menerima kebenaran, ia harus terus melatih dan mendidiknya, sampai jiwanya mau mengikuti kebenaran dan tunduk kepadanya. Ia juga harus selalu mengoreksi amalan-amalan yang telah ia lakukan. Selain itu, ia harus senantiasa mensyukuri segala nikmat Allah ﷻ.
Oleh: Abu Madeehah As Sulaimi hafizhaullah
Sumber: Silsilah Manhaj Salaf
══════
Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: nasihatsahabatcom@gmail.com
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…