Di antara nasihat asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz kepada kaum Muslimin di penghujung Syakban (awal Ramadan):
“Sambutlah bulan tersebut dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan.”
Kenapa kita harus bahagia? Tentu karena berbagai keutamaan yang Allah siapkan di bulan tersebut, di antaranya:
• Dibukanya pintu Surga,
• Ditutupnya pintu Neraka,
• Dibelenggunya setan,
• Dimudahkan berbuat ketaatan dan dipersulit kemaksiatan,
• Dilipatgandakan pahala amal saleh,
• Diampuni dosa dan dihapus berbagai kesalahan,
• Barang siapa berpuasa dan melaksanakan Salat Tarawih karena iman dan penuh harapan, akan diampuni dosanya yang telah lalu,
• Adanya satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, dll.
Perasaan bahagia dan senang terhadap sesuatu itu juga akan melahirkan semangat dan tekad. Dengan demikian, ia akan menjalani Ramadan dengan berbagai ibadah dan amal kebaikan. Jangan sampai muncul perasaan sedih dan terpaksa. “Duh, lagi-lagi puasa! Lagi-lagi tidak boleh makan dan minum sepuasnya!” Ungkapan-ungkapan ini tidak sepantasnya terlintas, apalagi terucap dari seorang Mukmin.
Dengan keikhlasan, ibadah puasa tidak lagi sebatas kebiasaan. Karena ikhlas, seseorang berpuasa bukan karena merasa malu dengan temannya, atau terpaksa, atau ikut-ikutan. Dengan niat ikhlas pula, yang berpuasa pun akhirnya tidak sekadar mulut saja, tapi segenap anggota badan yang lain, termasuk hati.
Makan dan minum di luar Ramadan itu halal, ketika Ramadan ditinggalkan. Sedangkan dusta, di luar Ramadan sudah haram, kenapa pada saat Ramadan justru dikerjakan? Wajar saja bila Allah tidak butuh terhadap puasanya.