Akhir-akhir ini banyak teman yang meninggal dunia. Tetapi karena situasi yang tidak memungkinkan, saya tidak melayat. Dalam situasi seperti sekarang ini, apakah ada tuntunan untuk menyalatkan gaib dari rumah masing-masing?
Jawaban:
Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah amma ba’du.
Salat Gaib adalah amalan yang disyariatkan berdasarkan hadis sahih yang tertulis dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, tentang kisah Nabi ﷺ menyalati jenazah raja Najasi yang berada di negeri Nasrani.
“Bahwa Rasulullah ﷺ mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat salat, lalu beliau membariskan saf, kemudian bertakbir empat kali.” [HR. Bukhari no. 1337]
Kemudian keberlakuan hadis tersebut umum. Tidak hanya khusus untuk Nabi ﷺ, namun untuk semua umat Muhammad ﷺ. Sebagaimana kesimpulan fikih ini dipegang oleh mayoritas ahli fikih (Jumhur). Berbeda dengan pendapat yang dipilih oleh Mazhab Hanafi dan Maliki.
Yang menjadi diskusi di kalangan mayoritas ahli fikih adalah tentang kriteria jenazah yang boleh disalatkan gaib:
1. Salat Gaib berlaku untuk semua jenazah yang tidak hadir di tengah-tengah kita (gaib). Pendapat ini dipegang oleh para ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali.
2. Salat Gaib hanya untuk orang yang telah berjasa banyak kepada kaum Musliminm, seperti ulama, mujahid, tokoh, pemimpin, atau orang kaya yang hartanya banyak didermakan untuk Islam. Pendapat ini adalah salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad, dan dinilai kuat oleh Syekh Abdurrahman As-Sa’di dan Lajnah Da-imah KSA.
3. Salat Gaib hanya diperuntukkan untuk jenazah Muslim yang tidak ada seorang pun yang menyalatkan. Salah satu riwayat dari Imam Ahmad menisbatkan pendapat ini kepada beliau. Dipandang kuat oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah serta murid beliau Ibnul Qayyim. Ulama akhir ini yang condong pada pendapat ini adalah Syekh Ibnu ‘Utsaimin. (https://islamqa.info/amp/ar/answers/35853)
Dari tiga pendapat di atas, yang paling kuat (rajih) adalah pendapat ketiga. Alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama: Hukum asal syariat ini berlaku umum untuk Rasulullah ﷺ dan seluruh umatnya, kecuali bila ada dalil yang menunjukkan pengkhususan atau pengecualian.
Dalam hal Salat Gaib, tak ada satu pun hadis sahih dan tegas yang menerangkan salat ini hanya berlaku khusus untuk Nabi ﷺ.
Hal ini berdasarkan keterangan dari Imam Nawawi berikut:
مذهبنا جواز الصلاة على الغائب عن البلد ، ومنعها أبو حنيفة . دليلنا حديث النجاشي وهو صحيح لا مطعن فيه وليس لهم عنه جواب صحيح
“Mazhab fikih kami berpandangan Salat Gaib disyariatkan untuk jenazah yang tidak hadir di tempat kita. Imam Abu Hanifah melarang Salat Gaib. Dalil kami adalah hadis tentang kisah raja Najasi. Hadis ini statusnya sahih, tidak ada kecacatan. Dan mereka yang berpendapat Salat Gaib berlaku untuk Nabi saja, tidak memiliki sanggahan yang benar. [Lihat: Al-Majmu’ 5/211, dikutip dari Islamqa]
Kedua: Di zaman Nabi ﷺ banyak sahabat Nabi yang meninggal dunia. Namun tak ada riwayat yang menerangkan, bahwa Nabi menyalati mereka yang meninggal tidak di Madinah dengan Salat Gaib. Satu-satunya hadis sahih yang mengisahkan Salat Gaib Nabi adalah hadis Salat Gaib beliau ﷺ untuk tentang Raja Najasi. Kondisi Raja Najasi ketika itu, tak ada satu pun orang yang menyalati jenazah beliau, karena beliau meninggal di negeri Nasrani.
Ketiga: Hukum salat jenazah adalah Fardhu Kifayah. Maka bila telah ada yang menyalatkan walau hanya satu orang, kewajiban ini telah gugur.
Berdasarkan kesimpulan ini, maka terkait menyalati jenazah korban virus Corona, boleh kita salati gaib apabila belum ada yang menyalati. Mungkin karena khawatir tertular virus. Sehingga bila sudah ada yang menyalati, TIDAK PERLU lagi dilakukan Salat Gaib. Penilaian ini cukup berdasarkan praduga kuat (dzan).
Adapun bila telah ada kabar bahwa mayit sudah disalati, walau oleh seorang petugas medis, maka tidak perlu perlu lagi dilakukan Salat Gaib.
Demikian.
Wallahua’lam bish showab.
Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)