SAFAR MENYINGKAP SIFAT ASLI MANUSIA
Satu hal yang penting dari pembahasan safar adalah kesusahan (azab) dalam safar ini akan memerlihatkan sifat dan akhlak aslinya seseorang. Di saat senang dan gembira, bisa jadi semua orang bisa menunjukkan akhlak yang baik. Akan tetapi di saat-saat sulit, belum tentu bisa menjadi teman yang baik. Bisa jadi di saat-saat sulit ia malah tidak memerdulikan temannya. Hanya memerdulikan diri sendiri, bahkan sampai mengorbankan temannya (makan teman).
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata:
ومن كان في السفر آذى هو مظنة الضجر حِسنَ الخلق، كان في الحضر أحسن خلقاً .وقد قيل : إذا أثنى على الرجل معاملوه في الحضر ورفقاؤه في السفر فلا تشكوا في صلاحه .
“Barang siapa yang ketika bersafar mengalami kesusahan dan keletihan ia tetap berakhlak yang baik, maka ketika tidak bersafar ia akan berakhlak lebih baik lagi. Sehingga dikatakan, jika seseorang dipuji muamalahnya ketika tidak bersafar, dan dipuji muamalahnya oleh para teman safarnya, maka janganlah engkau meragukan kebaikannya.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin 1/39, Syamilah]
Demikian juga penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Ustaimin, bahwa dengan safar kita mengetahui hakikat akhlak seseorang. Beliau berkata:
وسمي سفرا لأنه من الإسفار وهو الخروج والظهور كما يقال أسفر الصبح إذا ظهر وبان وقيل في المعنى سمي السفر سفرا لأنه يسفر عن أخلاق الرجال يعني يبين ويوضح أحوالهم فكم من إنسان لا تعرفه ولا تعرف سيرته إلا إذا سافرت معه وعندئذ تعرف أخلاقه وسيرته وإيثاره
“Diistilahkan safran [سَفْرًا l] karena diambil dari makna al-isfar [الْإِسْفَارُ ] yaitu: keluar dan terang, nyata. Sebagaimana dikatakan dalam ungkapan [أَسْفَرَ الصُّبْحُ] yaitu bersinar atau bercahaya. Secara makna disebut as-safaru–safran karena “Membuka perihal akhlak seseorang.” Maksudnya, menjadikan jelas dan nyata keadaannya.
Berapa banyak orang yang belum terkuak jati dirinya, bisa terungkap setelah melakukan safar/ bepergian bersamanya. Ketika dalam safar itulah engkau mengetahui akhlak, perangai, dan wataknya.” [Syarh Riyadhus Shalilhin 3/77, Darul Atsar, Koiro, cet. I]
Inilah yang disebut ulama dengan ungkapan:
السفر يكشف معادن الناس ويظهر أخلاق الرجال
“Safar itu menyingkap sifat asli manusia, dan menampakkan akhlak seseorang.”
Bisa jadi pada saat safar, aib-aib seseorang akan nampak. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata:
وإنما سمى السفر سفراً، أنه يسفر عن الأخلاق . وفى الجملة فالنفس فى الوطن لا تظهر خبائث أخلاقهم لاستئناسها بما يوافق طبعها من المألوفات المعهودة، فإذا حملت وعثاء السفر، وصرفت عن مألوفاتها المعتادة، ولامتحنت بمشاق الغربة، انكشفت غوائلها، ووقع الوقوف على عيوبها
“Disebut as-safaru–safran karena “Membuka perihal akhlak seseorang”. Pada umumnya seseorang yang tinggal di daerah asalnya tidak menampakkan kejelekan akhlaknya, karena ia terbiasa dengan apa yang sesuai dengan tabiatnya yang biasa ia hadapi. Jika ia melakukan safar, maka tidak biasa lagi dengan keadaan dan kebiasaannya. Ia akan diuji dengan kesusahan safar yang berat, dan tersingkaplah kejelekan dan diketahui aib-aibnya.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin 2/57, Syamilah]
Oleh karena itu, Umar bin Khaththab tidak langsung menerima rekomendasi orang lain sebelum mengetahui akhlak dan sifat asli seseorang. Salah satu yang Umar tanyakan adalah: ‘Apakah sudah pernah bersafar bersamanya atau tidak?’
Dalam suatu riwayat mengenai Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu:
كان عمر رضي الله عنه إذا زكى رجل شخصا عنده قال له هل سافرت معه هل عاملته إن قال نعم قبل ذلك وإن قال لا فقال لا علم لك به
“Umar bin Al-Khatthab radhiallahu ‘anhu, jika ada seseorang yang merekomendasikan temannya, beliau bertanya:
‘Apakah engkau pernah melakukan safar bersamanya?
Apakah engkau telah bergaul dengannya?’
Jika jawabannya iya, maka Umar pun menerimanya.
Jika jawabannya belum pernah, maka Umar akan mengatakan: ‘Engkau belum mengetahui hakikat senyatanya tentang orang itu.'” [Syarh Riyadhus Shalilhin 3/77, Darul Atsar, Koiro, cet. I]
Jadi untuk mengetahui akhlak dan sifat asli seseorang, salah satu tolak ukurnya adalah dengan mengajaknya bersafar, karena safar identik dengan kesulitan dan kesusahan. Disaat senang dan tenang semua bisa jadi teman akan tetapi di saat sulit dan susah tidak semua bisa jadi teman yang baik.
Mari kita introspeksi diri kita, apakah di saat-saat sulit bersama orang lain kita masih menampakkan sifat dan akhlak yang mulia atau tidak?