Di medsos ada perdebatan, boleh tidaknya membatalkan salat wajib ketika ada gempa.
Jawaban:
Bismillah was salatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Terdapat kaidah umum yang disampaikan para ulama fikih. Kaidah itu menyatakan:
دَرْءُ المَفَاسِد أَولَى مِن جَلبِ المَصَالِح
Menghindari mafsadah (potensi bahaya) lebih didahulukan dari pada mengambil maslahat (kebaikan).
Dalam banyak literatur yang membahas qawaid fikih, kaidah ini sering disebutkan.
Di antara dalil yang mendukung kaidah ini adalah firman Allah:
ولا تَسُبُوا الَّذِينَ يَدْعُونَ من دوُنِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Janganlah kamu memaki Tuhan-Tuhan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” [QS. al-An’am: 108]
Syaikh Dr. Muhammad Shidqi al-Burnu menjelaskan kandungan makna ayat ini:
ففي سب آلهة الكفار مصلحة وهي تحقير دينهم وإهانتهم لشركهم بالله سبحانه، ولكن لما تضمن ذلك مفسدة وهي مقابلتهم السب بسب الله عز وجل نهى الله سبحانه وتعالى عن سبهم درءاً لهذه المفسدة.
Memaki Tuhan orang kafir ada maslahatnya, yaitu merendahkan agama mereka dan tindakan kesyirikan mereka kepada Allah taala. Namun ketika perbuatan ini menyebabkan potensi bahaya, yaitu mereka membalas makian dengan menghina Allah, maka Allah melarang memaki Tuhan mereka, sebagai bentuk untuk menghindari potensi bahaya. [al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fikih, hlm. 265]
Karena pertimbangan inilah, pelaksanaan kewajiban yang sifatnya muwassa’ (waktunya longgar), harus ditunda untuk melakukan kewajiban yang waktunya terbatas.
Salat wajib termasuk wajib muwassa’ (waktunya longgar). Salat Isya rentang waktunya sejak hilangnya awan merah di ufuk Barat, hingga tengah malam. Sehingga kalaupun seseorang tidak bisa menyelesaikan di awal malam, dia bisa tunda di waktu setelahnya.
Sementara menyelamatkan nyawa juga kewajiban. Karena secara sengaja berdiam di tempat yang berbahaya hukumnya haram. Nabi ﷺ bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” [HR. Imam Ahmad 2863, Ibnu Mâjah 2341 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth]
Ketika terjadi gempa, sementara posisi kita sedang salat, di sana terjadi pertentangan antara maslahat dengan mafsadah.
Mempertahankan salat itu maslahat, sehingga jamaah bisa segera menyelesaikan kewajibannya. Namun di sana ada potensi bahaya, karena jika bangunan itu roboh, bisa mengancam nyawa jamaah.
Mana yang harus didahulukan?
Kaidah di atas memberikan jawaban, menghindari potensi bahaya lebih didahulukan, daripada mempertahankan maslahat. Apalagi salat termasuk kewajiban yang waktunya longgar.
Wajib Menyelamatkan Nyawa dengan Membatalkan Salat
Karena itulah para ulama menegaskan wajib mendahulukan penyelamatan nyawa daripada salat wajib. Kita simak keterangan mereka:
[1] Keterangan Hasan bin Ammar al-Mishri (Ulama Hanafiyah)
فيما يوجب قطع الصلاة وما يجيزه وغير ذلك… يجب قطع الصلاة باستغاثة ملهوف بالمصلي
Penjelasan tentang apa saja yang mewajibkan orang untuk membatalkan salat dan apa yang membolehkannya. Wajib membatalkan salat ketika ada orang dalam kondisi darurat meminta pertolongan kepada orang yang salat… [Nurul Idhah wa Najat al-Arwah, hlm. 75]
[2] Keterangan al-Izz bin Abdus Salam (Ulama Syafi’iyah) wafat 660 H
Dalam kitabnya Qawaid al-Ahkam beliau menjelaskan:
Harus mendahulukan upaya penyelamatan orang yang tenggelam dari pada pelaksanaan salat, karena menyelamatkan nyawa orang yang tenggelam lebih afdhal di sisi Allah dibandingkan melaksanaan salat. Di samping menggabungkan kedua maslahat ini sangat mungkin, yaitu orang yang tenggelam diselamatkan dulu, kemudian salatnya diqadha. [Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1/66]
Beliau berbicara tentang penyelamatan nyawa orang lain, dia didahulukan dibandingkan pelaksanaan salat wajib. Tentu saja menyelamatkan diri sendiri harus didahulukan dibandingkan salat.
ويجب إنقاذ غريق ونحوه كحريق فيقطع الصلاة لذلك فرضاً كانت أو نفلاً، وظاهره ولو ضاق وقتها لأنه يمكن تداركها بالقضاء بخلاف الغريق ونحوه، فإن أبى قطعها لإنقاذ الغريق ونحوه أثم وصحت صلاته
Wajib menyelamatkan orang tenggelam atau korban kebakaran, sehingga harus membatalkan salat, baik salat wajib maupun sunah. Dan yang kami pahami, aturan ini berlaku meskipun waktunya pendek. Karena salat tetap bisa dilakukan dengan cara qadha. Berbeda dengan menolong orang tenggelam atau semacamnya. Jika dia tidak mau membatalkan salatnya untuk menyelamatkan orang yang tenggelam atau korban lainnya, maka dia berdosa, meskipun salatnya sah. [Kasyaf al-Qi’na, 1/380]
Karena itulah, bagi mereka yang sedang salat jamaah kemudian terjadi gempa, sikap yang tepat bukan bertahan salat, namun SEGERA MEMBATALKANNYA, karena ini potensi bahaya yang seharusnya dihindari. Terlebih salat bisa ditunda setelah situasi memungkinkan.
Demikian
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)