RUKUN, SYARAT DAN SEBAB WARIS (DALAM ILMU FARAIDH)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
RUKUN, SYARAT DAN SEBAB WARIS
Rukun Waris
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata:
“Proses waris-mewarisi mempunyai tiga rukun yang tidak akan terealisasi suatu proses waris-mewarisi kecuali dengan keberadaannya.” [At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 28]
Tiga rukun waris tersebut adalah:
1. Muwarrits: Si mayit yang meninggalkan harta waris/pemilik harta waris.
2. Warits: Ahli Waris/pewaris yang berhak mendapatkan harta waris.
3. Mauruts/Tarikah: Harta waris yang ditinggalkan oleh si mayit. [Lihat Tashilul Faraidh, hal. 18]
Kalau tidak ada Muwarrits (si mayit yang meninggalkan harta waris), maka tidak akan ada harta waris, demikian pula orang yang mewarisinya. Jika tidak ada Ahli Waris, maka harta waris yang ditinggalkan si mayit pun tidak ada yang mewarisinya (dari Ahli Waris yang sesungguhnya). Demikian pula ketika tidak ada harta waris, tidaklah mungkin bisa terjadi proses waris-mewarisi. Dari sini jelaslah, bahwa keberadaan TIGA RUKUN WARIS tersebut MUTLAK ADA demi terealisasinya proses waris-mewarisi.
Syarat Waris
Syarat waris merupakan salah satu penentu bagi terealisasinya proses waris-mewarisi. Karena betapapun telah terpenuhi Rukun Waris, sementara Syarat Warisnya belum terpenuhi, maka proses waris-mewarisi pun tidak bisa dilakukan. Apa sajakah Syarat Waris itu?
Syarat Waris dalam hukum waris Islam ada tiga:
1. Kejelasan tentang meninggalnya si pemilik harta waris (Muwarrits). Baik meninggalnya bisa dipastikan, maupun sebatas didasari dugaan yang kuat (hukmi). Bisa dipastikan maksudnya bahwa, proses kematian si pemilik harta waris tersebut benar-benar bisa dipastikan, baik dengan melihatnya secara langsung, dengan kemasyhuran akan kematiannya, atau dengan persaksian dua orang lelaki yang adil (bisa dipertanggungjawabkan). Sedangkan yang dimaksud dengan didasari dugaan yang kuat adalah bahwa vonis kematian yang dijatuhkan kepada pemilik harta waris tersebut atas dasar dugaan yang kuat. Seperti seseorang yang diduga kuat telah mati, karena sejak lama menghilang dan tak didapati lagi tanda-tanda kehidupannya.
2. Kejelasan tentang hidupnya Ahli Waris setelah meninggalnya si pemilik harta waris/Muwarrits walau sesaat, baik secara pasti maupun didasari oleh dugaan kuat (hukmi). Maksud secara pasti adalah bahwa Ahli Waris tersebut dipastikan masih hidup saat meninggalnya pemilik harta waris. Kepastian ini bisa dibuktikan dengan melihatnya secara langsung, dengan kemasyhuran bahwa dia masih hidup, atau dengan persaksian dua orang lelaki yang adil (bisa dipertanggungjawabkan). Sedangkan yang dimaksud dengan didasari oleh dugaan yang kuat adalah bahwa vonis tentang hidupnya Ahli Waris tersebut didasari atas dugaan yang kuat. Seperti seorang anak yang masih berada di perut ibunya saat meninggalnya pemilik harta waris (Muwarrits-nya) walaupun belum ditiupkan ruh kepadanya. Maka dia digolongkan ke dalam jajaran Ahli Waris dan bisa mendapatkan harta waris, dengan syarat dilahirkan dalam kondisi hidup.
3. Mengetahui segala hal yang terkait dengan sebab terjadinya proses waris-mewarisi tersebut dan mengetahui keterkaitan masing-masing Ahli Waris dengan pemilik harta waris (Muwarrits)-nya. [Lihat Tashilul Faraidh, hal. 18-19]
Sebab Waris
Waris-mewarisi dalam hukum waris Islam tidaklah terjadi begitu saja. Akan tetapi amat terkait dengan sebab waris yang dengannya bisa terjadi proses waris-mewarisi.
Sebab waris tersebut ada tiga:
1. Perkawinan yang dibangun di atas akad nikah yang sah. Manakala telah terlaksana suatu perkawinan yang sah, maka suami istri tersebut mempunyai hak untuk saling mewarisi, walaupun belum terjadi khalwat (berduaan) maupun jima’ (hubungan sebadan) di antara mereka. Lebih-lebih lagi bila telah terjadi khalwat ataupun jima’ antara keduanya. Dalilnya adalah keumuman firman Allah ta’ala:
“Dan bagi kalian (para suami) setengah (1/2) dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri kalian itu mempunyai anak, maka kalian mendapat seperempat (1/4) dari harta yang ditinggalkannya, sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat, atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat (1/4) harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan (1/8) dari harta yang kalian tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kalian buat, atau (dan) sesudah dibayar utang-utang kalian.” [QS An-Nisa’: 12]
Sebab pertama ini akan terus berlaku hingga terjadinya Talak Bain (cerai yang ketiga kalinya, atau cerai yang pertama/kedua dan telah habis masa ‘iddah/tenggangnya) atau Fasakh (Pembatalan nikah). Dengan terjadinya Talak Bain atau Fasakh, maka sejak saat itu pula mereka tidak bisa saling mewarisi lagi. Kecuali jika Talak Bain tersebut dijatuhkan oleh suami menjelang kematiannya yang (diduga kuat) bertujuan untuk menghalangi istri tersebut dari hak warisnya, maka dalam kondisi semacam ini si istri tetap mendapatkan jatah warisnya menurut pendapat yang rajih. Adapun Talak Raj’i (cerai yang pertama/kedua) dan masih dalam masa ‘iddah/tenggang, maka masih memungkinkan bagi mereka untuk saling mewarisi, jika saat itu salah satunya ada yang meninggal dunia, karena statusnya masih terhitung sebagai suami-istri. [Lihat Tashilul Faraidh, hal. 20 dan 22, dan At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 32-35]
2. Ikatan Nasab, yaitu hubungan kekerabatan antara dua orang, baik secara dekat maupun jauh. Hubungan kekerabatan ini meliputi:
• Ushul (bapak, ibu, kakek, dan nenek si mayit),
• Furu’ (anak, cucu dari anak lelaki si mayit, dan terus ke bawahnya), dan
• Hawasyi (saudara-saudara si mayit dan anak-anak lelakinya, paman-paman si mayit dan ke atasnya, anak-anak lelaki paman dan terus ke bawahnya). Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat di dalam Kitab Allah). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS Al-Anfal: 75] [Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 37 dan Tashilul Faraidh, hal. 21]
3. Ikatan Wala’, yaitu pembebasan seseorang terhadap budak tertentu, baik karena berderma semata atau karena suatu kewajiban; seperti nadzar, zakat, dan kafarah. Gambaran kasusnya adalah, bila seorang mantan budak meninggal dunia dan tidak ada yang mewarisi dari kalangan Ahli Warisnya, maka seseorang yang dahulu membebaskannya dari perbudakan itulah yang mewarisi hartanya. Menurut Jumhur (Mayoritas) Ulama, proses waris-mewarisi antara mantan budak dan yang membebaskannya itu hanya satu arah saja, yakni yang bisa mewarisi hanyalah pihak yang membebaskan saja, dan tidak sebaliknya. Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan para ulama yang bersama beliau berpandangan, bahwa proses waris-mewarisi bisa terjadi dari dua arah, yakni antara mantan budak dan yang membebaskannya tersebut bisa saling mewarisi. Mereka bisa saling mewarisi manakala TIDAK didapati Ahli Waris (asli) yang mewarisi dari masing-masingnya. [Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 37 dan Tashilul Faraidh, hal. 21]
Demikianlah tiga sebab yang dengannya bisa terjadi proses waris-mewarisi menurut kesepakatan Jumhur (Mayoritas) Ulama.