Dari perkataan Abu Syuja’ di atas, intinya ada dua hal yang beliau sampaikan. Orang yang menjalankan puasa:
• Wajib berniat dan
• Wajib menahan diri dari berbagai pembatal puasa.
Cara Berniat Puasa
Niat berarti al-qashdu, keinginan. Niat puasa berarti keinginan untuk berpuasa. Letak niat adalah di dalam hati, tidak cukup dalam lisan, tidak disyaratkan melafalkan niat. Berarti niat dalam hati saja sudah teranggap sahnya.
“Puasa tidaklah sah kecuali dengan niat, karena ada hadis yang mengharuskan hal ini. Letak niat adalah di dalam hati, dan tidak disyaratkan dilafalkan.” [Kifayah Al-Akhyar, hlm. 248]
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan melafalkan niat.” [Al-Iqna’, 1:404]
Akan tetapi disunnahkan untuk melafalkan niat di lisan bersama dengan niat dalam hati. Niat sudah dianggap sah dengan aktivitas yang menunjukkan keinginan untuk berpuasa, seperti bersahur untuk puasa, atau menghalangi dirinya untuk makan, minum, dan jimak khawatir terbit fajar. [Lihat Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:173]
Hukum berniat adalah wajib, dan puasa Ramadan tidaklah sah kecuali dengan berniat. Begitu pula puasa wajib atau puasa sunnah lainnya tidaklah sah kecuali dengan berniat. Dalil wajibnya berniat adalah sabda Nabi ﷺ:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” [Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]
Syarat Berniat
a) At-Tabyiit, yaitu berniat di malam hari sebelum Subuh.
Jika niat puasa wajib baru dimulai setelah terbit fajar Subuh, maka puasanya tidaklah sah. Dalilnya adalah hadis dari Hafshah, Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, Nabi ﷺ bersabda:
“Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Subuh, maka tidak ada puasa untuknya.” [HR. An-Nasai, no. 2333; Ibnu Majah, no. 1700; dan Abu Daud, no. 2454. Syaikh Al-Albani mensahihkan hadis ini]
Sedangkan untuk puasa sunnah, boleh berniat di pagi hari, asalkan sebelum waktu Zawal (tergelincirnya matahari ke Barat). Dalilnya sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ عَلَىَّ قَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ طَعَامٌ ». فَإِذَا قُلْنَا لاَ قَالَ « إِنِّى صَائِمٌ »
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah ﷺ biasa menemuiku lalu ia berkata: “Apakah kalian memiliki makanan?” Jika kami jawab tidak, maka beliau ﷺ berkata: “Kalau begitu aku puasa.” [HR. Muslim, no. 1154 dan Abu Daud, no. 2455]
Penulis Kifayah Al-Akhyar berkata:
“Wajib berniat di malam hari. Kalau sudah berniat di malam hari (sebelum Subuh), masih diperbolehkan makan, tidur dan jimak (hubungan intim). Jika seseorang berniat puasa Ramadan sesudah terbit fajar Subuh, maka tidaklah sah.” [Kifayah Al-Akhyar, hlm. 248]
b) At-Takyiin, yaitu menegaskan niat.
Yang dimaksudkan di sini adalah niat puasa yang akan dilaksanakan harus ditegaskan, apakah puasa wajib ataukah sunnah. Jika puasa Ramadan yang diniatkan, maka niatannya tidak cukup dengan sekadar niatan puasa mutlak. Dalilnya, Nabi ﷺ bersabda:
وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى
“Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” [Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]
Adapun puasa sunnah tidak disyaratkan takyiin dan tabyit, sebagaimana dijelaskan pada poin 1 dan 2. Dalilnya adalah sebagaimana hadis Aisyah yang tadi telah terlewat.
c) At-tikroor, yaitu niat harus berulang setiap malamnya.
Niat mesti ada pada setiap malamnya sebelum Subuh untuk puasa hari berikutnya. Jadi tidak cukup satu niat untuk seluruh hari dalam satu bulan. Karena setiap hari dalam bulan Ramadan adalah hari yang berdiri sendiri. Ibadah puasa yang dilakukan adalah ibadah yang berulang. Sehingga perlu ada niat yang berbeda setiap harinya. [Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 340-341]
Penulis: Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc hafizhahullah