Pada 10 Muharam nanti atau disebut dengan Hari Asyura, kita akan melihat ritual berdarah Syiah (baca: Rafidhah). Mereka sedih atas kematian Husain saat itu, sehingga mereka memukul dada, menampar pipi, memukul bahu, mengiris-ngiris kepala mereka dengan pedang, sampai menumpahkan darah. Sampai anak kecil pun mengiris kepalanya. Wallahul musta’an. Itulah salah satu kesesatan Syiah yang dapat ditemukan pada Hari Asyura.
Kenapa Kelakuan Mereka Dikatakan Sesat?
Karena setiap perkara muhdats yang tidak pernah dicontohkan dalam Islam, tentu saja sesat. Hal-hal semacam di atas jelas suatu kemungkaran dan telah dilarang oleh Nabi kita Muhammad ﷺ. Karena dalam Islam tidak boleh melakukan semacam itu, baik karena kematian seorang yang dianggap mulia, atau kematian seorang yang syahid di jalan Allah.
Kita tahu bahwa di masa Nabi ﷺ banyak di antara para sahabat yang mendapati syahid, seperti Hamzah bin Abdul Muthallib (paman Nabi ﷺ), Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Rowahah. Namun tidak pernah di masa beliau melakukan seperti yang dilakukan oleh Rafidhah. Law kaana khoiron, la-sabaqunaa ilaih, seandainya perkara tersebut baik, tentu Nabi ﷺ yang lebih dahulu melakukannya.
Coba lihat pula bagaimana ketika Nabi Yaqub ‘alaihis salam tertimpa musibah dengan hilangnya Yusuf alaihis salam. Apakah beliau sampai memukul-mukul dada? Apakah Nabi Yaqub sampai menampar wajahnya sendiri? Apakah sampai ingin menumpahkan darahnya sendiri dengan mengores-ngores badan? Apakah sampai dijadikan Ied (perayaan) atau hari berduka seperti yang dilakukan Rafidhah? Amalan yang dilakukan Rafidhah tidak lain hanyalah warisan dari Jahiliyah, masa suram sebelum Islam. Islam dengan sangat jelas telah melarangnya.
Hadis yang Membicarakan Tentang Berduka yang Terlarang
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalan Jahiliyah.” [HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103].
Namun lihatlah bagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah di Hari Asyura. Yang mereka lakukan jelas bukan ajaran Islam. Nabi ﷺ, begitu pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum, tidak pernah melakukannya. Mereka tidak pernah melakukannya ketika ada yang meninggal dunia. Padahal wafatnya Nabi ﷺ lebih daripada kematian Husain radhiyallahu ‘anhu.
Sedih Atas Kematian Husain
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Setiap Muslim seharusnya bersedih atas terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhu, karena ia adalah sayyid-nya (penghulunya) kaum Muslimin, ulamanya para sahabat, dan anak dari putri Rasulullah ﷺ, yaitu Fathimah yang merupakan putri terbaik beliau.
Husain adalah seorang ahli ibadah, pemberani, dan orang yang murah hati. Akan tetapi kesedihan yang ada janganlah dipertontokan seperti yang dilakukan oleh Syiah dengan tidak sabar, dan bersedih yang semata-mata dibuat-buat, dan dengan tujuan riya (cari pujian, tidak ikhlas). Padahal Ali bin Abi Thalib lebih utama dari Husain. Ali pun mati terbunuh, namun ia tidak diperlakukan dengan dibuatkan Maktam (Hari Duka), sebagaimana hari kematian Husain. Ali terbenuh pada hari Jumat ketika akan pergi Salat Subuh pada hari ke-17 Ramadan tahun 40 H.
Begitu pula Utsman, ia lebih utama daripada Ali bin Abi Thalib menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Utsman terbunuh ketika ia dikepung di rumahnya pada Hari Tasyrik dari bulan Zulhijah pada tahun 36 H. Walaupun demikian, kematian Utsman tidak dijadikan Maktam (Hari Duka). Begitu pula Umar bin Al Khottob. Ia lebih utama daripada Utsman dan Ali. Ia mati terbunuh ketika ia sedang Salat Subuh di mihrab ketika sedang membaca Alquran. Namun tidak ada yang mengenang hari kematian beliau dengan Maktam (Hari Duka). Begitu pula Abu Bakar Ash Shiddiq. Ia lebih utama daripada Umar. Kematiannya tidaklah dijadikan Maktam (Hari Duka).
Lebih daripada itu Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ adalah Sayyid (Penghulu) cucu Adam di dunia dan Akhirat. Allah telah mencabut nyawa beliau, sebagaimana para nabi sebelumnya juga mati. Namun tidak ada seorang pun yang menjadikan hari kematian beliau sebagai Maktam (Hari Kesedihan). Kematian beliau tidaklah pernah dirayakan sebagaimana yang dirayakan pada kematin Husain, seperti yang dilakukan oleh Rafidhah (baca: Syiah) yang jahil. Yang terbaik diucapkan ketika terjadi musibah semacam ini adalah sebagaimana diriwayatkan dari Ali bin Al Husain, dari kakeknya Rasulullah ﷺ, bersabda:
ما من مسلم يصاب بمصيبة فيتذكرها وإن تقادم عهدها فيحدث لها استرجاعا إلا أعطاه الله من الأجر مثل يوم أصيب بها
“Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah, lalu ia mengenangnya dan mengucapkan Kalimat Istirja (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un), melainkan Allah akan memberinya pahala semisal hari ia tertimpa musibah.” [Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Demikian nukilan dari Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, 8: 221]
Demikian kesesatan Syiah pada Hari Asyura. Kematian seseorang tidaklah dengan perayaan sesat seperti yang dilakukan oleh orang Syiah. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan Syiah.
Wallahul muwaffiq.
Referensi: Fatwa Syaikh Sholih Al Munajjid dalam Al Islam Sual Jawab no. 74449.