Mengaji Sunnah Rasulullah ﷺ dengan benar setelah mengaji Alquran adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah ﷻ, karena seorang Muslim tidak bisa melepaskan diri dari Sunnah Rasulullah ﷺ yang merupakan sumber hukum kedua dalam agama Islam di samping Alquran.
Dan seseorang tidak akan pernah sampai kepada pemahaman Islam yang benar bila dia mengesampingkan Sunnah Rasulullah ﷺ, karena Sunnah yang Shahih adalah wahyu dari Allah, seperti halnya Alquran. Allah ﷻ berfirman:
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [QS. An-Najm: 3-4]
Untuk Anda yang bersemangat dalam menghidupkan Sunnah Nabi ﷺ, hendaklah Anda mengaji Sunnah Nabi ﷺ dengan mengetahui kaidah-kaidah dalam rangka memahaminya, agar semangat yang ada dituntun dengan praktik amalan yang benar, berdasarkan kaidah-kaidah yang diterangkan para ulama. Karena bisa saja terjadi Anda mengamalkan hadis Shahih yang Anda tidak dibebankan untuk mengamalkannya, misalnya Anda MENGAMALKAN HADIS YANG MANSUKH (telah dihapus).
Setiap hadis yang diutarakan oleh Rasulullah ﷺ itu ada maksudnya. Orang yang serampangan mengamalkan hadis tanpa memahami maksudnya akan terjebak pada kesalahan dalam pengamalan ibadahnya.
Contoh:
Kasus yang dialami oleh ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu ketika turun firman Allah ﷻ:
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ….” [QS. Al-Baqarah: 187]
Dia (‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu) mengambil dua helai benang, yang satu berwarna putih, dan yang satu lagi berwarna hitam. Kemudian diletakkannya di bawah bantalnya. Setelah itu dia mulai melihat (mengamati) kedua benang itu dan tidak tampak sesuatu. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Yang dimaksud dengan dua benang tersebut adalah gelapnya malam dan cerahnya waktu siang.” [HR. Bukhari, II/328 dan Muslim, II/766]
Di antara kaidah-kaidah penting yang sepantasnya dipelajari oleh seorang Muslim agar pemahaman dan pengambilannya (untuk diamalkan) terhadap Sunnah Rasulullah ﷺ dapat benar, adalah sebagai berikut:
1. Memahami Sunnah dengan Tuntunan Alquran
As-Sunnah an-Nababiyyah adalah sumber hukum kedua setelah Alquran dalam syariat Islam. As-Sunnah menerangkan dan merinci apa yang ada dalam Alquran. Tidak ada pertentangan antara As-Sunnah dengan Alquran. Jika terdapat pertentangan, hal itu mungkin terjadi karena hadisnya tidak Shahih, atau kita sendiri yang tidak bisa memahaminya.
Allah ﷻ telah menegaskan:
“Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” [QS. An-Nisaa’: 82]
Contoh yang paling jelas bahwa sunnah yang Shahih tidak bertentangan dengan Alquran; justru yang bertentangan dengan Alquran adalah hadis-hadis Dhaif (lemah) dan maudhu (palsu), yaitu kisah Gharaniq (Sembahan atau Tuhan-tuhan) kaum musyrikin.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ setelah membaca firman Allah ﷻ:
“Maka apakah patut (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-‘Uzza dan Manat yang ketiga…” [QS. An-Najm: 19-20]. “Mereka itu adalah Gharaniq yang tinggi dan sungguh syafaatnya (pertolongannya) sangat diharapkan.”
Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka sifatkan dengan ketinggian-Nya yang agung. Kisah yang batil ini mustahil akan benar karena bertentangan dengan ayat itu sendiri (yang disebutkan). Apakah masuk akal jika Imam Tauhid dan pembawa bendera agama yang lurus setelah Ibrahim ‘alaihissalam (Rasulullah ﷺ) memuji Tuhan-tuhan orang-orang musyrik? Maka jelas hadis ini batil, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah, di mana beliau berkata: “Ini (termasuk hadis) yang dipalsukan oleh orang-orang zindiq.” [Nashbul Majaaniiq, hlm. 25]
2. Mengumpulkan Hadis-Hadis yang Satu Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat
Imam Ahmad berkata: “Suatu hadis, kalau tidak engkau kumpulkan jalan-jalannya (sanad-sanadnya), engkau tidak akan paham, karena sebagian hadis menafsirkan sebagian yang lainnya.” [Al-Jaami’ (I/270]
Merupakan suatu keharusan untuk memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan hadis-hadis Shahih yang satu pembahasan, supaya hadis yang mutasyabih (yang memiliki banyak penafsiran) bisa dikembalikan ke yang muhkam (maknanya jelas), yang muthlaq (tidak terikat) di bawa ke yang muqayyad (terikat), dan yang ‘amm (maknanya umum) ditafsirkan oleh yang khashsh (maknanya khusus).
Dengan cara ini akan jelas maksud hadis tersebut. Maka jangan mempertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lainnya.
Apabila sanad-sanad suatu hadis yang satu pembahasan tidak dikumpulkan pada suatu tempat, maka itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami hadis tersebut. Padahal orang itu berdalil dengan hadis Shahih, akan tetapi dia tidak mengumpulkan hadis yang semisal dengannya, sehingga menyebabkan pemahamannya terhadap hadis tersebut tidak sempurna. Bahkan pemahaman dan gambarannya menyimpang tentang masalah yang dia bahas itu.
Contoh:
Hadis Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu ketika melihat alat pertanian, beliau berkata: “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda:
“Tidaklah (alat) ini masuk ke rumah suatu kaum, kecuali Allah akan memasukkan padanya kehinaan’.” [HR. Bukhari, Fathul Baari, V/4]
Zahir (lahiriah) hadis ini memberikan faidah tentang bencinya Rasulullah ﷺ terhadap pertanian. Padahal kalau seseorang mengumpulkan hadis-hadis yang lain tentang pertanian maka dia akan mendapatkan, bahwa Rasulullah ﷺ justru menganjurkan untuk bertani, dan menerangkan tentang bolehnya bertani, seperti sabda beliau ﷺ berikut:
“Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu burung memakan dari tanaman itu, atau binatang ternak, melainkan yang demikian itu sebagai sedekah (bagi yang menanam).” [HR. Bukhari, Fathul Baari X/438 dan Muslim, VII/4241]
“Jika Kiamat telah mendatangi salah seorang di antara kalian, dan di tangannya (masih) ada bibit kurma, maka hendaklah dia menanamnya.” [HR Ahmad, III/183, 184]
Dari tiga hadis yang telah disebutkan ini ada satu hadis yang seolah-olah bertentangan, yaitu hadis yang disebutkan pertama. Lalu bagaimanakah cara para ulama menyatukan antara hadis-hadis yang tampaknya bertentangan ini? Bagaimana pula pemahaman yang benar setelah menyatukan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah ini (bertani)?
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“Dan Imam Bukhari telah memberikan isyarat dengan cara menjama’ (menyatukan) antara hadis Abu Umamah dan hadis sebelumnya tentang keutamaan bertani dan bercocok tanam. Dan itu (dijama’) dengan salah satu dari dua cara, yaitu dengan membawa apa yang bermakna celaan kepada akibat (buruk) dari pertanian, atau dibawa kepada pemahaman jika bertani tidak melalaikannya, akan tetapi dia MELAMPAUI BATAS dalam bertani…” [Fathul Baari, V/5]
Ada hadis yang mendukung pemahaman, bahwa maksud larangan tersebut ditujukan apabila seseorang disibukkan dengan bertani sehingga lalai dari kewajiban-kewajiban, seperti jihad di jalan Allah, apalagi bagi yang dekat tempatnya dengan musuh-musuh Allah. Hadis tersebut adalah hadis Marfu’ dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu:
“Jika kalian berjual-beli dengan (cara) ‘inah (salah satu bentuk riba), kalian dilalaikan oleh ternak kalian, dan kalian suka (disibukkan) dengan bertani sehingga kalian meninggalkan (kewajiban) jihad, niscaya Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan yang Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” [Hadis Shahih riwayat Ahmad, XXII/84 dan Abu Dawud, II/246. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani, I/15 no. 11]
3. Menyatukan Hadis-Hadis yang Tampak Bertentangan
Pada dasarnya TIDAK ADA pertentangan antara nash-nash Alquran dan As-Sunnah yang Shahih. Seandainya terjadi suatu pertentangan, maka itu anggapan kita semata, BUKAN hakikat dari nash-nash tersebut. Inilah keyakinan seorang mukmin pada hadis-hadis yang dapat dipercaya (hadis-hadis yang Shahih atau Hasan).
Firman Allah berikut harus selalu menjadi pedoman:
“Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” [QS. n-Nisaa’: 82]
Contoh hadis-hadis yang tampaknya bertentangan adalah hadis-hadis yang melarang seseorang menghadap ke Kiblat ketika buang air besar atau kecil, sementara ada hadis-hadis lain yang membolehkan hal tersebut. Cara jama’ yang dipakai para ulama untuk menyatukan hadis-hadis yang tampak bertentangan tersebut adalah dengan menyatakan, bahwa hadis-hadis larangan dimaksudkan bila dilakukan di tempat terbuka. Sedangkan hadis-hadis yang membolehkan dimaksudkan bila dilakukan di dalam suatu tempat yang ada pembatasnya (seperti seseorang melakukannya di WC). [Ta-wiil Mukhtalafil Hadiits hlm. 90 dan Nailul Authaar, I/98]
Kitab yang paling bermanfaat (dan bagus) yang bisa dijadikan rujukan untuk mendapatkan mukhtalaful hadis (hadis yang tampaknya bertentangan dengan hadis yang lain tetapi memungkinkan untuk dijamak/disatukan) adalah Musykilul Aatsaar karya Ath-Thahawi dan Ta’wiil Mukhtalaf al-Hadiits karya Ibnu Qutaibah.
4. Mengetahui Nasikh dan Mansukh Suatu Hadis
(Nasakh = Hadis yang Menghapus Hadis yang Lain; Mansukh = Hadis yang Dihapus)
Nasakh (hukum yang lama diganti hukum yang baru) dalam hadis memang terjadi. Seorang Muslim yang mengamalkan suatu hadis tanpa mengetahui kalau hadis itu mansukh, berarti dia telah terjatuh ke dalam ilmu yang tidak diperintahkan syara’ untuk mengamalkannya. Sebab kita tidak diperintahkan untuk mengamalkan hadis-hadis yang mansukh. Sementara nasakh adalah suatu ‘illat (penyebab) dilarangnya beramal dengan satu hadis (yang mansukh, ed.).
Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah berkata:
”Dan nasakh telah dimasukkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kategori al-‘ilal (cacat hadis). Namun beliau hanya mengkhususkannya dalam masalah pengalamannya saja (bukan status hadisnya).” [Al-Alfiyah, hlm. 22]
Seseorang tidak boleh tergesa-gesa dalam masalah ini sehingga mengatakan hadis ini mansukh, kecuali setelah mengetahui dalil-dalil dan qara-in (tanda-tanda) yang menunjukkan adanya nasakh.
Kitab-kitab yang bisa membantu untuk mengetahui yang mansukh dari hadis-hadis adalah:
– Ittihaaf Dzawiir Rusuukh karya Al-Ju’buri.
– An-Naasikh wal-Mansuukh karya Ibnul Jauzi.
– Al-I’tibaar fin Naasikh wal-Mansuukh minal Akbaar karya Al-Hazimi.
5. Mengetahui Asbabul Wuruud Hadis
Asbabul Wuruud = Sebab-Sebab Diriwayatkanya/Datangnya Suatu Hadis.
Mengetahui asbabul wurud suatu hadis sangat membantu dalam memahami maksud hadis. Termasuk cara yang baik dalam memahami sunnah Nabi ﷺ adalah:
• Meneliti (melihat) sebab-sebab tertentu disabdakannya suatu hadis, atau
• Kaitannya dengan ‘illat (alasan atau sebab) tertentu yang ditegaskan langsung dari nash (teks) hadis itu, atau dari
• Istinbath/kesimpulan (maknanya), atau
• Yang dipahami (langsung) dari kondisi ketika hadis tersebut diucapkan (oleh Rasulullah ﷺ).
Untuk memahami suatu hadis dengan pemahaman yang benar dan mendalam, tidak boleh tidak kita harus mengetahui situasi dan kondisi yang menyebabkan hadis itu diucapkan oleh Nabi ﷺ. Biasanya hadis datang sebagai penjelas terhadap kejadian-kejadian tertentu, dan sebagai terapi terhadap situasi dan kondisi kejadian tersebut. Dengan begitu maksud dari hadis itu dapat ditentukan dengan jelas dan rinci. Tujuannya tidak lain agar hadis itu tidak menjadi sasaran bagi dangkalnya perkiraan, atau kita mengikuti zahir (lahiriah dari hadis tersebut) yang tidak dimaksudkan (oleh maknanya). [Kaifa Nata’aamal ma’as-Sunnah (hlm. 125)].
Contoh:
Ada sebuah hadis yang berbunyi (artinya):
“Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” [HR Muslim, Kitab Al-Manaaqib, no. 2363).
Sebagian orang menjadikan hadis ini sebagai alasan untuk lari dari hukum-hukum syara’ (agama) yang berkaitan dengan masalah ekonomi, perdata, politik, dan yang semisalnya dengan alas an, seperti anggapan mereka yang salah, bahwa itu adalah urusan duniawi, dan kami lebih mengetahui tentang dunia, dan Rasulullah ﷺ telah menyerahkannya kepada kami.
Apakah betul ini yang dimaksud oleh hadis tersebut? Sama sekali tidak! Karena di dalam Alquran dan As-Sunnah terdapat hal-hal yang mengatur urusan muamalah: jual-beli, serikat dagang, pegadaian, sewa-menyewa, utang-piutang, dan sebagainya. Bahkan ayat terpanjang di dalam Alquran turun untuk membahas aturan penulisan utang-piutang. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dengan benar ….” [QS. Al-Baqarah: 282]
Dengan demikian hadis tersebut di atas ditafsirkan oleh sebab diucapkannya hadis tersebut, yaitu kisah penyerbukan pohon kurma atas anjuran Rasulullah ﷺ berdasarkan pendapat beliau yang merupakan dugaan belaka dalam masalah penyerbukan pohon kurma. Setelah itu para sahabat menjalankan saran Nabi tersebut dengan penuh ketaatan, padahal ketika itu mereka tidak melakukan penyerbukan, kemudian Rasulullah ﷺ. bersabda dengan hadis tersebut.
Contoh yang lain:
Hadis: “Barang siapa melakukan sunnah yang baik dalam agama Islam ….” [HR Muslim]
Sebagian orang memahami hadis ini dengan pemahaman yang salah, sehingga mereka membuat bid’ah-bid’ah (amal yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya) dalam agama dengan beranggapan, bahwa mereka sedang mendekatkan diri kepada Allah dan beramal dengan sunnah yang baik, yang masuk dalam kandungan makna hadis Rasulullah ﷺ di atas.
Akan tetapi kalau kita merujuk kepada sebab disabdakannya hadis ini, akan kita dapatkan sebabnya, yaitu bahwa Nabi ﷺ pada suatu hari menyuruh para sahabat untuk bersedekah. Kemudian datanglah seorang pria dengan membawa bungkusan besar yang kedua tangannya hampir tidak mampu untuk membawanya. Lalu ia meletakkannya di tengah masjid. Setelah itu orang-orang pun ikut berinfak sampai muka Rasulullah ﷺ berseri-seri (karena senang), seakan-akan wajah beliau seperti sesuatu yang disepuh dengan emas. Lalu beliau ﷺ mengucapkan hadis tersebut.
Maka dari itu, mengartikan hadis tersebut kepada perbuatan bid’ah, jelas-jelas secara meyakinkan BUKAN yang dimaksud. Bahkan itu merupakan kesesatan yang nyata. Dan sebab-sebab disabdakannya hadis tersebut menjadi bukti terkuat akan kesalahan cara pengambilan dalil yang ditempuh oleh mereka.
Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi mempunyai kitab berjudul Al-Bayaan wa at-Ta’riif fii Ashaab Wuruud al-Hadiits asy-Syariif yang dicetak dalam tiga jilid. Kitab itu termasuk yang paling lengkap dalam bidang ilmu ini (Asbaabul Wuruud Hadis).
6. Mengetahui Ghariibul Hadiits
(Ghariibul Hadiits = Kata-Kata yang Sulit Dipahami pada Teks Hadis)
Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan “dhaadd” bahasa Arab dan beliau berbicara kepada para sahabat dengan bahasa Arab yang jelas dan dikenal oleh mereka. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam memahami apa yang diinginkan dari lafal yang diucapkan oleh Rasulullah ﷺ, karena mereka adalah orang Arab asli, yang tidak pernah dimasuki (dipengaruhi) oleh bahasa orang ‘Ajam (orang non-Arab).
Tetapi dengan berlalunya waktu dan berbaurnya sebagian orang dengan yang lain, baik yang Arab maupun yang ‘Ajam, bahasa yang dipakai sebagian besar orang Arab menjadi lemah. Selain itu bahasa mereka bercampur dengan bahasa orang ‘Ajam, serta mereka menjadi semakin jauh dari bahasa Arab yang fasih. Sehingga banyak orang yang menemukan kesulitan dalam memahami hadis-hadis Nabi ﷺ karena mereka tidak mengetahui arti kata-kata dalam hadis-hadis tersebut.
Oleh sebab itulah para ulama bangkit menyusun karangan semacam ini, yaitu kitab-kitab Ghaariibul Hadiits. Mereka menyusun sebuah kitab untuk menerangkan kata-kata yang sulit dipahami dalam suatu hadis beserta penjelasannya. Jika seorang ulama, penuntut ilmu, dan seorang Muslim secara umum ingin memahami hadis yang baik, hendaklah dia merujuk kepada kitab-kitab Ghariibul Hadiits, yang paling penting di antaranya adalah:
– Ghariibul Hadiits karya Al-Harawi.
– Ghariibul Hadiits karya Abu Ishaq al-Harbi.
– Ghariib ash-Shahiihain karya Al-Humaidi.
– An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits karya Ibnul Atsir.
Kitab yang terakhir (An-Nihaayah) adalah kitab terlengkap dan paling bermanfaat dari kitab-kitab ghariib lainnya.
7. Memahami Sunnah seperti yang Dipahami Sahabat Rasulullah ﷺ
Kaidah ini termasuk yang paling penting supaya seorang Muslim berpegang dengan sunnah, seperti berpegangnya salafush shaleh, serta agar selamat dari penambahan dan pengurangan.
Maka yang paling utama dalam menerangkan As-Sunnah adalah hadis-hadis Nabi ﷺ sendiri, kemudian perkataan dan perbuatan para sahabat (al-aatsaar as-salafiyah), karena para sahabat telah menyaksikan turunnya Alquran dan wahyu turun di hadapan mereka. Maka jika terjadi pemahaman yang salah dari salah seorang mereka terhadap Sunnah Nabi ﷺ, niscaya Jibril akan turun kepada Rasulullah ﷺ untuk meluruskan dan mengoreksi pemahaman yang salah itu.
Oleh karena itu para ulama hadis menggolongkan perkataan seorang sahabat: “Kami berpendapat begini pada zaman Rasulullah ﷺ” sebagai perkataan yang memiliki hukum marfu’ (yang bisa disandarkan kepada Rasulullah ﷺ). Apabila orang-orang berselisih tentang pemahaman suatu hadis, maka pemahaman yang paling utama didahulukan adalah pemahaman sahabat Rasulullah ﷺ.
Contoh:
Hadis tentang menghadap ke Kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar atau kecil. Ada atsar (perkataan sahabat) dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Sesungguhnya yang demikian itu (buang hajat) terlarang jika di tempat yang terbuka. Namun jika di antara kamu dan Kiblat ada sesuatu yang menutupi (menghalangi), maka tidak mengapa (hukumnya boleh).” [HR Abu Dawud, Kitab Ath-Thaharah Bab “Karaahiyah Istiqbaali Qiblati ‘inda Qadhaa-il Haajah” (I/3)].
Kitab-kitab yang penyusunnya banyak menukil atsar-atsar salafiyyah (orang-orang shalih terdahulu) dari sahabat dan tabi’in adalah:
– Mushannaf ‘Abdirrazzaq
– Mushannaf Ibni Abi Syaibah
– Sunan Sa’id bin Manshur
– Sunan ad-Darimi
– As-Sunan al-Kubraa dan As-Sughaa karya Imam Al-Baihaqi
8. Merujuk Kitab-Kitab Syarah Hadis
Yaitu kitab-kitab yang berisi penjelasan dan keterangan dari matan (teks hadis).
Termasuk hal-hal yang penting dalam memahami hadis-hadis Nabi ﷺ adalah merujuk kitab-kitab syarah. Sebab di dalamnya terdapat penjelasan tentang gharib, nasikh-mansukh, fiqhul hadis, dan riwayat-riwayat yang tampaknya bertentangan, sehingga seseorang tidak mungkin meninggalkan kitab-kitab seperti ini.
Para ulama hadis telah meninggalkan kitab-kitab syarah untuk kita yang menjelaskan hadis-hadis Nabi ﷺ. Para ulama adalah penerjemah hadis-hadis Nabi ﷺ untuk seluruh umat. Setiap seorang ulama yang lebih dahulu (lebih dekat masa hidupnya dari Rasulullah ﷺ) maka penjelasannya akan lebih dekat kepada kebenaran dan lebih layak untuk diterima, biasanya.
Kitab syarah yang paling utama didahulukan setelah memerhatikan yang lebih dahulu zaman penyusunnya adalah kitab yang penyusunnya memiliki perhatian terhadap dalil-dalil dengan menerangkan Makhaarijul Ahaadiits (jalan periwayatan hadis) yang bermacam-macam, serta menerangkan Shahih dan Dhaifnya dalil tersebut.
Demikian pula harus didahulukan kitab yang penyusunnya paling jauh dari fanatik madzhab, yang mana suatu hadis bisa saja dipalingkan olehnya dari makna yang sesungguhnya yang diinginkan Rasulullah ﷺ, tanpa disertai dalil yang rajih (kuat).
Di antara contoh kitab syarah hadis yang sesuai dengan pemahaman para sahabat dan mu’tamad (yang bisa dipertanggungjawabkan) yaitu sebagai berikut.
– Syarhus Sunnah karya Imam Al-Baghawi.
– Fathul Baari karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
– Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani.
[Diringkas dari 8 Kaidah Memahami Sunnah, Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Judul asli: Dhawaabith Muhimmah li Husni Fahmis Sunnah, Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir, Dosen Pasca Sarjana Fakultas Hadis, Universitas Islam Madinah]