“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang memberinya rezeki.” [QS. Hud: 6]
Ibnu Mandzhur berkata:
“Kata ar-rizq (rezeki) maknanya diketahui manusia pada umumnya. Namun rezeki ada dua macam, pertama yang jelas terlihat bagi jasad, seperti bahan makanan pokok. Dan kedua yang tersirat bagi hati dan jiwa, seperti ilmu-ilmu dan pengetahuan.” [Lisanul Arob 10/115]
Berdasarkan penjelasan pakar bahasa Arab di atas, kata rezeki tidak identik dengan harta, atau diukur dengan aset yang dimiliki seseorang. Semua kemaslahatan yang dirasakan dan dinikmati, pada hakikatnya adalah rezeki Allah bagi hamba-Nya.
Mengenal tauhid dan Sunnah adalah rezeki.
Badan yang sehat adalah rezeki.
Jiwa yang lapang adalah rezeki.
Waktu luang adalah rezeki.
Gubuk yang nyaman adalah rezeki.
Keluarga yang baik adalah rezeki.
Anak-anak yang saleh dan shalihah adalah rezeki.
Dan masih banyak lagi kebaikan lainnya yang patut disyukuri.
Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr lebih luas menjelaskan, bahwa rezeki Allah bagi hamba-Nya ada dua macam:
(1). Rizqun ‘Aam, yaitu rezeki yang umum meliputi orang yang Mukmin maupun kafir, yaitu rezeki bagi jasad.
(2). Rizqun Khoosh, yaitu rezeki yang khusus bagi hati dan jiwa berupa ilmu, iman, harta halal yang membantu seseorang untuk kebaikan agamanya. Ini khusus bagi kaum Mukminin sesuai kadar keimanan mereka. [Fiqhul Asma’ hal. 105-106]
Alhasil, semua hamba yang ada di bumi ini, baik yang Mukmin maupun yang kafir, semuanya telah dijamin oleh Allah rezekinya dan kebutuhannya masing-masing, karena Dia adalah Ar-Rozzaq (Maha Pemberi Rezeki).
Karenanya, kelebihan harta, kelebihan keturunan, kelebihan jabatan, sama sekali BUKAN tolak ukur kecintaan Allah dan keridaan-Nya kepada seseorang. Kecintaan dan keridaaan Allah hanya dapat diraih dengan iman.