Oleh: Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. hafizhahullah
Tersebar sebuah video ringkas berisi pelecehan dari seorang “dai gaul” [1] yang bernama Hanan At-Takihadahullah.
Pelecehan itu terkait dengan seorang figur dan tokoh mulia yang dimuliakan oleh setiap mukmin, yaitu Kalimulloh Musa alaihish sholatu was salam, seorang nabi mulia dari kalangan ulul ‘azmi yang wajib kita cintai dan muliakan, serta harus membelanya dari pelecehan siapapun!
Pelecehan Hanan At-Taki kepada Nabi Musa alaihis salam sangat menyayat hati setiap mukmin. Pasalnya, ia mencela dan menggelari Nabi Musa alaihis salam sebagai “Preman Para Nabi”. Na’udzu billahi min dzalik!
Kata “preman” adalah kata yang tidak digunakan, melainkan untuk makna yang berkonotasi buruk sebagaimana yang diungkapkan oleh para pakar bahasa.
Kita nukilkan misalnya dari KBBI Daring,
“Preman2/pre•man/ /préman/ n cak sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dan sebagainya): — Medan sangat terkenal.”
Dari sini, tampak jelas bagi Anda, bahwa penggunaan kata “preman” adalah penggunaan kata yang membawa makna yang amat buruk dan tidak selayaknya kita sematkan kepada siapapun dari kalangan orang-orang mulia, apalagi seorang nabi.
Kami yakin bahwa andaikan kata “preman” ini disematkan kepada Hanan, lalu kita katakan bahwa Hanan At-Taki adalah“USTADZ PREMAN” yang telah melecehkan kehormatan dan kedudukan Nabi Musa alaihish sholatu was salam!!
Bahkan mungkin Hanan lebih marah lagi kalau kita semua dari Sabang sampai Merauke memanggil dengan sebutan “Premannya Para Ustadz”!!!
Saya yakin Hanan tidak akan terima gelar dan sifat buruk ini jika disematkan kepada dirinya yang telah dianggap sebagai seorang ustadz penyebar agama!
Ketahuilah wahai Hanan, bahwa pelecehanmu tidaklah membahayakan Nabi Musa –alaihi salam-, tapi engkau telah membahayakan imanmu dengan kekafiran dan kemurtadan, bila engkau tidak segera menangis dan bertobat kepada Allah Pemilik alam semesta!
Melecehkan seorang nabi dengan sindiran ataukah ucapan tegas lagi nyata merupakan kekafiran!
Tahukah engkau wahai Hanan, bahwa Iblis kafir akibat lisannya yang telah melecehkan Nabi Adam alaihis salam yang telah dimuliakan atas Iblis.
Perhatikanlah firman Allah azza wa jalla saat mengabadikan pelecehan Iblis kepada Nabi Adam:
Allah berfirman: “Apakah penghalangnya yang menyekatmu daripada sujud ketika Aku perintahmu?” Iblis menjawab: “Aku lebih baik daripada Adam, Engkau (wahai Tuhan) jadikan daku dari api, sedang dia Engkau jadikan dari tanah.”
Allah berfirman: “Turunlah engkau dari Surga ini, karena tidak patut engkau berlaku sombong di dalamnya. Oleh sebab itu keluarlah, sesungguhnya engkau dari golongan yang hina”. [QS. Al-A’roof : 12-13]
Iblis telah melecehkan Nabi Adam dengan ucapan sombongnya, “Aku lebih baik daripada Adam.” Jika pelecehan seperti ini saja Iblis jadi kafir, nah bagaimana lagi dengan pelecehan Hanan yang secara tegas menyifati Nabi Musa alaihis salam dengan sifat yang amat keji dan busuk!
Kebiasaan buruk berupa pelecehan terhadap seorang nabi merupakan kebiasaan kaum Yahudi yang telah menyakiti Nabi Musa alaihish sholatu was salam.
“Sesungguhnya Musa adalah seorang yang pemalu lagi amat menutupi diri. Kulitnya sedikit pun tidak terlihat karena malu.
Lalu kaumnya dari kalangan Bani Israil menyakitinya dengan berkata: “Beliau tidaklah menyembunyikan diri seperti ini kecuali karena ada cacat di kulitnya, bisa karena ada penyakit sopak, bisa karena dua buah pelirnya besar dan bisa karena penyakit lainnya.”
Allah ingin membersihkan beliau dari perkataan yang mereka tuduhkan kepada Musa.
Suatu hari Nabi Musa menyendiri, lalu menaruh pakaiannya di atas batu dan mandi. Selesai mandi ia mendatangi pakaiannya untuk mengambilnya, namun batu itu malah berdiri membawa lari pakaiannya.
Lalu Nabi Musa mengambil tongkatnya dan mengejar batu itu sambil berkata: “Pakaianku wahai batu, pakaianku wahai batu.”
Sehingga ia sampai di tengah-tengah orang Bani Israil, lalu mereka melihat beliau dalam keadaan telanjang. Ternyata dalam rupa yang paling baik yang Allah ciptakan.
Allah membersihkan beliau dari tuduhan yang mereka katakan, lalu batu itu pun berhenti. Lalu Nabi Musa mengambil pakaiannya dan memakainya, dan segeralah beliau memukul batu itu dengan tongkatnya.
Demi Allah, sesungguhnya di batu itu ada bekas pukulannya, tiga, empat atau lima kali pukulan.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” [QS. Al Ahzaab: 69).” [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3404), dan Muslim dalamShohih-nya (339)]
Melecehkan para nabi, termasuk Nabi kita Muhammad [2], adalah kebiasaan kaum munafikin yang menampakkan keislamannya, namun hakikatnya ada kekafiran yang mereka pendam dalam hati mereka.
Sebuah peristiwa pelecehan di zaman Nabi alaihish sholatu was salam pernah dilakukan oleh sebagian kaum Badui yang baru saja mengenal Islam dan masuk ke dalamnya.
Abdullah bin Mas’ud Al-Hudzaliy radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Tatkala terjadi Perang Hunain, Rasulullah ﷺ membagi-bagikan ghanimah (harta rampasan perang) dengan lebih kepada beberapa orang. Beliau memberikan jatah lebih kepada Al-Aqra’ bin Habis sebanyak 100 unta, memberi Uyainah bin Hishn sama seperti itu juga (yakni 100 o=unta), dan beliau memberi pembagian lebih kepada beberapa pemuka Arab pada waktu itu.
Lalu berkatalah seorang laki-laki, “Demi Allah, sungguh pembagian ini tidak adil dan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dari wajah Allah”.
Akupun berkata kepadanya: “Demi Allah, akan aku beritahukan ini kepada Rasulullah ﷺ”.
Lalu aku segera mendatangi Rasulullah ﷺ dan aku kabarkan dengan apa yang ia katakana.
Kemudian beliau ﷺ bersabda:
“Siapa lagi yang akan berbuat adil apabila Allah dan Rasulnya tidak berbuat adil?
Semoga Allah merahmati Nabi Musa. Sungguh ia telah disakiti lebih banyak daripada ini, lalu iapun bersabar.” [HR. Bukhori dalam Shohih-nya (3150); Muslim dalam Shohih-nya (1062)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy rahimahullah menjelaskan, bahwa laki-laki yang menuduh Nabi ﷺ tidak adil dalam membagi ghanimah adalah salah seorang munafikin yang bernama “Mu’attib bin Qusyair” dari kalangan Bani Amr bin ‘Auf. [Lihat Fathul Bari (8/56)]
Para pembaca yang budiman, munculnya dai yang melecehkan Nabi Musa alaihis salam merupakan sebuah realita yang miris lagi mengiris hati sedalam-dalamnya.
Ketahuilah bahwa melecehkan dan menghina atau mengolok-olok seorang nabi termasuk dalam jajaran perkara yang amat berbahaya bagi keimanan seorang hamba. Karena hal itu menyebabkan murtad atau kafirnya seorang muslim!
“Demikian pula orang yang menyandarkan kepada Nabi kita ﷺ sikap sengaja berdusta dalam misi yang beliau sampaikan, dan mengabarkannya, atau orang itu ragu terhadap kejujuran beliau, atau ia mencelanya, atau ia berkata: “Sesungguhnya beliau belum menyampaikan (risalah),” atau ia merendahkannya, atau salah seorang di antara para nabi, atau melecehkannya, atau menyakiti mereka, atau membunuh seorang nabi, atau memeranginya, maka ia kafir berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).”[Lihat Asy-Sifa bi Ta’rif Huquq Al-Mushthofa(2/608), oleh Al-Qodhi ‘Iyadh,cet. Dar Al-Faiha’, 1407 H]
Al-Imam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah Al-Harroniyrahimahullah berkata:
“فمن خصائص الأنبياء : أن من سب نبيا من الأنبياء قتل باتفاق الأئمة وكان مرتدا كما أن من كفر به وبما جاءبه كان مرتدا فإن الإيمان لا يتم إلا بالإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله.” اهـ من الرسالة الصفدية (ص : 261262)
“Jadi, di antara kekhususan para nabi, bahwa barang siapa yang mencela seorang nabi di antara para nabi, maka ia harus dibunuh berdasarkan kesepakatan para imam (yakni, para ulama), dan orangnya murtad, sebagaimana hal barang siapa yang mengingkarinya dan sesuatu (risalah) yang ia (yakni, seorang nabi) bawa, maka pelakuknya murtad. Karena keimanan tidak akan sempurna, kecuali dengan beriman kepada, para malaikat-Nya, dan para rasul-Nya.” [Lihat Ar-Risalah Ash-Shofadiyyah (hlm. 261-261)]
“وَيَكْفُرُ بِعَيْبِهُ نَبِيًّا بِشَيْءٍ.” اهـ من البحر الرائق شرح كنز الدقائق ومنحة الخالق وتكملة الطوري (5/ 130)
“Seseorang menjadi kafir karena ia melecehkan seorang nabi dengan sesuatu.” [Lihat Al-Bahr Ar-Ro’iq Syarh Kanz Ad-Daqo’iq (5/130)]
Al-Imam Abul Barokat Ad-Dardir Al-Adawiy Al-Malikiy rahimahullah berkata:
“من سب نبياً مجمعاً على نبوته، أو عرض بسب نبي، بأن قال عند ذكره، أما أنا فلست بزان أو سارق فقد كفر.
وكذا إن ألحق بنبي نقصاً، وإن ببدنه كعرج، وشلل، أو وفور علمه، إذ كل نبي أعلم أهل زمانه وسيدهم صلى الله عليه وسلم أعلم الخلق”
“Barang siapa yang mencela seorang nabi yang disepakati kenabiannya, atau ia membuat sindiran dalam mencela seorang nabi, seraya berkata saat ia menyebutnya, “Adapun aku, maka aku bukan pezina atau pencuri,” maka sungguh ia kafir.
Demikian pula bila seseorang menyandarkan kekurangan pada seorang nabi, walaupun itu pada badannya, misalnya, sifat kepincangan, lumpuh, ataukah (ia sandarkan kekurangan) pada perkara ketinggian ilmu mereka.
Sebab setiap nabi adalah orang yang paling berilmu di kalangan generasi pada masanya. Sedang pemimpin mereka (Nabi Muhammad ﷺ) adalah manusia yang paling berilmu.” [LihatAsy-Syarh Ash-Shogir(6/149150)]
Ulama Syafi’iyyah, Al-Khothib Muhammad bin Ahmad Asy-Syarbiniy
“Barang siapa yang mendustakan seorang rasul atau nabi, mencelanya, atau merendahkannya atau namanya, maka sungguh ia kafir.” [Lihat Mughni Al-Muhtaj (4/175)]
Al-Imam Mar’iy bin Yusuf Al-Karmiy (wafat 1033 H) rahimahullah berkata:
“من سب رسولاً… كفر”.
“Barang siapa yang mencela seorang rasul…, maka ia kafir.” [Lihat Matholib Ulin Nuha fi Syarh Ghoyah Al-Muntaha (6/276)]
Hukum kafirnya seorang yang melecehkan dan merendahkan seorang adalah perkara yang sudah dimaklumi di kalangan kaum muslimin. Ia adalah perkara yang amat terang seterang matahari, apalagi di sisi para penuntut ilmu.
Terakhir kami nasihatkan kepada saudara Hanan At-Taqi agar senantiasa bertakwa kepada Allah (dengan menjaga ketaatan dan menjauhi dosa dan maksiat).
Hindarilah kebiasaan menggunakan bahasa gaul yang sering engkau gunakan dalam ceramah-ceramahmu. Bahasa gaul yang tidak sejalan dengan etika dan norma kaum beriman dan para ulama dalam membahas perkara-perkara agama.
Janganlah karena ingin dianggap gaul, akhirnya engkau menyalahi muru’ahpara ulama dan thullabul ilmi (penuntut ilmu), yang amat jauh dari istilah-istilah gaul yang mengingatkan manusia kepada keburukan!
Bersikaplah dan berceramahlah dengan bahasa yang sopan dan biasa saja, sebagaimana agama juga mengajarkan kesopanan, tidak takalluf dan tidak pula harus terbawa dengan bahasa gaul yang mencoreng dirimu sebagai seorang teladan.
Engkau katakan bahwa Nabi Musa adalah “Premannya Para Nabi”, dengan alasan “preman” adalah kata gaul. Apakah engkau memaksakan diri menggunakannya, walaupun engkau harus melecehkan seorang nabi?
Engkau katakan bahwa Aisyah adalah “cewek gaul”. Tahukah engkau bahwa cewek gaul hanyalah mengandung makna yang berkonotasi buruk?!
Wahai Hanan, berhentilah dan bertobatlah engkau dari kicauan-kicauan gaulmu yang tabu, yang akan menjerumuskanmu ke dalam kebinasaan dunia dan akhiratmu!
Jika engkau tidak berhenti, maka ketahuilah bahwa“mulutmu adalah harimaumu,” yang akan mencelakakan dirimu.
“Sesungguhnya Allah azza wa jalla membenci orang yang berlebihan dalam berbicara, yaitu orang mengunyah dengan lisannya (bersilat kata), seperti mengunyahnya sapi dengan lidahnya.” [HR. Abu Dawud (5005), dan At-Tirmidziy (2853). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalamAsh-Shohihah (880)]
Al-Imam Abu Dawud saat membawakan hadis ini, maka memasukkannya dalam bab yang berjudul“Sesuatu yang Datang tentang Bersilat Kata dalam Berbicara.”
Kemudian diterangkan maknanya oleh Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiyrahimahullah dengan ucapannya:
“Maksudnya, bebas dalam berbicara tanpa kehati-hatian dan tanpa menjaga diri.”[Lihat Aunul Ma’bud wa Hasyiyah Ibnil Qoyyim (13/237)]
Catatan:
Mungkin ada yang berkata: “Kok ustadz masih membahas masalah ini, padahal boleh jadi beliau tobat dan melakukan klarifikasi.”
Terlepas dari semua itu, maka kami katakan:
1/ Kekeliruan besar yang ia lakukan adalah kekeliruan yang ia tampakkan dan ia sebarkan ke seluruh penjuru dunia. Maka sanggahan pun harus kita tampakkan di media sosial agar tersebar dan bisa dibaca oleh semua orang yang telah menyaksikan video pelecehan itu, sehingga ia sadari kekeliruan sang ustadz.
2/ Kami tetap menyebarkan sanggahan ini, agar menjadi nasihat bagi Hanan At-Taki, sehingga ia tahu sisi kesalahannya.
3/ Tetap kami publikasikan agar Hanan sadar, bahwa jika berbicara dengan kebatilan dan maksiat, maka banyak yang akan menanggapi dan membantahnya. Ini bagian dari amar ma’ruf-nahi munkar!
4/ Sebagai bentuk pembelaan bagi Nabi Musa alaihis salam dan kecintaan kita kepada beliau. Sebab, ini bagian dari keimanan.
———————————————-
Baca artikel lengkap di:
══════
Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat..!