Imam adz-Dzahabi [Dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (3/262)] dan Ibnu Katsir [Dalam kitab “al-Bidaayah wan nihaayah” (8/39] menukil dalam biografi sahabat yang mulia dan cucu kesayangan Rasulullah ﷺ, al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah disampaikan kepada beliau tentang ucapan sahabat Abu Dzar: “Kemiskinan lebih aku sukai daripada kekayaan, dan (kondisi) sakit lebih aku sukai daripada (kondisi) sehat.”
Maka al-Hasan bin ‘Ali berkata: “Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Adapun yang aku katakan adalah:
من اتكل على حسن اختيار الله له، لم يتمن شيئا. وهذا حد الوقوف على الرضى بما تصرف به القضاء
“Barang siapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya, maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu selain keadaan yang Allah pilihkan untuknya. Inilah batasan sikap selalu rida terhadap semua ketentuan takdir, dalam semua keadaan yang Allah berlakukan bagi hamba-Nya.” [Siyaru A’laamin Nubalaa’ 3/262]
Atsar (riwayat) sahabat di atas menggambarkan tingginya pemahaman Islam para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan keutamaan mereka dalam semua segi kebaikan dalam agama [Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawa-id” (hal. 141)].
Dalam atsar ini sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan, bahwa kondisi susah (miskin dan sakit) lebih baik bagi seorang hamba, daripada kondisi senang (kaya dan sehat). Karena biasanya seorang hamba lebih mudah bersabar menghadapi kesusahan daripada bersabar untuk tidak melanggar perintah Allah ﷻ dalam keadaan senang dan lapang, sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah ﷺ:
فَوَاللَّهِ لا الفَقْرَ أَخْشَى علَيْكُم، ولَكِنْ أَخَشَى علَيْكُم أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كما بُسِطَتْ علَى مَن كانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كما تَنَافَسُوهَا وتُهْلِكَكُمْ كما أَهْلَكَتْهُمْ
“Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian. Akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian, sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia, sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian, sebagaimana dunia membinasakan mereka.” [HSR al-Bukhari (no. 2988) dan Muslim (no. 2961)]
Akan tetapi dalam atsar ini cucu Nabi ﷺ, al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengomentari ucapan Abu Dzar di atas dengan pemahaman agama yang lebih tinggi, dan merupakan konsekwensi suatu kedudukan yang sangat agung dalam Islam, yaitu rida kepada Allah ﷻ sebagai Rabb (Pencipta, Pengatur, Pelindung dan Penguasa bagi alam semesta), yang berarti rida kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan takdir dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya. [Lihat kitab “Fiqul asma-il husna” (hal. 81)]
Sikap ini merupakan ciri utama orang yang akan meraih kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang rida dengan Allah ﷻ sebagai Rabb-nya, dan Islam sebagai agamanya, serta (Nabi) Muhammad ﷺ sebagai Rasul-Nya.” [HSR Muslim (no. 34)]
Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah di atas:
1. Bersandar dan bersarah diri kepada Allah ﷻ adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari-Nya [Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Badaa-I’ul Fawa-Id” (2/766)]. Allah ﷻ berfirman:
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” [QS ath-Thalaaq: 3]
2. Rida dengan segala ketentuan dan pilihan Allah ﷻ bagi hamba-Nya adalah termasuk bersangka baik kepada-Nya, dan ini merupakan sebab utama Allah ﷻ akan selalu melimpahkan kebaikan dan keutamaan bagi hamba-Nya. Dalam sebuah Hadis Qudsi Allah ﷻ berfirman:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى
(Yang artinya): “Aku (akan memerlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku.” [HSR al-Bukhari (no. 7066- cet. Daru Ibni Katsir) dan Muslim (no. 2675)]
Makna hadis ini: Allah akan memerlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut. Maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah ﷻ [Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/312) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/53)].
3. Takdir yang Allah ﷻ tetapkan bagi hamba-Nya, baik berupa kemiskinan atau kekayaan, sehat atau sakit, kegagalan dalam usaha atau keberhasilan dan lain sebagainya wajib diyakini, bahwa itu semua adalah yang terbaik bagi hamba tersebut, karena Allah ﷻ Maha Mengetahui, bahwa di antara hamba-Nya ada yang akan semakin baik agamanya jika dia diberikan kemiskinan, sementara yang lain semakin baik dengan kekayaan, dan demikian seterusnya [Lihat keterangan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “’Uddatush Shaabiriin” (hal. 149-150)].
4. Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi berkata:
”Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (rida) Allah ﷻ. Sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah.
Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah ﷻ, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Demikian pula (sahabat Nabi ﷺ) ‘Utsman (bin ‘Affan) dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf . Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah, dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…” [Kitab “al-Aadaabusy Syar’iyyah” (3/469)].
5. Orang yang paling mulia di sisi Allah ﷻ adalah orang yang mampu memanfaatkan keadaan yang Allah ﷻ pilihkan baginya untuk meraih takwa dan kedekatan di sisi-Nya. Maka jika diberi kekayaan dia bersyukur, dan jika diberi kemiskinan dia bersabar. Allah ﷻ berfirman:
{إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ }
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” [QS al-Hujuraat: 13]
“Alangkah mengagumkan keadaan seorang Mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya). Dan ini hanya ada pada seorang Mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” [HSR Muslim (no. 2999)]
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA