Di masa pandemi seperti ini, pelaksanaan ibadah atau aktivitas dengan shaf rapat di masjid ataupun lainnya sangat berpotensi, dan bahkan terbukti menjadi penyebab penularan. Ini jelaslah merupakan kemudharatan besar yang WAJIB dicegah. Apalagi jika tidak mengindahkan protokol lainnya, tentu semakin besar potensi penularan penyakit yang tergolong mematikan ini. Di samping itu, terjadinya penularan saat pelaksanaan ibadah Jumatan atau salat berjamaah dapat merusak citra masjid dan kaum Muslimin, karena akan dituding sebagai sumber masalah.
Akan tetapi bila kita menerapkan physical distancing dalam masjid, maka daya tampung masjid akan berkurang dratis hingga menjadi sekitar 40% saja. Ini tentunya menimbulkan masalah baru, yaitu tidak tertampungnya jamaah.
Dalam kondisi seperti ini, kita dihadapkan kepada empat pilihan, yang masing-masing memiliki mudharat di satu sisi dan manfaat di sisi lain, yaitu:
Opsi A: Tetap melaksanakan Salat Jumat di masjid dengan shaf rapat.
Opsi B: Melaksanakan Salat Jumat satu kali di masjid dengan shaf renggang tanpa menambah tempat alternatif.
Opsi C: Menyediakan tempat alternatif sebagai masjid darurat khusus untuk salat Jumat, semisal aula, ruang pertemuan, ruang futsal atau yang lainnya.
Opsi D: Melakukan Salat Jumat dalam dua gelombang di satu masjid.
Tentunya opsi C adalah yang paling sesuai dengan kaidah syariat, karena paling kecil mudharatnya dan paling besar manfaatnya. Kemudian disusul dengan opsi D. Sebab opsi C lah yang paling aman bagi kesehatan jamaah, sedangkan ibadah hanya dapat ditunaikan sesuai tuntunan (sempurna), bilamana seseorang dalam kondisi sehat dan aman. Adapun bila ia jatuh sakit atau terancam keselamatan dirinya, maka akan sulit melakukan ibadah dengan sempurna.
Oleh karenanya, menjaga kesehatan masyarakat secara umum lebih didahulukan daripada menjaga kesempurnaan suatu ibadah. Sebab bila masyarakat jatuh sakit, niscaya bukan hanya Salat Jumatnya yang tidak dapat dilakukan dengan sempurna, namun ibadah-ibadah lainnya juga terpengaruh.
Adapun opsi D (mengadakan Salat Jumat dua gelombang di satu masjid), maka TIDAK BOLEH dilakukan selagi masih dapat dicarikan tempat alternatif, karena inilah yang lebih kecil mudharatnya dan lebih besar manfaatnya. Demikian pula opsi A (mengadakan salat Jumat satu kali dengan shaf rapat), jelas tidak sesuai dengan kaidah-kaidah syariat yang lebih mengutamakan keselamatan jiwa daripada kesempurnaan ibadah. Sedangkan opsi B tidak memberikan solusi apa-apa bagi jamaah yang tidak tertampung.
Namun bila pihak DKM atau pihak terkait tidak mendapatkan tempat alternatif untuk menampung jamaah dan para jamaah juga kesulitan untuk melaksanakan Salat Jumat di tempat lain, maka dalam kondisi darurat seperti ini, opsi D dapat dipilih.
“Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang pada dasarnya terlarang, tapi harus ditentukan kadar daruratnya secara proporsional.”
Kedua:
لاَ وَاجِبَ مَعَ العَجْزِ
“Tidak ada kewajiban saat tidak mampu melakukannya.”
Ketiga:
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kondisi yang sulit mengundang datangnya kemudahan.”
Keempat:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membiarkan maupun melakukan kemudharatan.”
Kelima:
اِرْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ
“Memilih perbuatan yang paling kecil kemudaratannya.”
Keenam:
الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
“Adanya kebutuhan umum dapat dianggap seperti kondisi darurat.”
Imbauan Dari Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
1. Bagi kaum Muslimin yang hendak melaksanakan salat berjamaah di masjid, maka wajib mengikuti protokol penggunaan masjid yang ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, termasuk merenggangkan shaf dan memakai masker.
2. Bagi orang tertentu yang dianjurkan oleh dokter untuk tidak berangkat ke masjid, maka ia tidak boleh berangkat ke masjid.
3. Orang yang sedang sakit batuk, flu, dan demam tidak boleh ke masjid selama pandemi belum berakhir.
4. Bagi yang masih merasa belum aman untuk salat berjamaah dan Salat Jumat di masjid, maka secara syari MASIH DIBERI UZUR untuk salat di rumah.
5. Jika dengan protokol New Normal masjid jami tidak bisa menampung jamaah, maka Salat Jumat dapat dilakukan di masjid lain, mushalla, gedung, lapangan dan sebagainya untuk menampung jamaah yang tidak tertampung oleh masjid jami.
6. Bila poin kelima tidak dapat diwujudkan, maka Salat Jumat boleh dilakukan dalam dua gelombang di masjid yang sama. Dalam hal ini hendaknya diupayakan menyiapkan imam dan khatib yang berbeda pada masing-masing gelombang. Namun jika kesulitan, maka boleh dilakukan oleh imam dan khatib yang sama.
7. Panduan ini hanya berlaku untuk daerah yang memenuhi syarat penerapan aturan New Normal menurut disiplin ilmu kesehatan.
Referensi:
• Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbi Darul Qalam.