“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari Alquran, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (Maulid) tersebut adalah bidah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu…” [Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasa-il fi Hukmil Ihtifal bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas]
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyariatkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau Jumat pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 Syawwal yang dinamakan Idul Abrar oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bidah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallahu a’lam.” [Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).]
3. Al-‘Allamah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi ﷺ:
“…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah ﷺ dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya ﷺ. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu. Namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan Maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.” [Al-Madkhal (II/234-235).]
4. Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi ﷺ dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bidah dalam agama. Sebab, Rasul ﷺ tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulafa-ur Rasyidin, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah ﷺ, dan paling mengikuti syariat dibandingkan orang-orang setelah mereka…” [Hukmul Ihtifal bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasa-il fii Hukmil Ihtifal bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas]
5. Syaikh Hamud bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“…Dan hendaklah juga diketahui bahwa memeringati malam Maulid Nabi ﷺ dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah ﷺ. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau ﷺ setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memeringati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah ﷻ sebutkan dalam firman-Nya:
“…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” [QS. an-Nur/24:63]
Jika dalam acara Maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan, maka para Shahabat telah bergegas melakukannya…” [Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifa’i wal Majhul wa Ibni ‘Alawi wa Bayan Ahkhta-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasa-il fii Hukmil Ihtifal bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas]
6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
Pertama: Bahwa malam kelahiran Rasul ﷺ tidak diketahui secara pasti. Bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
Kedua: Dari sudut pandang syariat, maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syariat Allah ﷻ, pasti Nabi ﷺ telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau ﷺ telah melakukannya atau telah menyampaikannya, maka hal itu pasti terjaga, karena Allah ﷻ berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [QS. al-Hijr/15:9]
Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu, maka dapat diketahuilah, bahwa Maulid Nabi ﷺ tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah, maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah ﷻ telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya, yaitu apa yang dibawa Rasul ﷺ, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah ﷻ, yaitu mensyariatkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian dari-Nya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah ﷻ, yang artinya: “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” [QS. al-Maidah/5: 3]” [Majmu’ Fatawa wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas]
7. Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi ﷺ adalah bidah. Tidak pernah dinukil dari Nabi ﷺ, tidak dari para Khulafa-ur Rasyidin, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan, bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah ﷺ dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyariatkan Allah ﷻ dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah ﷻ, yang maknanya: “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [QS. al-Hasyr/59:7]
Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan Maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bidah…
Kesimpulannya, bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi ﷺ termasuk perbuatan bidah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil, baik dari Kitabullah maupun dari Sunnah Rasulullah ﷺ…”[ Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih Fauzan (II/185-186) dengan diringkas]
Dinukil dari tulisan berjudul: “PERINGATAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENURUT SYARIAT ISLAM” yang ditulis oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas