“… Ingatlah, bahwa di dalam tubuh manusia itu adalah segumpal daging. Apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan apabila ia buruk, maka buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” [Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599]
“Hati ibarat raja, sedangkan anggota badan adalah pasukannya. Apabila baik rajanya, maka baik pula pasukannya. Apabila buruk rajanya, maka buruk pula pasukannya.” [Atsar Sahih: Riwayat al-Baihaqi dalam al-Jaami’ li Syu’abil-iimaan: 1/257, no. 108]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan:
“Barang siapa memerhatikan syariat di dalam sumbernya, maka ia akan tahu tentang terkaitnya amalan badan dengan amalan hati. Amalan badan tidak ada manfaatnya tanpa ada amalan hati. Amalan hati lebih wajib bagi setiap hamba daripada amalan badan. Bukankah perbedaan orang Mukmin dan orang munafik tergantung pada hatinya? Oleh karenanya, ibadah hati lebih agung daripada ibadah badan. Bahkan lebih banyak, lebih kontinyu, dan lebih wajib di setiap waktu.” [Badaa-i’ul Fawaa-id hal. 514]
Namun amalan badan (yang disertai amalan hati yang ikhlas) berpengaruh terhadap iman dan bernilai di sisi Allah Taala. Sebab Allah tidak akan melihat kepada bentuk tubuh dan rupa kita, akan tetapi Allah akan melihat kepada hati dan amal-amal kita. Sebagaimana Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian.” [Muslim no. 2564]
Kaidah Penyucian Jiwa
1. Ahlussunnah meyakini, bahwa tidak mungkin seseorang akan suci hatinya, kecuali dengan kehendak Allah ﷻ. Firman Allah ﷻ:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Tetapi Allah mensucikan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [QS. an-Nuur: 21]
Oleh karena itu, apabila seseorang ingin bersih hatinya dan diberikan ketakwaan oleh Allah ﷻ, maka berdoalah dan memohon kepada Allah agar Allah membersihkan hatinya.
2. Ahlussunnah meyakini, bahwa penyucian jiwa tidak mungkin diperoleh kecuali dengan menempuh petunjuk dan jalan yang telah ditempuh Rasulullah ﷺ.
Maka setiap jalan atau cara atau ibadah yang tidak mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ, pasti tertolak. Beliau ﷺ bersabda:
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu…” [QS. al-Maa-idah: 3]
Semua yang membawa manusia ke Surga, Nabi ﷺ sudah jelaskan. Begitu juga semua yang membawa ke Neraka, Nabi ﷺ sudah jelaskan. Oleh karena itu, di dalam Islam tidak ada istilah Tashawwuf, Thariqat, semedi, bertapa, dan lain sebagainya, dalam membersihkan hati.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan:
“Menyucikan jiwa lebih berat dan lebih sulit daripada mengobati luka di badan. Barang siapa menyucikan dirinya dengan latihan spiritual, berjuang, dan menyepi (menyendiri/bertapa) yang tidak dicontohkan oleh para rasul, maka kondisinya seperti orang sakit yang mengobati dirinya dengan ra’yunya (dengan kebodohannya). Bagaimana akan sembuh kalau dia tidak bertanya kepada dokter (hati)? Para rasul adalah dokter-dokter hati. Oleh karena itu, tidak ada jalan untuk membersihkan hati, menyucikan jiwa, dan memerbaikinya, kecuali dengan jalan dan cara yang telah ditempuh dan diajarkan oleh para rasul, dengan menaatinya, patuh, dan tunduk terhadap syariat yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ. Allahulmusta’aan.” [Madaarijus Saalikiin: II/328]
3. Seseorang tidak boleh menganggap diri dan hatinya bersih atau bersikap “sok suci”.
“Tidakkah engkau memerhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci (orang Yahudi dan Nasrani)? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki, dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.” [QS. an-Nisaa’: 49]
Banyak penafsiran dari para ulama tentang ayat di atas. Yang intinya, bahwa orang-orang Mukmin harus membersihkan dirinya secara lahir maupun batin, baik itu kebersihan hati dari noda syirik, niat busuk, ketidakikhlasan, dengki, dan lain-lain dari penyakit hati, maupun kebersihan pakaian serta kebersihan akhlak (budi pekerti).
Hakikat “Qolbun Saliim” (Hati Yang Selamat)
Qolbun Saliim sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah hati yang bersaksi, bahwa tidak ada Ilah (Sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah. Qolbun Saliim juga hati yang bersih dari syirik.
Abu ‘Utsman an-Naisaburi rahimahullah menjelaskan, bahwa Qolbun Saliim adalah hati yang selamat dari bidah dan tenang di atas Sunnah.
Sedangkan menurut Ibnul Qayyim rahimahullah:
“Qolbun Saliim adalah hati yang selamat dari menjadikan sekutu bagi Allah Taala. Bahkan ia mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah saja, baik dalam kehendak, cinta, tawakal, tobat, takut, inabah (kembali), merendahkan diri, mengharap, semuanya semata-mata karena Allah. Apabila ia mencintai, maka ia mencintai karena Allah. Apabila ia membenci, maka ia membenci karena Allah. Apabila ia memberi, maka ia memberi karena Allah. Dan apabila ia mencegah, maka ia pun mencegah karena Allah.” [Mawaariudl Amaan hal. 33-34]
Perkataan beliau rahimahullaah selaras dengan sabda Rasulullah ﷺ:
“Barang siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan mencegah karena Allah, maka ia telah menyempurnakan imannya.” [Sahih: HR. Abu Dawud no. 4681, disahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir
Disarikan dari buku yang berjudul:
“MANHAJ AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DALAM TAZKIYATUN NUFUS”