Bismillah was shalatu was salamu ala rasulillah, amma ba’du,
Entah sudah berapa orang yang curhat ke saya mengenai utang, dan hampir semuanya nasabah bank syariah. Saya mohon maaf jika harus cerita. Bukan dalam rangka menyudutkan instansi tertentu, tapi saya berharap bisa menjadi pelajaran bagi yang lainnya.
Mereka yang curhat ke saya bukan tipe manusia membutuhkan. Mereka rata-rata orang yang memiliki status sosial. Dari sisi karir, di atas umumnya masyarakat. Ada dokter, ada bidan, ada pengusaha minyak, ada karyawan perusahaan perusahaan luar negeri, hingga karyawan perusahaan tambang. Mereka bukan orang membutuhkan. Bahkan di tengah masyarakatnya, mereka tergolong orang kaya.
Tapi beda lahir dengan batinnya. Di permukaan mereka terlihat kaya, ternyata di dalam mereka menyimpan kesedihan dan segudang masalah. Terutama jerat utang riba.
Saya sendiri merasa heran. Hingga kini saya belum pernah mendengar keluhan masalah utang dari tukang becak, pedagang asongan, para pemulung, para kuli bangunan, atau para buruh tani.
Dari situlah saya penasaran. Dari mana mereka bisa terjerat utang? Setelah mendengar cerita mereka, saya mendapatkan kesimpulan yang sama. Ternyata dunia itu candu.
Mereka mulai utang bank ketika mereka ingin memerbesar pemasukan atau memerbanyak aset. Mereka merasa sangat yakin, dengan karir bagus yang saat itu mereka jalani, sangat mudah bagi mereka untuk membayar cicilan dan melunasi utang bank. Di saat itulah mereka undang bank.
Karena alasan khawatir terjerat riba, mereka tidak sembarangan memilih bank. Mereka pilih bank yang berlabel syariah.
Proses berjalan. Setelah utang dikucurkan, misi tahap awal dilakukan. Ada yang beli aset, ada yang memulai membuka usaha, dan sebagian untuk menampakkan kemewahan. Tradisi hedonis ternyata belum hilang.
Ketika usaha berlangsung lancar, bank yang lain membuka kran yang sama. Muncul obsesi mengembangkan usaha.
“Andai manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, mereka akan mencari lembah emas yang kedua. Andai dia diberi dua lembah penuh emas, mereka akan mencari lembah ketiga. Dan tidak ada yang bisa memenuhi perut manusia, kecuali tanah.” [HR. Bukhari 6438 & Muslim 1462]
Qadarullah, masalah mulai berdatangan. Ternyata perkembangan usahanya tidak lebih cepat dibandingkan bunga yang diminta bank syariah. Di saat itulah mereka mulai bercerita:
“Saya sudah berkali-kali melayangkan surat keringanan ke bank syariah, tapi ternyata tidak dihiraukan.”
“Saya sedih. Saya mulai sadar kezaliman bank Syariah.”
“Dulu saya berfikir, kerja sama dengan bank syariah tidak akan seperti ini. Tapi ternyata bisa lebih parah dibandingkan konven.”
Mereka mulai melemparkan kritik, karena sebagai korban. Kita memaklumi jika ada kesan agak keras.
Bank apa pun tidak akan datang ketika kita sedang dalam posisi tersungkur. Bank hanya akan datang pada saat Anda dinilai di posisi naik. Jadi wajar, justru mereka yang berkarir baik yang banyak menjadi ‘klien utang’ bank.
Inilah yang disebut penyakit istibtha’. Obsesi untuk cepat kaya, cepat sukses, memerbesar usaha, padahal belum waktunya. Ditipu dengan dunia, untuk meraup dunia yang lebih buanyak lagi.
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya. Karena itu jangan kalian memiliki penyakit istibtha’ dalam masalah rezeki.” [HR. Baihaqi dalam Sunan al-Kubro 9640, disahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak 2070 dan disepakati Ad-Dzahabi]
Penyakit istibtha’, merasa rezeki terlambat, rezeki kurang melimpah, kurang banyak punya aset, adalah pemicu terbesar untuk berutang. Padahal sehebat apa pun usaha yang kita lakukan, tidak akan melampaui jatah rezeki kita.
Bagi Anda yang berkarir baik, penghasilan baik, perhatikan, dunia itu candu. Waspadai obsesi memerbesar kran penghasilan melalui tawaran utang.