Pengantar Tentang Kaidah Fiqih
Oleh : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Sebelum memasuki lebih lanjut tentang ilmu Kaidah Fiqih, perlu kita ketahui secara ringkas beberapa hal penting tentang ilmu ini [Baca pembahasan ini secara luas di dalam al-Mufashal fil Qawa’id Fiqhiyyah hlm. 36-152 karya Dr. Ya’qub ibn Abdul Wahhab Alba Husain dan al-Qawa’id al-Kulliyyah wa Dhawabith al-Fiqhiyyah hlm. 18-87 oleh Dr. Muhammad Utsman Syubair, al-Wajiz fi Idhahil Qawa’id Fiqh al-Kulliyyah: 13-110 oleh Dr. Muhammad Shidqi al-Burnu, Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami hlm. 1-12 oleh al-Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf].
Makna Kaidah Fiqih
Kaidah secara bahasa ‘Fondasi dan Dasar’, sedangkan fiqih secara bahasa berarti ‘Pemahaman’. Adapun secara istilah, artinya dasar-dasar syar’i yang mencakup luas cabang-cabang permasalahan fiqih untuk diketahui hukumnya.
Sumber Kaidah Fiqhiyyah
Setiap Kaidah Fiqih bersumber dari al-Qur’an, Hadis, Ijma’ Atau Qiyas atau Maqashid Syari’ah (Tujuan Pokok Syariat).
1. Kaidah Fiqih yang diambil dari nash al-Qur’an, misalnya firman Allah Ta’ala:
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil. (QS al-Baqarah [2]: 188)
Dan masih banyak lagi contohnya [Bacalah buku yang bagus Qawa’id Qur’aniyyah karya Dr. Umar ibn Abdillah al-Muqbil. Di dalamnya terdapat kaidah-kaidah penting di dalam al-Qur’an].
2. Kaidah yang diambil dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam misalnya adalah:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَا رَ
“Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
Dan masih banyak lagi contoh lainnya [Al-lmam an-Nawawi telah mengumpulkan beberapa kaidah penting yang diambil dari hadis dalam bukunya yang bermanfaat Arba’in Nawawiyyah yang judul aslinya adalah al-Arba’in fi Mabanil Islam wa Qawa’idil Ahkaam (40 Hadis Tentang Fondasi Islam dan Landasan Hukum), sebagaimana dalam Syarh al-Bukhari hlm. 117 karya an-Nawawi.
Lihat pula Qawaid Nabawiyyah karya Dr. Umar Ibn Abdillah al-Muqbil].
3. Kaidah yang diambil dari atsar ulama seperti:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا
“Setiap pinjaman yang membawa manfaat maka itu riba.” [Al-Mushannaf, Abdurrazzaq, 8/304].
4. Istinbath dan penelitian ulama:
لاَ اجْتِهَادْ فِي مَوْرِدِ النَّصِّ
“Tidak ada ijtihad jika sudah ada nash.”
Sejarah Perkembangan Kaidah Fiqih
Ilmu ini mengalami perkembangan dalam beberapa fase:
A. Fase Perkembangan
Ilmu ini dimulai dengan adanya beberapa ayat dan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang hisa dianggap sebagai sebuah kaidah yang mencakup banyak permasalahan fiqih, lalu dilanjutkan oleh para ulama di dalam kitab mereka. Kalau kita cermati perkataan al-lmam asy-Syafi’i di dalam beberapa kitabnya, akan kita dapati bahwa beliau mengungkapkan sebuah Kaidah Fiqhiyyah; misalnya:
الرُخُصُ لاَ يُتَعَدَّى بِهَا مَوَاضِعُهَا
“Sebuah keringanan syar’i itu tidak bisa melampaui tempat berlakunya.” (al-Umm 1/80)
B. Fase Penghimpunan Kaidah Fiqih
Kaidah Fiqhiyyah baru dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu yang tersendiri pada sekitar abad keempat Hijriyyah. Barangkali yang pertama kali dianggap mengumpulkan kaidah-Kaidah Fiqhiyyah di dalam kitab tersendiri adalah al-Imam Karkhi (wafat tahun 340 H) yang mana beliau memiliki sebuah risalah yang mengandung tiga puluh sembilan Kaidah Fiqhiyyah yang dikenal dengan “Ushul Karkhi”. Yang kemudian disyarah oleh Muhammad an-Nasafi (537 H).
Kemudian setelah itu para ulama berlomba untuk menulis dalam bidang ini sehingga banyak didapatkan kitab yang berhubungan dan membahas Kaidah Fiqhiyyah.
C. Fase Kemapanan Kaidah Fiqih
Pada abad ke-10 Hijriyyah, ilmu Kaidah Fiqih telah mapan dengan tersusun secara rapi. Di antara yang paling terkenal adalah kitab yang ditulis oleh al-Hafizh as-Suyuthi yang berjudul al-Asybah wa Nadha’ir. Kitab ini telah diringkas, disyarah, dibuat manzhumah, dan lain-lain sebagai bukti perhatian ulama kepadanya.
Demikianlah sampai sekarang ini, para ulama berlomba menulis Kaidah Fiqih dengan berbagai metode yang mudah dan praktis untuk memudahkan pemahamannya kepada umat.
Hukum Berhujjah Dengan Kaidah Fiqhiyyah
Apakah kaidah-kaidah Fiqili Mi boleh dijadikan sebagai sebuah hujjah?
Jawabnya: Masalah ini perlu diperinci:
Pertama: Jika kaidah itu terambil dari nash al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah atau didukung oleh keduanya, maka tidak diragukan lagi bahwa kaidah itu adalah hujjah, karena berhujjah dengan kaidah tersebut sama saja dengan berhujjah dengan nash yang menjadi sandaran utamanya.
Kedua: Adapun Kaidah Fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihad para ulama yang tidak berdasarkan dalil yang jelas, maka tidak bisa dijadikan dalil hanya saja dijadikan sebagai penopang dan pendukungnya [Al-Qawa’id al-Kulliyyah wa Dhawabith Fiqhiyyah, Dr. Utsman Syubair, hlm. 87].
Macam-Macamnya
Kaidah Fiqih kalau ditinjau dari luas dan sempitnya pembahasan dan permasalahan, terbagi menjadi tiga macam:
A. Kaidah-Kaidah Besar
Maksudnya adalah kaidah-kaidah yang mencakup hampir seluruh bab Fiqih Islam. Kaidah-kaidah ini adalah:
Kaidah ke-1
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Amal perbuatan itu tergantung niatnya.
Atau yang masyhur dengan istilah:
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
Semua perkara itu tergantung pada tujuannya.
Kaidah ke-2
اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan.
Kaidah ke-3
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
Kesulitan membawa kemudahan.
Kaidah ke-4
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَا رَ
Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan.
Kaidah ke-5
العَادَةُ مُـحَكَّمَةٌ
Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum [Kaidah ini bukanlah untuk menolerir adat yang bertentangan dengan syariat, seperti banyak dibawakan oleh para orang liberal. Penerapan kaidah ini adalah untuk hukum yang tidak dijelaskan syariat batasannya, contoh: Kadar nafkah wajib untuk istri, batasan berbuat kepada tamu dan tetangga, dan lainnya].
B. Kaidah-Kaidah Tidak Besar
Yaitu kaidah yang tidak masuk dalam kaidah besar di atas. Cakupannya juga luas, namun tidak seluas kaidah-kaidah besar. Contohnya kaidah:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْـمَحْذُوْرَاتِ
Kondisi darurat bisa membolehkan sesuatu yang terlarang.
C. Kaidah Dalam Satu Bab
Yaitu kaidah yang hanya memiliki kawasan permasalahan yang sempit; biasanya hanya berlaku untuk satu saja. Kaidah-kaidah ini yang disebut oleh para ulama dengan dhawabith (ضَوَابِطُ). Misalnya kaidah:
الأَصْلُ فِي الْـمَاءِ الطَّهَارَةُ
Asal hukum air itu suci.
Kaidah ini hanya pada permasalahan air saja dan tidak berlaku pada yang lainnya.
Manfaat Memelajarinya
Mengetahui manfaat memelajari suatu bidang ilmu sangat penting agar menjadi motivasi kita untuk semangat memelajarinya. Al-Futuhi berkata, “Hendaknya bagi orang yang memelajari suatu ilmu untuk memiliki gambaran tentangnya dan mengetahui tujuan dan buah yang akan dia petik bila memelajarinya.”[Mukhtasharat-Tahrir, hlm.8].
Dan memelajari kaidah-kaidah Fiqih sangat penting, sebab permasalahan di dalam fiqih banyak sekali, dan terus berkembang, sesuai dengan perkembangan zaman.
Banyak faidah yang bisa dipetik dari belajar dan mengetahui Kaidah Fiqhiyyah, di antaranya:
Dan ini akan sangat memudahkan seorang penuntut ilmu untuk mengetahui hukum-hukum fiqih tanpa harus menghafal setiap permasalahan satu per satu, karena masalah-masalah di dalam fiqih itu banyak sekali. Di dalam madzhab Hanafi saja, disebutkan masalah fiqihnya mencapai 500 ribu masalah [Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Ba Husain, hlm. 15].
“Bagaimana dengan madzhab lainnya? Dan bagaimana pula dengan perkembangan zaman sekarang?!!
Berkata al-Imam al-Qarrafi, “Barang siapa menguasai fiqih lewat penguasaan kaidah-kaidahnya, maka dia tidak butuh untuk menghafal semua permasalahannya satu per satu, karena sudah tercakup di dalam keumuman kaidah tersebut.” [Al-Furuq, al-Qarrati, 2/115].
Sebab, Islam ini agama yang sempurna. Akan tetapi, kesempurnaan Islam bukan dengan membahas satu per satu masalah, melainkan dengan memberikan kaidah-kaidah indah Tinggal kita mau memelajarinya ataukah tidak.
Alangkah bagusnya ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah:
فَلَيْسَتْ تَنْزِلُ فِي أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ دِيْنِ اللهِ نَازِلَةٌ إِلَّا وَفِي كِتَابِ اللهِ الدَّلِيْلُ عَلَى سَبِيْلِ الْـهُدَى فِيْهَا
“Tidak ada satu pun masalah baru yang menimpa seorang yang memiliki pengetahuan agama kecuali di dalam al-Qur’an telah ada jawaban dan petunjuknya.”
Dengan memelajari Kaidah Fiqih, kita akan semakin bangga dan yakin dengan agama Islam yang relevan untuk setiap zaman dan tempat, dan mampu menjawab berbagai permasalahan dan tantangan zaman. Inilah yang diisyaratkan al-Qarrafi tatkala berkata: “Kaidah-kaidah yang mulia dan agung sekali, mengandung rahasia-rahasia syariat dan hikmah-hikmahnya [Al-Furuq, al-Qarrafi, ½].”
Ibnu Asyur berkata, “Kaidah Fiqih diambil dari berbagai masalah cabang fiqih yang banyak dengan mengetahui hubungannya terhadap tujuan pokok syariat dan keindahan syariat.” [Maqashidu Syari’ah hlm. 6].
Lihatlah para ulama yang mantap ilmunya, rata-rata mereka memiliki pengetahuan kaidah-kaidah yang sangat matang, seperti Syaikhul slam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim yang banyak perhatian tentang masalah kaidah-kaidah. Oleh karena itu, termasuk kesalahan di dalam menuntut ilmu adalah jika hanya menyibukkan dengan perkara-perkara cabang
masalah fiqih, namun tidak memelajari kaidah-kaidahnya. Contoh, dia menyibukkan dengan perincian bab air hingga sedetail-detailnya, tetapi ternyata dia berada di samudra luas tanpa kaidah, sehingga dia berenang tanpa mengetahui jurus renang dan akhirnya dia pun tenggelam. Al-Qarrafi berkata, “Barang siapa memelajari cabang masalah tanpa kaidahnya, maka dia akan plinplan, goncang, dan tidak mapan.” [Al-Furuq, al-Qarrafi, 1/3].
Semoga yang sedikit ini menjadi pengantar kita untuk lebih memahami ilmu Kaidah Fiqih hingga lebih mapan lagi.
Sumber: Majalah al-Furqon Gresik, No. 161, Ed.2 Th. Ke-15_1436H
Pada Artikel Pengantar Ilmu Kaidah Fiqih yang mana Penulis juga menyertakan biografi Syaikh as-Sa’di dan Mengenal Manzhumah Qawaid Fiqhiyyah
Download > 900 eBook dari www.ibnumajjah.wordpress.com
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…