“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang, kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. [QS. At-Taghabun: 11]
Siapa yang dimaksud dengan “Orang yang beriman” dalam ayat ini?
Ulama tabi’in, Alqomah bin Qois Al-Kufiy rahimahullah berkata saat menjawab pertanyaan seperti ini:
“Dia adalah seorang yang ditimpa musibah, lalu menyadari bahwa musibah itu dari sisi Allah, sehingga ia pun menerimanya (dengan lapang dada) dan rida”. [HR. Ath-Thobariy dalam Jami’ Al-Bayan (23/421), Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (no. 9976), dan Al-Qodhi Abu Ishaq Al-Malikiy dalam Ahkam Al-Qur’an (hal. 223) dengan sanad yang Shahih]
Ketika tertimpa musibah kematian misalnya, maka seorang Mukmin tidaklah menampakkan keluh kesah dan sikap protesnya di hadapan Allah, akibat musibah yang menimpa orang yang ia cintai.
Sikap protes dan keluh kesah semacam ini seakan ia adalah bentuk pengingkaran atas Allah ﷻ.
“Dua perkara yang ada di kalangan manusia, keduanya merupakan pengingkaran, yaitu mencerca nasab dan meratapi mayat”. [HR. Muslim dalam Kitabul Iman (no. 67)]
Meratapi mayat di hari berkabung bukanlah kebiasaan kaum beriman, bahkan merupakan kebiasaan kaum jahiliah.
Kaum beriman hanyalah bersedih di hari seperti itu, dengan linangan air mata dan iringan doa serta harapan semoga si mayat mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah. Dan ada pengganti yang baik baginya di dunia, berupa keluarga dan keturunan yang saleh, senantiasa mendoakan kebaikan dan ampunan baginya.
Adapun sikap meronta-ronta, merobek baju, memukul anggota badan serta meraung-raung, sambil mengenang jasa baik si mayat, maka semua ini kebiasaan buruk kaum jahiliah.
Itulah sebabnya Nabi ﷺ mengingkari hal itu dalam sabdanya:
“Bukan dari golongan kami, orang yang memukul wajahnya, merobek kerah bajunya dan menyeru dengan seruan jahiliah”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1297), dan Muslim dalam Shohih-nya (103)]
“يعني قال عند البكاء ما لا يجوز شرعا مما يقول به أهل الجاهلية.” اهـ من تحفة الأحوذي – (4 / 69)
“Maksudnya, ia mengucapkan di saat menangis, sesuatu yang tak boleh dalam syariat berupa perkara yang biasa diucapkan oleh kaum jahiliah”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy *(4/69), cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah]
Itulah musibah kematian, seorang harus bersabar menghadapinya.
Demikian pula musibah kehilangan harta benda. Atau Allah menurunkan musibah atas dirinya berupa penyakit, kecelakaan, kebakaran rumah, bagkrutnya usaha dan lainnya.
Sebagian orang saat mendapat musibah-musibah seperti ini ia berburuk sangka kepada Allah ﷻ.
Ia mengira bahwa dengan musibah itu berarti Allah tak menyayanginya.
Sebaliknya ia menyangka bila ia bersenang-senang dengan berbagai macam kenikmatan duniawi yang ia gunakan bermaksiat.
Dia dibiarkan sehat dan bebas dalam kehidupan ini, tanpa ada bencana dan musibah yang menimpa dirinya.
Akhirnya ia pun menyangka bahwa dirinya dicintai oleh Allah.
Padahal ia adalah munusia yang buruk, ditunda balasan buruknya di Akhirat, bukan di dunia.
“Bila Allah menginginkan kebaikan pada diri hamba-Nya, maka Allah menyegerakan musibah baginya di dunia. Jika Allah menginginkan keburukan pada diri hamba-Nya, maka Allah menangguhkannya karena dosanya, sampai ia membawa dosanya pada Hari Kiamat”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (no. 2396). Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1220)]
Bila seseorang Mukmin yang berusaha taat kepada Allah, lalu ia diberi ujian berupa bala, maka semua itu adalah tanda, bahwa ia adalah orang yang dicintai oleh Tuhan-nya, bukan dibenci!! Sebab seorang Mukmin bila ia bersabar dan rida terhadap takdir Allah berupa bala yang menimpa dirinya, maka ia akan mendapatkan balasan yang besar, insya Allah.
“Sesungguhnya besarnya balasan seiring dengan besarnya bala. Sesungguhnya Allah bila mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberinya bala. Karenanya, barang siapa yang rida, maka ia akan mendapatkan keridaan. Dan barang siapa yang murka, maka ia akan mendapatkan kemurkaan”. [HR. At-Tirmidziy (2396) dan Ibnu Majah (4031). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 146)]
Syaikh Muhammad Nashir Al-Arna’uth rahimahullah berkata:
و هذا الحديث يدل على أمر زائد على ما سبق و هو أن البلاء إنما يكون خيرا ، و أن صاحبه يكون محبوبا عند الله تعالى ، إذا صبر على بلاء الله تعالى ، و رضي بقضاء الله عز و جل .” اهـ من سلسلة الأحاديث الصحيحة – (1 / 145)
“Hadis ini menunjukkan tentang suatu perkara tambahan atas penjelasan telah lewat, yaitu bahwa bala akan menjadi kebaikan, dan bahwa pelakunya dicintai di sisi Allah Ta’ala, bila ia bersabar atas bala yang Allah turunkan, serta rida terhadap ketentuan Allah ﷻ”. [Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/145)]
Semua musibah akan terasa ringan bagi seorang Mukmin, bila ia menyadari bahwa semua itu adalah takdir dan ketentuan Allah, Sang Maha Pencipta alam semesta.
Dari situ ia bersabar dan rida terhadap segala bala dan musibah yang ia rasakan. Inilah penawar musibah.
Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah berkata:
فإن العبد متى علم أن المصيبة بإذن الله ، وأن الله أتم الحكمة في تقديرها ، وله النعمة السابغة في تقديرها على العبد رضي بقضاء الله وسلم لأمره وصبر على المكاره ، تقربا إلى الله ، ورجاء لثوابه ، وخوفا من عقابه ، واغتناما لأفضل الأخلاق ، فاطمأن قلبه وقوي إيمانه وتوحيده .” اهـ من القول السديد شرح كتاب التوحيد – (ص / 128)
“Sesungguhnya seorang hamba kapan saja ia tahu bahwa musibah berdasarkan izin Allah, dan bahwa Allah telah menyempurnakan hikmah-Nya dalam menakdirkan musibah, sedang Dia memiliki nikmat yang sempurna saat menakdirkannya atas hamba-Nya, maka seorang hamba akan rida terhadap ketentuan Allah dan menerima ketetapan-Nya, serta bersabar atas hal-hal yang dibenci, demi mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap hukuman-Nya dan menggunakan akhlak terbaik (yakni, bersabar). Akhirnya, hatinya akan tenang, iman dan tauhidnya semakin kuat”. [Lihat Al-Qoul As-Sadid (hal. 128)]
Itulah penawar musibah yang mampu menjadikan musibah sebagai kebaikan yang membentuk diri kaum beriman sebagai manusia terbaik di sisi Allah.
Itulah sebabnya para nabi menjadi manusia terbaik, sebab mereka banyak mendapatkan musibah dan tantangan saat mereka berdakwah di jalan Allah. Tapi beratnya rintangan, ditepis dengan kesabaran.
“Sesungguhnya di antara manusia yang paling keras balanya adalah para nabi, lalu orang-orang setelahnya, lalu orang-orang setelahnya, lalu orang-orang setelahnya”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (6/369). Syu’aib Al-Arna’uth menyatakan hadits ini shohih dalam Takhrijul Musnad (no. 27079)]
Semoga Allah ﷻ menjadikan kita orang-orang yang berbalut kesabaran dan keridaan atas segala ketentuan-Nya.
Penulis: Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. hafizhahullah