Di Antara Perkara yang Membatalkan Wudhu
Oleh: Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Pembatal-Pembatal Wudhu adalah:
Baik air seni, kotoran (tinja), atau angina, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ
“… atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus)…” [Al-Maa-idah: 6].
Al-Ghaa-ith Yaitu kiasan dari buang hajat.
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.
“Allah tidak menerima sholat salah seorang di antara kalian jika ia berhadats hingga dia berwudhu”
Seorang laki-laki dari Hadhramaut berkata, “Apakah hadats itu, wahai Abu Hurairah?” Dia menjawab, “Kentut, baik yang bersuara ataupun tidak.” [Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/234 no. 135)], al-Baihaqi (I/117), Ahmad (al-Fat-hur Rabbanii) (II/75 no. 352), lafazh hadis pada perawi lain tanpa tambahan, Shahiih Muslim (I/204 no. 225), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/87 no. 60), dan Sunan at-Tirmidzi (I/150 no. 76)].
Keluarnya madzi dan mani juga membatalkan wudhu:
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma,, dia berkata, “Mani, wadi, dan madzi. Adapun mani, maka ia mewajibkan mandi. Sedangkan wadi dan madzi, beliau berkata:
ِاغْسِلْ ذََكََرَكَ أَوْ مُذَاكِيْرَكَ وَ تَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ.
‘Basuhlah alat kelamin atau kemaluanmu dan berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk sholat’.”
Yaitu, tidur yang menghilangkan kesadaran. Baik dalam keadaan duduk di atas lantai ataupun tidak.
Dasarnya adalah hadis Shafwan bin ‘Assal Radhiyallahu anhu. Dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami jika kami dalam keadaan safar agar tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam. Kecuali dalam keadaan junub. Bahkan ketika buang hajat, kencing, dan tidur.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan antara tidur, kencing, dan buang hajat [Hasan: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 123)], Sunan at-Tirmidzi (I/65 no. 69), dan Sunan an-Nasa-i (I/84)].
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ.
“Mata adalah wikaa’nya sah. Barang siapa tertidur hendaklah berwudhu” [Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 386)], Sunan Ibni Majah (I/161 no. 477), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/347 no. 200) dengan lafazh serupa].
Al-Wikaa,’ dengan wawu dikasrah, yaitu benang pengikat tempat air minum dari kulit. As-Sah, dengan siin tidak bertitik yang difat-hah dan ha’ yang dikasrahkan serta tidak bertasydid, yaitu dubur. Artinya, keadaan jaga adalah wikaa’-nya dubur. Yaitu, menjaga apa yang di dalamnya agar tidak keluar. Karena selama dia terjaga, dia bisa merasakan apa yang keluar darinya [Nailuul Authaar (I/242)].
Karena hilangnya kesadaran oleh sebab-sebab ini lebih parah daripada tidur.
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.
“Barang siapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudhu ” [Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 388)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/307 no. 179), Sunan Ibni Majah (I/161 no. 479), Sunan an-Nasa-i (I/100), dan Sunan at-Tirmidzi (I/55 no. 82), dengan tambahan: “فَلاَ يُصَلِّ (maka janganlah ia sholat…)]
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هَلْ هُوَ إِلاَّ بِضْعَةٌ مِنْكَ.
“Ia tidak lebih dari salah satu anggota tubuhmu.” [Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 392)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/312 no. 180), Sunan Ibni Majah (I/163 no. 483), Sunan an-Nasa-i (I/101), dan Sunan at-Tirmidzi (I/56 no. 85)].
Ia adalah salah satu bagian tubuh kita jika TIDAK DISERTAI SYAHWAT saat menyentuhnya. Karena dalam keadaan ini dapat disamakan antara menyentuhkan satu bagian tubuh dengan bagian tubuh yang lain. Lain halnya jika menyentuhnya disertai syahwat, maka dalam keadaan seperti itu tidak diserupakan antara menyentuh satu bagian tubuh dengan menyentuh bagian tubuh lain yang biasanya tidak disertai dengan syahwat. Ini adalah perkara yang jelas, sebagaimana kita lihat [Tamaamul Minnah (103)].
Berdasarkan hadis al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَوَضَّؤُوْا مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ، وَلاَ تَوَضَّؤُوْا مِنْ لُحُوْمِ الْغَنَمِ.
“Berwudhulah karena (makan) daging unta. Dan janganlah berwudhu karena (makan) daging kambing” [Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 401)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/315 no. 182), Sunan at-Tirmidzi (I/54 no. 81), dan Sunan Ibni Majah (I/166 no. 494), secara ringkas].
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu, seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Haruskah aku berwudhu karena (makan) daging kambing?” Beliau menjawab, “Kalau kau suka berwudhulah. Jika tidak, maka janganlah berwudhu.” Dia berkata lagi: “Haruskah aku berwudhu karena (makan) daging unta?” Beliau menjawab: “Ya, berwudhulah karena (makan) daging unta.” [Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 146)] dan Shahiih Muslim (I/275 no. 360)].
http://almanhaj.or.id/content/725/slash/0/pembatal-pembatal-wudhu/
Catatan Tambahan:
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi [ihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’].
Madzi dan wadi najis. Sedangkan mani -menurut pendapat yang lebih kuat- termasuk dzat yang suci. Cara menyucikan pakaian yang terkena madzi dan wadi adalah dengan cara diperciki. Sedangkan mani cukup dengan dikerik.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…