1. Musibah yang menimpa sebagaimana yang menimpa para Nabi dan Rasul, misalnya dengan ditimpakan penyakit dan tidak diberikan keturunan, maksud musibah seperti ini adalah untuk meninggikan derajat, memperbesar pahala, dan sebagai qudwah (teladan) bagi yang lainnya untuk bersabar.
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata: “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau ﷺ menjawab: “Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi.” [HR. Tirmidzi no. 2398]
2. Musibah bisa jadi pula sebagai sebab dihapuskannya dosa, sebagaimana firman Allah taala:
“Barang siapa yang melakukan keburukan (baca: maksiat), maka dia akan mendapatkan balasan karena keburukan yang telah dilakukannya”[QS An Nisa: 123]
Nabi ﷺ bersabda: “Tidaklah menimpa seorang Mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang), kesusahan hati, atau sesuatu yang menyakiti, sampai pun duri yang menusuknya, melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.” [HR. Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573]
3. Musibah bisa jadi adalah hukuman yang disegerakan (baca: siksaan atau azab) di dunia disebabkan tumpukan maksiat dan tidak bersegera untuk bertobat.
Dari Anas bin Malik, Nabi ﷺ bersabda: “Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada Hari Kiamat kelak.” [HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani]
[Dikembangkan dari Fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz]
Ya Allah, jadikanlah kami hamba yang bersabar dalam menghadapi setiap musibah. Semoga mendapat pahala serta tergugurkannya dosa lewat musibah tersebut. Wallahu waliyyut taufiq.