MENINJAU DALIL-DALIL ANJURAN MEMBACA SURAT YASIN PADA MALAM NISFU SYAKBAN
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
MENINJAU DALIL-DALIL ANJURAN MEMBACA SURAT YASIN PADA MALAM NISFU SYAKBAN
Di malam Nisfu Syakban yuk ke masjid untuk membaca Surat Yasin, Asmaul Husna, dan zikir lainnya!
Oh iya lupa kalau malam ini malam Nisfu Syakban yah?
Memang baca Surat Yasin itu baik.
Menyebut Asma Allah itu pun baik.
Memuji Allah itu juga baik.
Lalu malam Nisfu Syakban.
Syakban itu bulan “qabliyah” sebelum Ramadan.
Syakban itu bulan kita diingatkan untuk tidak lalai ibadah.
Malam Nisfu Syakban dikatakan dalam hadis adalah malam yang mulia.
“Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nisfu Syakban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”
Namun sebagian ulama menganggap hadis ini Dhaif (Lemah).
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan:
“Hadis yang menjelaskan keutamaan malam Nisfu Syakban ada beberapa. Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama mendhaifkan hadis-hadis tersebut. Ibnu Hibban mensahihkan sebagian hadis tersebut, dan beliau masukkan dalam kitab sahihnya.” [Lathaif Al-Ma’arif, hal. 245]
Taruhlah malam Nisfu Syakban itu malam yang mulia.
Mau beramal di malam Nisfu Syakban tentu harus memakai tuntunan.
Kita punya nabi bukan?
Nabi itu jadi panutan dan tuntunan.
Setuju kan?
Malam Nisfu Syakban sebenarnya sama dengan malam lainnya.
Masa sih?
‘Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nisfu Syakban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya:
“Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nisfu Syakban?! Perlu engkau tahu, bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nisfu Syakban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Kalau kita biasa Salat Tahajud di luar Nisfu Syakban, nilainya tetap sama dengan Salat Tahajud di malam Nisfu Syakban.
Terus baca Yasinnya nanti malam bagaimana?
Kalau Nabi ﷺ, Abu Bakr, Umar, Usman dan ‘Ali mengamalkan Surat Yasin di malam Nisfu Syakban, pasti kita akan tahu hadisnya.
Paham kan kita punya panutan?
Orang yang cerdas pasti bisa memikirkan, bahwa ia tak boleh melangkahi nabinya dalam beramal. Allah ﷻ berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Hujurat: 1]
Ini kita bicara agama, bukan bicara dunia.
Perihal dunia, silakan berinovasi.
Namun untuk masalah ibadah, jadikanlah Nabi ﷺ sebagai panutan.
Semoga Allah memberi hidayah dan taufik kepada kita semua untuk menggapai rida Allah.
HADIS MAUDHU (PALSU) KEUTAMAAN MEMBACA SURAT YASIN DI MALAM NISFU SYAKBAN)
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Darwisy bin Muhammad Al-Hut (Wafat. 1276. H), beliau berkata:
“Dan adapun membaca Surat Yasin pada malamnya (Nisfu Syakban) setelah Maghrib dan (membaca) doa yang telah Masyhur, maka itu berasal dari tertib (yang dibuat) sebagian orang saleh dari dirinya sendiri. Qiila (ada yang mengatakan) beliau adalah Al-Buny, dan tidak ada kejelekan dengan yang seperti demikian.” [Asnal-Mathalib Fii Ahadis Mukhtalifatil-Maratib 3/343]
Ahmad bin Umar Ad-Dairabiy Abul ‘Abbas berkata:
“Dan di antara keistimewaannya (Surat Yasin) seperti yang telah disebutkan oleh sebagian mereka, engkau membacanya pada malam pertengahan bulan Syakban tiga kali. Pertama dengan niat panjang usia, kedua (dengan niat) mengangkat bencana, ketiga dengan niat agar tercukupi dari (bergantung) kepada manusia. Kemudian engkau berdoa dengan doa ini sepuluh kali. Yang diinginkan akan tercapai Insyallah.” [Fathul Majid Linaf’il ‘Abiid, atau yang lebih populer dengan sebutan Al-Mujarrabat]
Dua nukilan di atas dijadikan dalil oleh mereka yang mengamalkan membaca Surat Yasin di malam Nisfu Syakban. Namun amalan tersebut tidak disebutkan dalam satu hadis pun keutamaan tertentu membaca Surat Yasin pada malam Nisfu Syakban.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
“Dan (kegiatan pengagungan malam Nisfu Syakban) telah diingkari kebanyakan Ulama Hijaz, di antaranya ‘Atha, dan Ibnu Abi Mulaikah. Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam telah menukilnya dari para Ahli Fikih negeri Madinah, dan dia adalah pendapat Ash-hab (murid-murid) Imam Malik dan yang lainnya, dan mereka berkata: “Itu semuanya bidah.” [Latah’iful Ma’arif 1/151]
Maka amalan ini lebih layak untuk disebut bidah, karena tidak didasari oleh dalil dan tuntunan.