“Dengan menyebut Nama Allah, (debu) tanah bumi ini, dengan air ludah sebagian di antara kami, semoga dapat menyembuhkan penyakit di antara kami, dengan seizin Robb kami.” [HR. Bukhari]
Penjelasan Para Ulama
Penjelasan para ulama menunjukkan bahwa hadis tersebut adalah makna zahirnya. Bukan takwil atau atau tidak percaya dengan berkata: “masa’ sih tanah dan air ludah yang kotor jadi obat luka. Mungkin ada takwil yang lain”.
Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullah menukil perkataan Imam An-Nawawi rahimahullah:
معنى الحديث أنه أخذ من ريق نفسه على إصبعه السبابة ثم وضعها على التراب فعلق به شيء منه ثم مسح به الموضع العليل أو الجريح قائلاً الكلام المذكور في حالة المسح
“Makna hadis bahwa beliau ﷺ mengambil air ludah dengan jari telunjuknya kemudian meletakkan (menempelkannya) ke tanah, maka akan ada tanah yang menempel, kemudian mengusap tempat yang sakit atau luka sambil mengucapkan doa ketika mengucapkannya.” [Fathul Baari 10/208, Darul ma’rifah, Beirut, 1379 H, Syamilah]
Begitu juga penjelasan dari Al-Lajnah Ad-Daimah (semacam MUI di Saudi):
هذا الحديث على ظاهره، وهو أن يعمد الراقي إلى بلِّ أصبعه بريق نفسه، ثم يمس بها التراب ، ثم يمسح بأصبعه على محل الوجع قائلاً هذا الدعاء
“Hadis ini bermakna zahir, yaitu peruqyah (yang mengobati) membasahi jarinya dengan air liur, kemudian mengusap jari tersebut ke tempat yang sakit sambil mengucapkan doa tersebut.” [Fatwa Al-Lajnah no. 19304]
Tentu saja tanah yang dimaksud adalah tanah yang alami, murni, yang bersih, bukan buatan, atau sudah ada kontaminasi seperti tanah debu di lantai atau keramik.
Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah menjelaskan:
ولا يكفي البلاط ولا الفراش، ولا السرير ولا غير ذلك مما ليس بتُراب يَعْلَقُ باليد. والله أعلم
“Tidak boleh dengan debu tanah lantai, tikar, atau kasur, karena bukanlah tanah yang bisa ditempelkan jari.” [Sumber: http://ibn-jebreen.com/fatwa/vmasal-2671-2953.html]
Kemudian dijelaskan juga, bahwa maksud tanah di sini adalah tanah secara umum di mana saja, bukan tanah khusus di Kota Madinah saja.
وأكثر العلماء على أن هذه الصفة عامة لكل راقٍ ولكل أرض. وذهب بعضهم إلى أن ذلك مخصوص برسول الله وبأرض المدينة . والصحيح هو الأول لعدم المخصص
“Mayoritas Ulama berpendapat, bahwa air liur di sini bagi siapa saja, dan debu tanah di mana saja. Sebagian berpendapat hal tersebut khusus bagi tanah Madinah saja. Akan tetapi yang shahih pendapat pertama, yaitu tidak ada kekhususan.” [Fatwa Al-Lajnah no. 19304]