“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu.” [QS. An Nisa’ [4]: 59]
Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafal ‘Taatilah’, karena ketaatan kepada pemimpin merupakan IKUTAN (TAABI’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka TIDAK ADA LAGI KEWAJIBAN dengar dan taat.
Makna zahir (tekstual) dari hadis ini adalah kita wajib mendengar dan taat kepada pemimpin, WALAUPUN MEREKA BERMAKSIAT KEPADA ALLAH, dan TIDAK MENYURUH KITA UNTUK BERBUAT MAKSIAT KEPADA ALLAH. Karena terdapat hadis Nabi ﷺ dari Hudzaifah bin Al Yaman, beliau ﷺ bersabda:
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Beliau ﷺ bersabda: ”DENGARLAH DAN TAAT KEPADA PEMIMPINMU, WALAUPUN MEREKA MENYIKSA PUNGGUNGMU DAN MENGAMBIL HARTAMU. Tetaplah mendengar dan taat kepada mereka.” [HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan hadis ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah Syamilah]
Padahal menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syariat, tanpa ragu lagi, termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut: “Saya tidak akan taat kepadamu sampai engkau menaati Rabbmu.” Perkataan semacam ini adalah suatu yang TERLARANG. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin), WALAUPUN MEREKA DURHAKA KEPADA RABBNYA.
Adapun jika mereka MEMERINTAHKAN kita untuk BERMAKSIAT kepada Allah, maka kita DILARANG untuk mendengar dan menaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita , dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah ta’ala. Oleh karena itu wajib taat kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada maksiat, maka TIDAK ADA KEWAJIBAN MENDENGAR dan TAAT.
“Seorang Muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci, selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” [HR. Bukhari no. 7144]
[Pembahasan ini kami sarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Arba’in An NAwawiyah, hal. 279, Daruts Tsaroya]