1. Pakaian yang menjadi lambang dan syiar umat Islam seperti jubah, gamis, serban, sarung, sarawil, jilbab, dan semisalnya. Umat Islam dianjurkan memakai dan memasyarakatkannya, di samping menunjukkan jati diri individunya, juga sebagai upaya islamisasi pakaian di tengah umat.
2. Pakaian yang menjadi lambang dan syiar orang kafir atau biasa mereka pakai dan memungkinkan umat Islam menyelisihinya, seperti seragam pendeta, biarawati, biksu, dan pakaian kebesaran lain dari umat non-Islam. Demikian pula jeans, pantalon, dan pakaian semisalnya yang menjadi ikon kebebasan orang kafir. Umat Islam diharamkan tasyabuh dengan mereka dalam hal ini dan diperintahkan menyelisihi mereka.
3. Pakaian yang bersifat umum yang dipakai oleh semua pihak dan tidak ada unsur pelanggaran syariat, seperti kemeja, kaus dalam, dan semisalnya. Umat Islam diperbolehkan memakainya karena hukum asalnya adalah boleh. Namun mereka dianjurkan membedakan diri dengan orang kafir dengan tambahan pakaian Islam. Misalnya, kemeja dipadukan dengan sarung plus songkok, peci, atau serban.
Pakaian yang marak dipergunakan di zaman sekarang adalah pantalon. Apabila pantalon tersebut ketat dan sempit sehingga membentuk lekuk tubuh, hukumnya haram, sama seperti jeans, karena tasyabuh dengan orang kafir dan membentuk aurat.
Al-‘Allamah Samahatul Mufti Abdul Aziz bin Abdillah ibnu Baz rahimahullah menjelaskan:
“Kami menasihatkan agar pantalon tidak dipakai karena termasuk pakaian orang kafir….” [Majmu’ Fatawa wa Maqoolat Mutanawwi’ah 9/43, lihat al-Mausu’ah al-Baziah fil Masail an-Nisa’iyah 3/1543 tartib al-‘Umran cet. Daar Ibnu Katsir KSA, 2010 M/1431 H]
Dalam kaset no. 6 dari Silsilah Huda wan Nuur, asy-Syaikh al-Albani ditanya tentang hukum memakai pantalon, beliau menjawab:
“Saya tidak mengatakan haram. Akan tetapi saya katakan ‘makruh’ (dengan makna) haram, untuk memerhatikan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebab masalah ini dibangun di atas dalil yang mengharamkan bab tasyabuh. Di sisi lain dibangun di atas kenyataan, bahwa pantalon membentuk aurat.” [Lihat al-Fatwa fii Zinati binti Hawa hlm. 71]
Namun, apabila pantalon tersebut lapang dan lebar hingga tidak membentuk lekuk tubuh, biasa dikenal dengan sarawil atau sirwal, hukumnya diperbolehkan. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ
“Siapa yang tidak mendapati sarung, silakan dia memakai sarawil.” [HR. al- Bukhari no. 1841 dan 5804]
Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah mengirim surat kepada salah seorang panglima perang Islam di Adzar Bailam bernama ‘Utbah bin Farqad. Di antara isi suratnya:
“Janganlah kalian bermewah-mewah dan waspadailah model pakaian orang musyrik.” [Shahih Muslim no. 2069/12]
Dalam riwayat al-Isma’ili (al-Fath 11/465) dan Abu ‘Awanah al-Isfirayini (Syarah Muslim 14/41) dengan sanad yang Shahih, kata an-Nawawi rahimahullah disebutkan dengan lafal:
وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ وَزِيَّ الْأَعَاجِم
“Janganlah kalian bermewah-wewah dan waspadailah model pakaian orang ‘ajam (Persia dan Romawi).”