LARANGAN GHULUW DAN BERLEBIH-LEBIHAN DALAM MEMUJI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
LARANGAN GHULUW DAN BERLEBIH-LEBIHAN DALAM MEMUJI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Ghuluw dalam Pandangan Agama
Sikap berlebih-lebihan (ghuluw) merupakan perbuatan yang dibenci agama. Sikap ghuluw merupakan salah satu ciri agama jahiliah dan merupakan asas kesesatan orang-orang Nasrani.
Ghuluw secara bahasa artinya melampaui batas. Sedangkan menurut syariat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (Iqtidha ash-Shirathil Mustaqim, 1/289) mendefinisikannya: “Melampaui batas dalam memuji dan mencerca, dengan cara menambahkan apa yang tidak sepantasnya.”
DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, secara syariat ghuluw berarti berlebihan dalam mengangkat seseorang lebih dari kedudukan yang sepantasnya, seperti mengangkat seorang nabi atau orang-orang saleh ke martabat Rububiyyah dan Uluhiyyah (ketuhanan). [Syarah Masail al-Jahiliah, hlm. 85]
Ghuluw dengan makna di atas telah dijelaskan oleh Allah ﷻ pada dua tempat:
“Wahai sekalian Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengucapkan atas nama Allah melainkan yang benar.” [QS. an-Nisa’: 171]
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu.” [QS. al-Maidah: 77]
Ghuluw adalah sikap melampaui batas/berlebih-berlebihan terhadap orang (yang dianggap) saleh dalam agama. Sikap ghuluw adalah sikap yang TERCELA dan DILARANG oleh syariat. Sikap ini tidak akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya, juga tidak akan membuahkan hasil yang baik dalam segala urusan. Terlebih lagi dalam urusan agama.
“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029), Ibnu Khu-zaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah]
Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang saleh atau yang dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdoa kepadanya, padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.
Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi ﷺ adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau ﷺ, tawassul dengan beliau ﷺ, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau ﷺ, bersumpah dengan nama beliau ﷺ, sebagai bentuk Ubudiyyah kepada selain Allah ﷻ. Perbuatan ini adalah syirik.
Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi ﷺ adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal tersebut melalui sabda beliau ﷺ:
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji Isa putra Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya. Maka katakanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).’” [HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhtasharusy Syamaa-il al-Mu-hammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu]
Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissallam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.” [‘Aqiidatut Tauhiid (hal 151)]
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata: “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah ﷺ, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa) kami!” Spontan Nabi ﷺ menjawab:
اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.
“Sayyid (penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata: “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Serta merta beliau ﷺ mengatakan:
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian. Dan janganlah sampai kalian terseret oleh setan.” [HR. Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no 211/ Shahiihul Adabil Mufrad no 155), an-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawi-nya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).” (Fat-hul Baari V/179)]
Beliau ﷺ membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti:
“Engkau adalah sayyidku,
Engkau adalah orang yang terbaik di antara kami,
Engkau adalah orang yang paling utama di antara kami,
Engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.”
Padahal sesungguhnya Nabi ﷺ adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau ﷺ melarang mereka, agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau ﷺ, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya Nabi ﷺ mengarahkan mereka agar menyifati beliau ﷺ dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba, yang di dalamnya tidak ada ghuluw, serta tidak membahayakan akidah. Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).