بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
KRITIK ILMIAH ATAS PEMIKIRAN DR. QURAISH SHIHAB ( BAGIAN PERTAMA)
Muqaddimah
Beberapa bulan lalu, publik dihebohkan oleh ucapan kontroversial seorang yang – konon katanya -adalah pakar tafsir Indonesia, yang menyatakan, bahwa TIDAK ADA JAMINAN SURGA BAGI NABI MUHAMMAD. Kontan saja, komentar tersebut mencuatkan tanggapan pro dan kontra yang ramai di media, sampai-sampai menteri agama yang baru saja ditunjuk ikut angkat berbicara. Dan klarifikasi juga langsung dilakukan oleh sang pelontar untuk mendinginkan suasana.
Membaca kasus ini, memori saya langsung teringat dengan proyek dan keinginan dalam hati saya sejak dahulu yang belum terealisasikan, untuk menulis tulisan yang menguak beberapa PEMIKIRAN BERBAHAYA yang dilontarkan oleh Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam karya-karyanya, sebagai bentuk nasihat yang tulus untuk saudara-saudara kami, agar TIDAK terjerembab dalam kubangan pemikirannya yang MENYIMPANG, karena silau dengan popularitas nama dan kebesaran gelar yang disandangnya.
Aduhai, kalau kita semua diam tidak menjelaskan masalah ini, lantas kapan orang jahil dapat mengerti?! Muhammad ibn Bundar pernah berkata kepada al-Imam Ahmad: “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya saya merasa berat hati untuk mengatakan ‘si Fulan pendusta!!’.” Ahmad menjawab: “Seandainya kamu diam dan saya juga diam, lantas kapan orang yang jahil mengetahui, mana yang benar dan mana yang salah?!!” [1]
Maka dengan bertawakkal kepada Allah, kami akan menyorot beberapa pemikirannya yang BERBAHAYA berikut BANTAHANNYA secara ILMIAH. Semoga hal ini dipahami sebagai bentuk nasihat, dan bukan sebagai celaan dan hinaan.
Hakikat “Ulama”
Selama ini, banyak orang yang mengklaim dan menganggap Dr. Quraish Shihab sebagai cendekiawan, intelektual, pakar tafsir Alquran, dan sebagainya, hanya melihat kepada gelar yang disandangnya begitu mentereng, aktif menulis karya tulis hingga puluhan karya, sering nongol mengisi acara di TV, apalagi melihat kepada jabatan yang pernah diembannya, seperti pernah menjadi rektor IAIN, mantan ketua MUI, mantan menteri agama—sekalipun hanya sekitar lima puluh hari.
Ini adalah pandangan yang SALAH tentang hakikat ulama. Karena tidak setiap yang pandai bicara dan berpidato di atas mimbar, berarti dia adalah ulama. Dan tidak setiap orang yang pandai menulis kitab berarti ulama, karena ulama sejati memiliki sifat-sifat yang jarang ada pada tokoh-tokoh agama sekarang ini, terutama memiliki akidah yang lurus sesuai dengan Alquran dan hadis, serta pemahaman Salaf Shalih.
Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali pernah mengatakan: “Sangat disayangkan, banyak orang bodoh pada zaman sekarang menyangka, bahwa setiap orang yang pandai bicara, berarti dia lebih alim daripada ulama sebelumnya. Bahkan ada di antara mereka yang menganggap pada seseorang, bahwa dia lebih alim daripada para sahabat Nabi, karena penjelasannya yang banyak, dan pintarnya dalam berdebat.”
Beliau melanjutkan: “Banyak orang sekarang yang TERTIPU dalam masalah ini, sehingga mereka mengira, bahwa setiap orang yang banyak omongnya dan debatnya dalam masalah-masalah agama, berarti dia lebih pandai daripada yang tidak demikian. Padahal harus diyakini, bahwa tidak setiap orang yang lebih banyak omongnya dan debatnya, berarti dia lebih pandai.” [2]
Subhanallah, ini keluhan al-Imam Ibnu Rajab pada zamannya. Lantas bagaimana sekiranya dia jika beliau melihat pada zaman kita sekarang?!! Oleh karenanya, marilah kita tanamkan pada diri kita masing-masing untuk mencintai dan mengagungkan kebenaran yang bersumberkan Alquran dan as-Sunnah, dan TIDAK SILAU dengan ucapan seorang, hanya karena gelar dan popularitasnya semata. JADIKANLAH timbangan kebenaran dengan Alquran dan as-Sunnah untuk menilai seseorang. JANGAN menjadikan kebenaran berdasarkan ucapan seorang.
Susunan Bahasan
Pembahasan saya di sini hanya akan memaparkan beberapa contoh sebagian penyimpangan dan ketimpangan pemikiran Dr. Quraish Shihab, terutama dalam tiga poin:
Tiga poin ini akan memuat beberapa sub-bahasan. Metode kami, terlebih dahulu akan kami nukilkan ucapan Dr. Quraish Shihab beserta referensinya, kemudian kami akan berusaha melakukan sanggahan dan kritikan ilmiah berdasarkan Alquran dan as-Sunnah, sesuai dengan pemahaman ulama Salaful Ummah.
Kerusakan Pemikiran Quraish Shihab
Akidah
Dalam masalah akidah, Dr. Quraish Shihab terjatuh dalam PENYIMPANGAN dan PEMIKIRAN yang SESAT, baik pemikiran Jahmiyyah, Mu’tazilah, Ahli Kalam (filsafat), Asya’irah, Tasawuf yang parah, dan Liberalisme. Hal itu dapat diketahui oleh setiap orang yang membaca buku-bukunya. Berikut ini beberapa contohnya:
Di antara contoh bahwa dia berpemikiran Jahmiyyah dan Mu’tazilah adalah pahamnya yang menyatakan, bahwa ALLAH ADA DI MANA-MANA.
Dr. Quraish Shihab mengatakan:
Kalau kita merenung dan berfikir secara tulus dan benar, pasti kita akan menyadari, bahwa Allah hadir di mana-mana. Kita dapat menemukannya setiap saat dan di semua tempat [3].
Jawaban:
Paham ini jelas BERTENTANGAN dengan Alquran dan as-Sunnah, karena merupakan paham Jahmiyyah yang telah dibantah oleh para ulama kita [4].
Sungguh tidak syak (ragu) lagi bagi orang yang mau mengaji ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi ﷺ serta kitab-kitab ulama, dan bersih dari virus Ahli Kalam dan filsafat, bahwa ALLAH BERADA DI ATAS ‘ARSY-NYA. Berikut ini dalil-dalilnya [5].
Banyak sekali dalil Alquran yang menunjukkan ketinggian Allah dengan beberapa versi, sampai-sampai sebagian penganut senior madzhab Syafi’i mengatakan: “Dalam Alquran terdapat seribu dalil atau lebih yang menunjukkan, bahwa Allah tinggi di atas makhluk dan Allah di atas hamba-Nya.” [6]. Di antaranya:
1) Kadang dengan lafazh ‘Ali (tinggi) dan Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy. Seperti firman Allah:
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS al-Baqarah [2]: 255)
الرَّحْمَنُ عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى
Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) bersemayam di atas ‘Arsy. (QS Thaha [20]: 5)
2) Kadang juga dengan naiknya sesuatu kepada-Nya. Seperti firman Allah:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
Kepada-Nya-lah naik perkataan yang baik, dan amal saleh dinaikkan-Nya. (QS Fathir [35]: 10)
تَعْرُجُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ
Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada-Nya. (QS al-Ma’arij [70]: 4)
3) Kadang lagi dengan turunnya sesuatu dari-Nya. Seperti firman Allah:
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ
Katakanlah Ruh Qudus (Jibril) menurunkan Alquran dari Rabbmu dengan benar. (QS an-Nahl [16]: 102)
Ketinggian Allah di atas langit juga ditegaskan dalam banyak hadis Nabi Muhammad ﷺ sehingga mencapai derajat Mutawatir [7] dan dengan beberapa versi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan Taqrir (persetujuan) Nabi ﷺ.
Berikut ini akan kami sebutkan beberapa hadis saja:
1) Dalil Pertama:
عَنْمُعَاوِيَةَبْنِالْحَكَمِالسُّلَمِيِّa قَالَ: …وَكَانَتْلِيْجَارِيَةٌتَرْعَىغَنَمًالِيْقِبَلَأُحُدٍوَالْجَوَّانِيَةِفَاطَّلَعْتُذَاتَيَوْمٍ, فَإِذَابِالذِّئْبِقَدْذَهَبَبِشَاةٍمِنْغَنَمِهَا, وَأَنَارَجُلٌمِنْبَنِيْآدَمَ, آسَفُكَمَايَأْسَفُوْنَ, لَكِنِّيْصَكَكْتُهَاصَكَّةً, فَأَتَيْتُرَسُوْلَاللهِn فَعَظَّمَذَلِكَعَلَيَّ, قُلْتُ: يَارَسُوْلَاللهِ, أَفَلاَأُعْتِقُهَا؟قَالَ: ائْتِنِيْبِهَا, فَقَالَلَهَا: أَيْنَاللهُ؟قَالَتْ: فِيْالسَّمَاءِ, قَالَ: مَنْأَنَا؟قَالَتْ: أَنْتَرَسُوْلُاللهِ, قَالَ: فَأَعْتِقْهَافَإِنَّهَامُؤْمِنَةٌ.
Dari Mu’awiyah ibn Hakam as-Sulami Radhiallahu’anhu berkata: “… Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai penggembala kambing di Gunung Uhud dan al-Jawwaniyyah (tempat dekat Gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari Bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah ﷺ. Ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?’ Jawab beliau: ‘Bawalah budak itu kepadaku.’ Lalu Nabi ﷺ bertanya (kepada sang budak): ‘Di mana Allah?’ Jawab budak tersebut: ‘Di atas langit.’ Nabi ﷺ bertanya lagi: ‘Siapa saya?’ Jawab budak tersebut: ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Nabi ﷺ bersabda: ‘Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita Mukminah.’” [8]
Al-Imam adz-Dzahabi berkata mengomentari hadis ini:
وَهٰكَذَارَأَيْنَاكُلَّمَنْيُسْأَلُ: أَيْنَاللهُ؟يُبَادِرُبِفِطْرَتِهِوَيَقُوْلُ: فِيالسَّمَاءِ. فَفِيْالْخَبَرِمَسْأَلَتَانِ:
إِحْدَاهُمَا: مَشْرُوْعِيَّةُقَوْلِالْمُسْلِمِأَيْنَاللهُ؟
وَثَانِيْهَا: قَوْلُالْمَسْؤُوْلِ: فِيْالسَّمَاءِ. فَمَنْأَنْكَرَهَاتَيْنِالْمَسْأَلَتَيْنِفَإِنَّمَايُنْكِرُعَلَىالْمُصْطَفَى
“Demikianlah kita melihat setiap orang yang ditanya ‘Di mana Allah’, niscaya dia akan menjawab dengan fitrahnya ‘Allah di atas langit’. Dalam hadis ini terdapat dua masalah:
Pertama: Disyariatkannya pertanyaan seorang Muslim ‘Di mana Allah’.
Kedua: Jawaban orang yang ditanya pertanyaan tersebut ‘Di atas langit’. Barang siapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari al-Mushthafa (Nabi Muhammad) ﷺ.” [9]
2) Dalil Kedua:
Hadis-hadis tentang kisah peristiwa Isra’ Mi’raj. Para pakar ilmu hadis menegaskan, bahwa hadis-hadis tentang kisah Isra’ Mi’raj mencapai derajat Mutawatir [10].
Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi berkata: “Dalam hadis Mi’raj ini terdapat dalil tentang ketinggian Allah, ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang mencermatinya.” [11]
3) Dalil Ketiga:
عَنْأَبِيْهُرَيْرَةَأَنَّرَسُوْلَاللهِقَالَ: يَنْزِلُرَبُّنَاتَبَارَكَوَتَعَالَىكُلَّلَيْلَةٍإِلَىالسَّمَاءِالدُّنْيَاحِيْنَيَبْقَىثُلُثُالأَخِيْرِيَقُوْلُ: مَنْيَدْعُوْنِيْفَأَسْتَجِيْبَلَهُ, مَنْيَسْأَلُنِيْفَأُعْطِيَهُ, مَنْيَسْتَغْفِرُنِيْفَأَغْفِرَلَهُ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam, yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Dan siapa yang yang memohon ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.’” [12]
Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Dalam hadis ini terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas langit, di atas ‘Arsy, sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadis ini termasuk salah satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyyah yang berpendapat, bahwa Allah ada di mana-mana – bukan di atas ‘Arsy.” [13]
4) Dalil Keempat:
عَنْجَابِرِبْنِعَبْدِاللهِفِيْقِصَّةِحَجَّةِالنَّبِيِّ: … فَقَالَبِإِصْبِعِهِالسَّبَابَةِيَرْفَعُهَاإِلَىالسَّمَاءِ, وَيَنْكُتُهَاإِلَىالنَّاسِ: اللَّهُمَّاشْهَدْ, اللَّهُمَّاشْهَدْ, ثَلاَثَمَرَّاتٍ
Dari Jabir ibn Abdillah Radhiallahu’anhuma tentang kisah hajinya Nabi ﷺ (setelah beliau berkhutbah di Arafah): Lalu Nabi ﷺ mengatakan dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit, dan mengisyaratkan kepada manusia “Ya Allah, saksikanlah, ya Allah saksikanlah” sebanyak tiga kali [14].
Hadis ini merupakan tamparan keras bagi kaum Ahli Bidah yang selalu melarang kaum Muslimin berisyarat dengan jarinya ke arah langit. Mereka berkata: “Kami khawatir orang-orang akan memunyai keyakinan, bahwa Allah berada di atas langit. Padahal Allah tidak bertempat, tetapi Allah ada di setiap tempat.” Demikianlah kekhawatiran yang DIMASUKKAN SETAN ke dalam hati mereka, yang sebenarnya mereka telah membodohkan Nabi ﷺ yang telah mengisyaratkan jari beliau ke arah langit!! [15]
Para sahabat, para tabi’in, dan para imam kaum Muslimin telah bersepakat akan ketinggian Allah di atas langit-Nya, bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Ijma’ ini banyak dinukil oleh para ulama. Kami nukil sebagian ucapan mereka sebagai berikut: [16]
1) Al-Imam al-Auza’i berkata: “Kami dan seluruh tabi’in bersepakat mengatakan: ‘Allah berada di atas ‘Arsy-Nya.’ Dan kami semua mengimani sifat-sifat yang dijelaskan dalam as-Sunnah.” [17]
2) Al-Imam Abdullah Ibnul Mubarak berkata: “Kami mengetahui Rabb kami. Dia bersemayam di atas ‘Arsy berpisah dari makhluk-Nya. Dan kami TIDAK mengatakan sebagaimana kaum Jahmiyyah, yang mengatakan, bahwa Allah ada di sini (beliau menunjuk ke bumi).” [18]
3) Al-Imam Qutaibah ibn Sa’id berkata: “Inilah pendapat para imam Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah, bahwa kami mengetahui Rabb kami di atas langit-Nya ketujuh di atas ‘Arsy-Nya.” [19]
4) Al-Imam Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata: “Ahli Islam telah bersepakat untuk menetapkan sifat bagi Allah, dan bahwasanya Allah di atas ‘Arsy, berpisah dari makhluk-Nya, dan ilmu-Nya di setiap tempat. Barang siapa yang mengatakan selain ini, maka baginya laknat Allah.” [20]
5) Al-Imam Utsman ibn Sa’id ad-Darimi berkata: “Telah bersepakat kalimat kaum Muslimin dan kafirin bahwa Allah di atas langit.” [21]
6) Al-Imam Abu Umar at-Tolmanki berkata: “Kaum Muslimin dari Ahli Sunnah bersepakat, bahwa Allah tinggi di atas ‘Arsy-Nya.” [22]
7) Al-Imam ash-Shabuni berkata: “Para ulama umat dan imam dari Salaf Shalih tidak berselisih pendapat, bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya dan ‘ArsyNya di atas langit-Nya.” [23]
8) Al-Imam Isma’il ibn Muhammad at-Taimi berkata: “Kaum Muslimin bersepakat, bahwa Allah tinggi, sebagaimana ditegaskan dalam Alquran.” [24]
9) Al-Imam adz-Dzahabi berkata: “Ucapan para salaf dan imam-imam Sunnah bahkan para sahabat, Allah, Nabi, dan seluruh kaum Mukmin, bahwasanya Allah di atas langit dan di atas ‘Arsy, dan bahwa Allah turun ke langit dunia. Hujjah-hujjah mereka adalah hadis-hadis dan atsar-atsar yang banyak.” [25]
Setiap akal manusia yang masih sehat tentu akan mengakui ketinggian Allah di atas makhluk-Nya. Hal tersebut dapat ditinjau dari dua segi:
Pertama: Ketinggian Allah merupakan sifat yang mulia bagi Allah.
Kedua: Kebalikan tinggi adalah rendah, sedang rendah merupakan sifat yang kurang bagi Allah. Maha Suci Allah dari sifat-sifat yang rendah.
Sesungguhnya Allah telah memfitrahkan kepada seluruh makhluk-Nya, baik Arab maupun non-Arab, dengan ketinggian Allah. Marilah kita berfikir bersama di saat kita memanjatkan doa kepada Allah, ke manakah hati kita berjalan? Ke bawah atau ke atas? Manusia yang belum rusak fitrahnya tentu akan menjawab “Ke atas”.
Pernah dikisahkan bahwa suatu hari, al-Imam Abdul Malik al-Juwaini mengatakan dalam majlisnya: “Allah tidak di mana-mana, sekarang Dia berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far al-Hamdani seraya berkata: “Wahai Ustadz, kabarkanlah kepada kami tentang ketinggian Allah yang sudah mengakar di hati kami. Bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik al-Juwaini berteriak dan menampar kepalanya seraya mengatakan: “Al-Hamdani telah membuat diriku bingung, al-Hamdani telah membuat diriku bingung.” [26]
Akhirnya, al-Imam al-Juwaini pun mendapat hidayah Allah, dan kembali ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti jejak beliau.
Sebenarnya masih sangat banyak lagi dalil dalam masalah ini, yang semuanya telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab mereka. Bahkan di antara mereka ada yang membahas masalah ini dalam kitab tersendiri seperti al-Imam adz-Dzahabi dalam bukunya, al-’Uluw lil Aliyyil Azhim.
Semoga Allah merahmati al-Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang telah mengatakan – setelah menyebutkan 18 segi dalil -: “Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka akan tertulis kurang lebih seribu dalil [27]. Oleh karena itu, kepada para penentang masalah ini, hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Akan tetapi, sungguh sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya.” [28]
Adapun paham Dr. Quraish Shihab, bahwa Allah di mana-mana, yang juga banyak dianut oleh sebagian kaum Muslimin sekarang ini, tahukah mereka pemahaman siapakah ini sebenarnya?! Paham ini dicetuskan oleh kaum Jahmiyyah, Hululiyyah, dan Mu’tazilah [29].
Konsekuensi paham sesat “Allah di mana-mana” ini sangatlah batil, yaitu Allah berada di tempat-tempat yang kotor dan membatasi Allah pada makhluk. Sebagaimana diceritakan dari Bisyr al-Marisi [30 ]tatkala dia mengatakan: “Allah berada di segala sesuatu.” Lalu ditanyakan kepadanya: “Apakah Allah berada di kopiahmu itu?!” Jawabnya: “Ya.” Ditanyakan lagi kepadanya: “Apakah Allah ada dalam keledai?!” Jawabnya: “Ya.”(!!!)
Perkataan ini sangatlah hina dan keji sekali terhadap Allah!!! Oleh karena itulah, sebagian ulama salaf mengatakan: “Kita masih mampu menceritakan perkataan Yahudi dan Nasrani, tetapi kita tak mampu menceritakan perkataan Jahmiyyah!”
Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari berkata:
وَزَعَمَتِالْمُعْتَزِلَةُوَالْحَرُوْرِيَّةُوَالْجَهْمِيَّةُأَنَّاللهَعَزَّوَجَلَّفِيْكُلِّمَكَانٍ،فَلَزِمَهُمْأَنَّهُفِيْبَطْنِمَرْيَمَوَفِيْالْحُشُوْشِوَالأَخْلِيَةِ،وَهٰذَاخِلَافُالدِّيْنِ،تَعَالَىاللهُعَنْقَوْلِهِمْ.
“Dan kaum Mu’tazilah, Haruriyyah, dan Jahmiyyah beranggapan, bahwa Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka, bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah, dan WC. Paham ini MENYELISIHI agama. Maha Suci Allah dari ucapan mereka.”[31]
Bagi seorang yang mencermati beberapa buku karya Dr. Quraish Shihab, maka sangatlah nyata pembelaannya terhadap kaum Syi’ah, ikut andil menyelundupkan racun-racun paham Syi’ah, dan usahanya dalam melakukan kompromi pendekatan Sunni dan Syi’ah, sekalipun dia mengaku keberatan jika disebut sebagai penganut paham Syi’ah.
Hal ini sangat tampak, terutama dalam bukunya yang berjudul “Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” [32] dan kata pengantarnya terhadap Buku Putih Madzhab Syi’ah [33 ]. Dua buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran Syi’ah, penuh dengan kerancuan, seperti celaan kepada para sahabat Nabi, terutama Umar Radhiallahu’anhu dan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, menyatakan Abdullah ibn Saba’ adalah tokoh fiktif, dan ajakan agar kaum Sunni bergandeng tangan dengan kaum Syi’ah, seperti dalam kesimpulan akhir kitabnya yang pertama. Ada dua hal yang ingin kami tanggapi di sini:
Di antara ucapan Dr. Quraish Shihab yang mencela sahabat Abu Hurairah:
Karena itu, harus diakui, bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya, dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan suatu keharusan. Di samping itu semua, harus diakui juga, bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah, demikian juga pengenalan Abu Hurairah menyangkut Nabi, berada di bawah kemampuan sahabat besar Nabi SAW seperti istri Nabi Aisyah [34].
Jawaban:
Sejatinya, melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat Nabi ﷺ sekaliber Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dengan menggunakan pendekatan apa pun tidak akan bisa meruntuhkan reputasi dan keagungan kedudukan beliau. Dan sangat mengherankan, adalah ketika Quraish Shihab menjadikan serangan-serangannya terhadap Sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dengan bersenjatakan kitab Adhwa’ ’ala Sunnah Nabawiyyah karya Abu Rayyah [35]. Padahal, para penuntut ilmu hadis sangat mengenal siapa Abu Rayyah dan bagaimana isi kitabnya tersebut [36].
Barang siapa yang mencela sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, maka sesungguhnya dia ingin merusak akidah Islamiyyah. Karena tujuan utama dari celaan mereka, bukanlah hanya pribadi Abu Hurairah Radhiallahu’anhu saja, namun lebih dari itu, mereka ingin merusak agama Islam. Sebab, apabila Abu Hurairah Radhiallahu’anhu telah berhasil dicerca, maka ribuan hadis -yang merupakan sumber hukum agama- tentang Islam akan termentahkan [37]. Semoga Allah merahmati imam Abu Zur’ah yang telah mengatakan:
إِذَارَأَيْتَالرَّجُلَيَنْتَقِصُأَحَدًامِنْأَصْحَابِرَسُوْلِاللهِفَاعْلَمْأَنَّهُزِنْدِيْقٌ, وَذَلِكَأَنَّالرَّسُوْلَعِنْدَنَاحَقٌّوَالْقُرْآنَحَقٌّ, وَإِنَّمَاأَدَّىإِلَيْنَاهَذَاالْقُرْآنَوَالسُّنَنَأَصْحَابُرَسُوْلِاللهِ, وَإِنَّمَايُرِيْدُوْنَأَنْيَجْرَحُوْاشُهُوْدَنَالِيُبْطِلُوْاالْكِتَابَوَالسُّنَّةَ, وَالْجَرْحُبِهِمْأَوْلَىوَهُمْزَنَادِقَةٌ.
“Apabila engkau mendapati orang yang mencela salah satu sahabat Nabi ﷺ, maka ketahuilah, bahwa dia adalah seorang Zindiq (Munafik). Hal itu karena Rasulullah ﷺ adalah benar dan Alquran juga benar menurut (prinsip) kita. Dan orang yang menyampaikan Alquran dan as-Sunnah adalah para sahabat Nabi ﷺ. Dan para pencela para saksi kita (sahabat) hanyalah bertujuan untuk menghancurkan Alquran dan as-Sunnah. Mencela mereka lebih pantas. Mereka adalah orang-orang Zindiq.” [38]
Al-Imam al-Hakim menukil perkataan al-Imam Ibnu Khuzaimah: “Sesungguhnya orang yang mencela Abu Hurairah Radhiallahu’anhu guna menolak hadisnya, tidak lain kecuali orang yang DIBUTAKAN hatinya oleh Allah, sehingga mereka tidak memahami hadis-hadis Nabi ﷺ. Orang kelompok Jahmiyyah menolak riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang bertentangan dengan paham kekufuran mereka, dengan mencela dan menuduhnya secara dusta dan bohong, untuk menipu orang-orang awam yang bodoh. Orang kelompok Khawarij yang menghalalkan darah kaum Muslimin dan tidak taat terhadap khalifah/imam tatkala mendengarkan riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dari Nabi ﷺ yang tidak sesuai dengan paham sesatnya, tiada cara lain untuk menghujatnya, kecuali dengan senjata pamungkasnya, mencela Abu Hurairah Radhiallahu’anhu … Demikian pula orang jahil yang sok pintar fikih, tatkala mendengar hadis Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang bertentangan dengan madzhab yang dianutnya dengan taklid buta/membeo, dia mencela pribadi Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dan mementahkan hadisnya yang tidak sesuai dengan madzhabnya, dan memakai hadisnya yang sesuai dengan madzhabnya. Sebagian golongan telah mengingkari hadis-hadis riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang tidak mereka pahami maksudnya…” [39]
Dr. Quraish Shihab ini berusaha untuk menyatukan antara Syi’ah dan Sunnah, sebagaimana maksud dan kesimpulan bukunya tersebut.
Jawaban:
Ini adalah suatu hal yang sangat aneh. Mungkinkah kaum Muslimin (Ahli Sunnah) akan bersatu dengan suatu kaum (Syi’ah), yang menjadikan celaan serta pengafiran kepada para istri Nabi ﷺ dan para sahabat, sebagai agama?!! Landasan agama mereka BERBEDA dengan landasan agama Islam yang mulia. Bagaimana kaum Muslimin akan bersatu dengan suatu kaum yang menolak Ijma’ dan menyengaja untuk menyelisihi Ijma’ ulama kaum Muslimin?! Bagaimana akan bersatu, sedangkan tokoh Syi’ah sendiri enggan dengan persatuan ini?!! [40]
Simaklah ucapan seorang tokoh mereka, Ni’matullah al-Jazairi, yang mengatakan: “Kita TIDAK AKAN BERSATU dengan mereka (Ahli Sunnah) dalam satu Tuhan, nabi, atau imam. Hal itu karena mereka mengatakan: “Sesungguhnya Rabb mereka adalah yang Muhammad Nabi-Nya dan khalifah setelahnya adalah Abu Bakar. Sedangkan kami tidak sependapat dalam Rabb dan Nabi mereka. Bahkan kami mengatakan: Sesungguhnya Rabb yang khalifah Nabinya adalah Abu Bakar maka bukanlah Rabb kita dan Nabinya bukan Nabi kita.” [41]
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Saya adalah seorang yang sangat bersemangat untuk menyatukan antara Sunnah dan Syi’ah. Saya telah berusaha semaksimal mungkin selama tiga decade, dan saya tidak mengetahui seorang Muslim pun yang lebih semangat daripada saya untuk persatuan tersebut. Lalu tampak jelaslah bagi saya, dengan pengalaman yang lama, bahwa mayoritas ulama Syi’ah sangat enggan dengan persatuan ini, sebab hal itu sangat berlawanan dengan manfaat pribadi mereka berupa harta dan kedudukan. Saya telah berdialog tentang hal ini dengan banyak orang di Mesir, Suriah, India, dan Iraq. Dari pengalaman tersebut saya menarik kesimpulan, bahwa SYI’AH SANGAT MEMUSUHI AHLI SUNNAH!!! Mereka bersemangat untuk menyebarkan kitab-kitab untuk mencela Sunnah, para Khalifah Rasyidin yang menaklukkan negeri dan menyebarkan Islam di penjuru dunia, dan mencela para pembela Sunnah dan imamnya, serta orang-orang Arab secara umum.” [42]
Dr. Quraish Shihab juga berkata:
Ulama asal Iran itu (Husain Thoba’thobai) lebih jauh menggarisbawahi, bahwa penyifatan Allah sebagai Nur mengisyaratkan, bahwa Dia adalah wujud yang paling nyata. Tidak ada sesuatu pun yang tidak mengenal-Nya, karena semua yang wujud dan nampak adalah limpahan dari penampakan-Nya [43]
Jawaban:
Demikianlah Dr. Quraish Shihab menukil ucapan tokoh Syi’ah dari Iran tersebut tanpa memberikan sanggahan, bahkan menyetujuinya. Padahal ini adalah PEMAHAMAN TASAWUF YANG SESAT DAN MENYESATKAN yaitu akidah Wahdatul Wujud, yang biasanya diistilahkan dengan Manunggaling Kawula lan Gusti, yaitu bersatunya Tuhan dengan hamba. Sungguh, ini adalah sebuah akidah yang BERTENTANGAN seratus persen dengan pokok-pokok ajaran Islam, bahkan menghancurkan persendiannya, baik dalam akidah, ibadah, akhlak, dan sebagainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Bangkit membantah mereka (Ahli Wahdatul Wujud) merupakan kewajiban yang sangat utama, sebab mereka adalah PERUSAK AKAL DAN AGAMA MANUSIA. Mereka membuat kerusakan di muka bumi, dan menghalangi dari jalan Allah. Bahaya mereka terhadap agama melebihi bahaya para penjajah dunia, seperti perampok dan pasukan Tatar, yang hanya merampas harta tanpa merusak agama.” [44].
Di antara pengibar bendera paham sesat ini adalah beberapa tokoh zaman dahulu seperti Ibnu Arabi [45], al-Hallaj, Ibnu Faridh, Ibnu Sab’in, dan sebagainya. Adapun pengibar benderanya di Indonesia, di Jawa: Syaikh Siti Jenar, di Sumatra: Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, di Sulawesi dan Kalimantan: Yusuf al-Maqossari dan Muhammad Nafis al-Banjari. Akhir-akhir ini ada yang berusaha membungkus pemahaman sesat ini dengan baju sains, yaitu Agus Musthofa, dalam bukunya “Bersatu dengan Allah” [46].
Sesungguhnya akidah KUFUR [47] dan SESAT ini sangat RUSAK, dan memiliki dampak negatif yang banyak dalam berbagai sector, baik masalah tauhid, akhlak, ibadah, dan sebagainya [48].
Salah satu kerusakan paham sesat ini adalah munculnya paham, bahwa seorang, apabila telah sampai pada tingkatan tertentu, maka gugurlah hukum taklif baginya [49], karena dia merasa telah bersatu dengan Allah [50]. Paham Tasawuf ini SANGAT BERTENTANGAN dengan Islam. Allah berfirman (yang artinya):
Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada. Dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat”” dan (menunaikan) zakat selama aku hidup. (QS Maryam [19]: 31)
Dalam ayat yang mulia ini terdapat bantahan yang sangat jelas terhadap paham ahli khurafat yang menggugurkan taklif, apabila telah sampai pada tingkatan tertentu. Karena Nabi Isa ‘Alaihissalam menggantungkan kewajiban ibadah dengan selama hidupnya [51].
Paham ini juga BERTENTANGAN dengan firman Allah:
Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (QS al-Hijr [15]: 99)
Makna “Al-yaqin” dalam ayat ini adalah KEMATIAN dengan kesepakatan para ulama. Barang siapa yang menafsirkan dengan tingkatan tertentu, sebagaimana dalam istilah kaum Sufi, maka dia telah melakukan KEDUSTAAN yang amat besar, dan memermainkan ayat Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Penafsiran ini SALAH dengan kesepakatan kaum Muslimin, ahli tafsir, dan lainnya, karena semua kaum Muslimin bersepakat tentang wajibnya ibadah seperti shalat lima waktu, sekalipun seorang telah mencapai tingkatan yang tinggi.” [52]
Al-Qadhi Iyadh berkata: “Kaum Muslimin bersepakat tentang kafirnya seorang yang mendustakan atau mengingkari suatu syariat yang diketahui secara Mutawatir dari Nabi ﷺ dan disepakati oleh para ulama, seperti ucapan sebagian kaum Sufi, bahwa seorang yang lama beribadah dan jernih hatinya, akan bisa gugur dari kewajiban dan boleh melakukan keharaman.” [53]
Alangkah bagusnya nasihat al-Imam al-Ajurri tatkala mengatakan: “Sesungguhnya aku memeringatkan saudara-saudaraku kaum Mukminin untuk berhati-hati dari pemahaman Hululiyyah (Allah menyatu dengan makhluk-Nya). Setan telah memermainkan penganut pemahaman ini, sehingga dengan pemahaman yang jelek ini mereka menyimpang keluar dari rel para ulama, menuju kepada pemahaman-pemahaman yang keji, yang TIDAK dianut, kecuali oleh orang yang terfitnah dan binasa … Perkataan mereka TIDAK SESUAI dengan Alquran, as-Sunnah, perkataan para sahabat, maupun perkataan para imam kaum Muslimin.” [54]
Dr. Quraish Shihab sangat nyata memiliki pemikiran sesat liberal [55] yang telah difatwakan kesesatannya oleh MUI dalam MUNAS 19–22 Jumadil Akhir 1426 H [56]. Banyak sekali bukti ucapannya yang menunjukkan hal itu, di antaranya:
Dr. Quraish Shihab mengatakan:
Tentang hukuman kafir bagi penganut ajaran Trinitas dan hukuman haram bagi wanita Muslim yang kawin dengan pria kafir, merupakan hal-hal yang perlu disajikan kepada anak didik. Hanya saja, penyajian tersebut hendaknya dikaitkan dengan penjelasan, bahwa penganut ajaran Trinitas tidak disebut kafir oleh Alquran, melainkan disebut Ahli Kitab [57].
Jawaban:
Pemikiran ini adalah pemikiran yang SESAT dan MENYIMPANG, karena Ahli Kitab alias Yahudi dan Nasrani adalah kaum KAFIR, dengan KETEGASAN Alquran, hadis, dan Ijma’ kaum Muslimin. Berbeda dengan celotehan para pengusung Liberalisme. Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik, (akan masuk) ke Neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk [58]
عَنْأَبِيهُرَيْرَةَa عَنْرَسُولِاللهِn أَنَّهُقَالَ: « وَالَّذِينَفْسُمُحَمَّدٍبِيَدِهِ،لَايَسْمَعُبِيأَحَدٌمِنْهٰذِهِالْأُمَّةِيَهُودِيٌّوَلَانَصْرَانِيٌّ،ثُمَّيَمُوتُوَلَمْيُؤْمِنْبِالَّذِيأُرْسِلْتُبِهِ،إِلَّاكَانَمِنْأَصْحَابِالنَّارِ ».
Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini, baik Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentangku kemudian dia meninggal dan tidak beriman kepada ajaranku, kecuali dia termasuk Ahli Neraka.”[59]
Al-Imam asy-Syathibi berkata: “Kami melihat dan mendengar, bahwa kebanyakan Yahudi dan Nasrani mengetahui tentang agama Islam, dan banyak mengetahui banyak hal tentang seluk-beluknya, tetapi semua itu TIDAK bermanfaat bagi mereka, selagi mereka tetap di atas KEKUFURAN [60] dengan kesepakatan ahli Islam.” [61]
Dr. Quraish Shihab membuat sebuah judul “Selamat Natal Menurut Alquran”, setelah membawakan surat Maryam ayat 23–30, dia berkata:
Itu cuplikan kisah Natal dari Alquran. Dengan demikian, Alquran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama, dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa Al-Masih [62]
Lalu dia juga mengatakan:
Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan (ucapan Selamat Natal) itu, bila ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif dan bijaksana, dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntutan keharmonisan hubungan [63].
Jawaban:
Ucapan ini KELIRU DAN MENYIMPANG, karena umat Nasrani telah menjadikan hari Natal telah sebagai hari besar mereka, dan syiar agama mereka. Apa itu hari Natal?! Natal adalah sebuah perayaan kelahiran Yesus Kristus (Nabi Isa al-Masih ‘Alaihissalam), yang dalam pandangan umat Kristen saat ini ia adalah anak Tuhan dan Tuhan anak, sedang mereka meyakini ajaran Trinitas.
Apa sih yang sedang mereka rayakan? Apa yang sedang mereka gembirakan?? Tentunya semua kaum Nasrani—dari Sabang sampai Merauke—sepakat, bahwa mereka sedang merayakan hari kelahiran Tuhan dan sembahan mereka. Mereka TIDAK sedang merayakan kelahiran Yesus sebagai seorang nabi, tetapi merayakan kelahiran Yesus sebagai “Tuhan” atau “anak Tuhan”.
Setelah kita tahu, bahwa perayaan Natal adalah mengandung AKIDAH KUFUR yang menuhankan Isa al-Masih, maka pantaskah seorang Muslim mengucapkan selamat atas perayaan tersebut? Jawabnya: Tentu TIDAK BOLEH. Coba kita renungkan dengan akal sehat…, tatkala seorang Muslim mengucapkan selamat kepada mereka, apakah yang dipahami oleh mereka? Apakah mereka memahami seorang Muslim sedang menyatakan: “Selamat atas kelahiran Yesus sebagai seorang nabi”? Tentunya sama sekali tidak (!!!). Karena jika mereka memahami demikian, tentunya mereka akan mengamuk dan merasa dihina oleh seorang Muslim …
Karena itu, mengucapkan selamat Natal menimbulkan kelaziman-kelaziman yang SANGAT BURUK … ((Selamat hari Natal = Selamat hari lahirnya “Tuhan” kalian = Selamat menyembah salib = Selamat kalau Allah punya anak = Selamat bertrinitas = Selamat memusuhi agama tauhid (Islam) = Selamat bahagia dengan bangkitnya kaum Salibis yang senantiasa mengharapkan hancurnya Islam)).
Ucapan selamat Natal LEBIH PARAH daripada ucapan “Selamat berzina…”, “Selamat mabuk…”, “Selamat mencuri…”, “Selamat membunuh…”, “Selamat korupsi…”, karena DOSA TERBESAR ADALAH DOSA KESYIRIKAN…
Akan tetapi, masih banyak kaum Muslimin yang tidak menyadarinya…!!!!
Hal ini, ternyata telah jauh-jauh hari yang lampau DIPERINGATKAN oleh para ulama. Ibnul Qayyim Rahimahullahuta’ala menegaskan: “Adapun ucapan selamat dengan syiar-syiar kekufuran yang khusus, maka hukumnya adalah HARAM dengan kesepakatan ulama, seperti ucapan selamat hari raya dan sebagainya. Kalau bukan kekufuran, maka minimal adalah haram, sebab hal tersebut sama halnya dengan memberi selamat atas sujud mereka terhadap salib. Bahkan hal itu lebih parah dosanya dan lebih dahsyat kemurkaannya di sisi Allah, dengan ucapan selamat atas minum khamr, membunuh, berzina, dan sebagainya. Sungguh, banyak orang yang TIDAK memiliki agama dalam hatinya terjatuh dalam hal tersebut, dan TIDAK mengetahui kejinya perbuatannya tersebut.” [64]
Tidak diragukan bagi orang yang berakal/waras, bahwasanya jika seseorang berkata kepada orang lain “Selamat berzina” sambil mengirimkan kartu ucapan selamat, disertai senyuman tatkala mengucapkannya, maka tidak diragukan lagi bahwasanya ini menunjukkan ia ridha dengan “Zina” tersebut. Dan itulah yang dipahami oleh sang pelaku zina [65].
Lantas jika ada orang yang mengucapkan “Selamat hari Natal”, bukankah ini menunjukkan ia ridha dengan acara kesyirikan dan kekufuran tersebut?? Ucapan selamat seperti ini TIDAK diragukan lagi secara zhahir menunjukkan keridhaan!!!
Dari sinilah kenapa para ulama MENGHARAMKAN ucapan “Selamat Natal”, meskipun pelakunya tidak bermaksud ridha dengan kekufuran dan kesyirikan. Bahkan ini merupakan kesepakatan ulama, sebagaimana nukilan Ibnul Qayyim di atas dan ini merupakan Fatwa ketua MUI, KH. Ma’ruf Amin.
Dr. Quraish Shihab mengatakan:
Secara umum, para ahli keislaman mengakui, bahwa materi-materi yang ditemukan di dalam berbagai kitab akidah (Teologi) tidak sepenuhnya lagi relevan dengan kondisi masa kini. Materi-materi tersebut diambil dari generasi demi generasi. Sedangkan penulisannya pertama kali dipengaruhi oleh situasi sosial politik ketika itu [66].
Jawaban:
Ini adalah ucapan yang penuh dengan KESESATAN dan PENYIMPANGan, bertujuan untuk memalingkan umat Islam dari kitab-kitab akidah salaf yang berdasarkan Alquran dan as-Sunnah, serta ingin menggantinya dengan kitab-kitab akidah yang berisi filsafat dan ilmu kalam.
Sungguh ini adalah celaan kepada kitab-kitab ulama terdahulu, dan tidak menghargai jasa dan jerih payah mereka. Maka WASPADALAH dari pemikiran-pemikiran sesat seperti ini [67]
Disusun oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Catatan Kaki
[1] Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah al-Baghdadi hlm. 63 , al-Abathil wal Manakir al-Jauzaqani 1/133, al-Maudhu’at Ibnul Jauzi 1/43, Syarh ’Ilal Tirmidzi Ibnu Rajab hlm. 88.
[2] Bayanu Fadhlu Ilmi Salaf ’ala Ilmi Khalaf hlm. 38–40. Dan lihat penjelasan secara bagus tentang hakikat ulama, ciri-ciri mereka, perbedaan antara ulama asli dan palsu, serta etika terhadap ulama dalam kitab Qawa’id fi Ta’amul Ma’al Ulama karya Abdurrahman ibn Mu’alla al-Luwaihiq.
[3] Dia Di Mana-Mana hlm. ix, karya Dr. Muh. Quraish Shihab, Penerbit Lentera Hati, Ciputat, Tangerang, Cet. Kelima, Mei 2007 M/Jumadil Awwal 1428 H.
[4] Seperti al-Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Itsbat Shifat al-Uluw, al-Imam adz-Dzahabi dalam al-Uluw lil Aliyyil Azhim, al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam Ijtima’ Juyusy al-Islamiyyah, asy-Syaikh Usamah al-Qashashas dalam Itsbat Uluwwillahi ’ala Khaliqihi war Raddu ’ala al-Mukhalifin, asy-Syaikh Humud ibn Abdillah at-Tuwaijiri dalam Itsbat Uluwwillahi wa Mubayanatihi li Khalqihi, asy-Syaikh Dr. Musa ibn Sulaiman ad-Duwaisy dalam Uluwwullahi ’ala Khaliqihi. Semua kitab ini secara khusus membahas ketinggian Allah di atas langit dan bantahan terhadap paham Jahmiyyah yang mengatakan Allah di mana-mana.
[5] Kami telah membahas masalah penting ini secara khusus dalam risalah kami Di Mana Allah? Pertanyaan Penting yang Terabaikan terbitan Media Tarbiyah, Bogor. Bagi pembaca yang ingin penjelasan lebih luas, silakan membaca buku tersebut.
[6] Majmu’ Fatawa 1/121, Bayanu Talbis Jahmiyyah 1/555.
[7] Sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam adz-Dzahabi dalam Shifat Rabbil ’Alamin 1/175/2 dan Kitabul Arsy 2/21, Ibnu Qudamah dalam Itsbat Shifat Uluw hlm. 12, dan al-Albani dalam Mukhtashar al-Uluw hlm. 50.
[8] HR Muslim dalam Shahih-nya: 537, al-Bukhari dalam Juz al-Qira’ah: 70, asy-Syafi’i dalam ar-Risalah: 242, Malik dalam al-Muwaththa’ 2/77, Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya 5/447, dan lain-lain banyak sekali.
[9] Al-’Uluw lil ’Aliyyil Azhim hlm. 81 (Mukhtasar al-Albani)
[10] Di antaranya adalah Imam al-Ashfahani dalam al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah (1/538), al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyyah hlm. 29, al-Allamah as-Safarini berkata dalam Lawami’ al-Anwar (1/191), al-Muhaddits al-Albani dalam Mukhtashar al-Uluw hlm. 90 dan ash-Shahihah (1/616/2), as-Suyuthi dalam al-Azhar al-Mutanatsirah, as-Sakhawi dalam Fathul Mughits sebagaimana dinukil dan disetujui oleh al-Kattani dalam Nazhmul Mutanatsir hlm. 219–22.
[11] Syarh Akidah ath-Thahawiyyah 1/277
[12] HR al-Bukhari: 1145 dan Muslim: 758
[13] At-Tamhid 3/338
[14] HR Muslim: 1218
[15] Lihat Al-Masaail, oleh Ustadzuna al-Fadhil Abdul Hakim bin Amir Abdat 1/124, terbitan Darul Qolam.
[16] Kami banyak mengambil manfaat nukilan-nukilan ini dari kitab Ahadisul Akidah Allati Yuhimu Zhahiruha Ta’arudh hlm. 531–542 oleh Dr. Sulaiman ibn Muhammad ad-Dubaihi.
[17] Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Asma’ wa Shifat: 408, adz-Dzahabi dalam al-’Uluw hlm. 102 dan dishahihkan Ibnu Taimiyyah sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa 5/39 dan lbnul Qayyim dalam Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hlm. 131.
[18] Diriwayatkan ash-Shabuni dalam Akidah Salaf Ashhabul Hadis hlm. 28.
[19] Dar’u Ta’arudh Naql wal Aql Ibnu Taimiyyah 6/260
[20] Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah al-Lalikai 1/198
[21] Naqdhu Abi Sa’id ala Mirisi al-Jahmi al-Anid 1/228
[22] Dar’u Ta’arudh 6/250, Ijtima’ Juyusy hlm. 142, al-’Uluw: 246.
[23] Akidah Salaf Ashhabul Hadis hlm. 176
[24] Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hlm. 182
[25] Al-’Uluw hlm. 143
[26] Lihat kisah lengkapnya dalam Siyar A’lam Nubala’ 18/475, al-’Uluw hlm. 276–277 oleh adz-Dzahabi.
[27] Sebagian pembesar sahabat asy-Syafi’i berkata: “Dalam Alquran terdapat seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas para hamba-Nya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 5/121)
[28] Syarh Akidah Thahawiyyah hlm. 386
[29] Lihat Naqdhu Ta’sis Ibnu Taimiyyah 1/7.
[30] Demikian harakatnya yang benar, dengan memfathah mim, mengkasrah ra’ dan menyukun ya’. (Wafayatul A’yan Ibnu Khallikan 1/278).
[31I] dem hlm. 26.
[32] Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati, Ciputat, Tangerang, cetakan pertama Maret 2007 M/Rabi’ul Awal 1428 H. Buku ini telah dibantah secara tuntas dalam buku Mungkinkah Sunnah-Syi’ah Dalam Ukhuwah? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab “Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” Penulisnya adalah Tim Penulis Buku Pustaka Sidogiri. Diterbitkan oleh Pustaka Sidogiri, Pasuruan, tahun 2012, dan di buku bantahan ini dijadikan referensi oleh MUI dalam buku “Mengenal dan Mewaspadai Syiah Di Indonesia” hlm. 85–87.
[33] Buku ini ditulis oleh Tim Ahlul Bait Indonesia. Diberi pengantar oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab. Buku ini sarat dengan propaganda pemikiran-pemikiran Syi’ah dan melontarkan kerancuan-kerancuan pemikiran yang sangat berbahaya bagi umat Islam. Lihat beberapa kritikan terhadap buku ini dalam tulisan Ustadzuna Arif Fathul Ulum, Lc. dalam Majalah Al Furqon Edisi 147/Tahun 13 dengan judul “Noda-Noda Hitam Buku Putih Madzhab Syiah”.
[34] Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? hlm. 160
[35] Idem hlm. 322–323
[36] Mahmud Abu Rayyah adalah seorang yang sangat benci terhadap Sunnah dan para pembelanya dari kalangan para sahabat, terutama Sahabat mulia Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang banyak meriwayatkan hadis. Di antara buku hasil goresan tangannya yang keji adalah Adhwa’ Islamiyyah ’ala Sunnah Muhammadiyyah yang memuat pendapat para tokoh Mu’tazilah, Syi’ah, dan orientalis sehingga buku ini sangat menyenangkan musuh-musuh Islam. Oleh karena itu, para ulama bangkit membantah kitab sesat tersebut seperti asy-Syaikh Abdurrazzaq Hamzah dalam bukunya Zhulumat Abu Rayyah dan asy-Syaikh Abdurrahman ibn Yahya al-Mu’allimi dalam bukunya al-Anwar al-Kasyifah… (lihat as-Sunnah wa Makanatuha asy-Syaikh Musthafa as-Siba’i hlm. 467 dan Zawabi’ fi Wajhi Sunnah Maqbul Ahmad hlm. 81–85). Telah banyak para ulama yang membantahnya dan membongkar kegelapan kitabnya tersebut, seperti asy-Syaikh Muhammad Abdurrazzaq Afifi dalam kitabnya Zhulumat Abi Rayyah dan al-Allamah asy-Syaikh Abdurrahman ibn Yahya al-Mu’allimi dalam al-Anwar al-Kasyifah yang mengatakan dalam muqaddimahnya: “Tatkala saya mencermati isi buku ini, ternyata telah tersusun rapi untuk menghujat dan mencela hadis Nabi.”
[37] Al-Imam Ibnu Hazm menegaskan dalam Jawami’ Sirah: 275 bahwa Abu Hurairah Radhiallahu’anhu meriwayatkan sebanyak 5.374 hadis. Demikian juga Ibnul Jauzi dalam Talqih Fuhum Ahli Atsar: 183 dan adz-Dzahabi dalam Siyar 2/632. Dr. Muhammad Dhiya’ Rahman al-A’zhami telah mengumpulkan riwayat-riwayat Abu Hurairah dalam Musnad Imam Ahmad dan Kutub Sittah, beliau dapat mencapai 13.336 hadis saja. Lihat Abu Hurairah fi Dhau’i Marwiyyatihi hlm. 76. (Dinukil dari Syarh Bulughul Maram al-Audah 1/275)
[38] Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah hlm. 48 oleh al-Khathib al-Baghdadi
[39] Al-Mustadrak ’ala ash-Shahihahin 3/513
[40] Lihat Masalah Taqrib Baina Ahli Sunnah wa Syi’ah 1/375–390 oleh Dr. Nashir al-Qifari dan Baina Syi’ah wa Ahli Sunnah hlm. 16–17 karya asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir.
[41] Al-Anwar Nu’maniyyah 2/278–279 karya Ni’matullah al-Jazairi
[42] Majalah al-Manar 31/290, dinukil dari Khud’atu Taqrib Baina Sunnah wa Syi’ah Asyraf ibn Abdul Maqshud hlm. 39–40.
[43] Dia Di Mana-Mana hlm. 58 karya Dr. Muh. Quraish Shihab, Penerbit Lentera Hati, Ciputat, Tangerang, Cet. Kelima, Mei 2007 M/Jumadil Awwal 1428 H.
[44] Majmu’ Fatawa 2/132
[45] Dia adalah seorang dedengkot Sufi, pengibar bendera Wahdatul Wujud (wafat 638 H). Dia memunyai berbagai pemikiran kufur. Oleh karena itu, para ulama menganggapnya sesat bahkan tak sedikit yang mengkafirkannya. Asy-Syaikh Burhanuddin al-Biqa’i (885 H) menulis sebuah kitab berjudul Tanbih al-Ghabiyyi ’ala Takfir Ibni Arabi sebanyak 241 halaman. Dalam kitab tersebut, beliau menukil ±50 ulama yang mengkafirkan atau minimal menganggapnya sesat; di antaranya: al-Izz ibn Abdussalam, Ibnu Daqiq al-’Id, Ibnu Shalah, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Bulqini, al-Iraqi, Abu Zur’ah al-Iraqi, al-’Aini, adz-Dzahabi, Badruddin ibn Jama’ah, al-Jazari, Ibnu Hisyam, as-Subki, Abu Hayyan, dan lainnya. (Lihat pula Juz Akidah Ibni Arabi wa Hayatihi oleh Taqiyuddin al-Faasi, Mashra’ Tashawwuf hlm. 138–168 oleh Burhanuddin al-Biqa’i dan ar-Radd ’ala ar-Rifa’i wa al-Buthi hlm. 111–113 oleh asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad.)
[46] Lihat Misteri Syekh Siti Jenar karya Prof. Dr. Hasanu Simon hlm. 386, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang karya Abu Hamid hlm. 180, Ensiklopedi Islam Indonesia hlm. 676–678. (Dinukil dari buku 14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah hlm. 91–92, al-Ustadz Abdullah Zaen)
[47] Al-Qadhi Iyadh menukil Ijma’ (kesepakatan ulama) tentang kafirnya orang yang mengaku bersatu dengan Allah seperti ucapan kaum Sufi, Bathiniyyah, Nasrani, dan Qaramithah. (Lihat asy-Syifa’ 2/1067.)
[48] Lihat secara luas masalah ini dalam kitab yang bagus yang khusus mengupas akidah sesat ini yaitu kitab Akidah Shufiyyah, Wihdatul Wujud al-Khafiyyah oleh Dr. Ahmad ibn Abdul Aziz al-Qushayyir, terbitan Maktabah ar-Rusyd.
[49] Lihat bantahan secara detail terhadap paham ini dalam kitab ar-Raddul Munif ’ala Da’wa Raf’i Taklif karya Dr. Muhammad ibn Ahmad al-Juwair.
[50] Alangkah bagusnya apa yang diceritakan bahwa Abu Rudhabari pernah ditanya tentang seorang yang mendengar nyanyian dengan alasan “Nyanyian halal bagiku, karena saya telah sampai kepada derajat yang tidak mungkin ada perubahan”? Beliau menjawab dengan enteng: “Benar, dia telah sampai, tetapi ke Neraka Saqar!!” (al-Hilyah 10/356 dan Siyar 14/536)
[51] Min Kulli Suratin Fa’idah hlm. 146, Abdul Malik ibn Ahmad Ramadhani.
[52] Dar’u Ta’arudhil Aqli wa Naqli 3/270. Lihat pula Madarijus Salikin 3/316 oleh Ibnul Qayyim dan Adhwa’ul Bayan 2/325 oleh asy-Syinqithi.
[53] Asy-Syifa’ 2/1074
[54] Asy-Syari’ah: 287–288
[55] Ada sebuah buku yang cukup bagus berjudul 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia karya Budi Handrianto, Hujjah Press, cet. 3, November 2007. Namun, sayangnya sang penulis belum mencantumkan Dr. Quraish Shihab sebagai tokoh liberal. Semoga ini menjadi bahan pertimbangan untuk memasukkannya dalam cetakan berikutnya, karena saya yakin bahwa bukunya tersebut bukan sebagai pembatasan, apalagi nama Dr. Quraish Shihab jauh lebih populer dari sebagian nama tokoh yang ada dalam daftar buku tersebut. Wallahu A’lam.
[56] Lihat Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 92–97, Edisi Ketiga, 2010.
[57] Membumikan Alquran, hlm. 290, penerbit Mizan Bandung, edisi baru cetakan pertama Juli 2007/Rajab 1428 H. Dan penerbit Mizan, Bandung, sangat populer sebagai penerbit buku-buku Syi’ah. Maka waspadalah. Lihat juga buku panduan MUI Pusat Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia hlm. 110, tentang daftar lembaga penerbit Syi’ah, disebutkan di antaranya adalah Mizan. Anehnya, saya pernah mendapati beberapa mahasiswa-mahasiswi yang mempelajari buku ini karena dijadikan sebagai kurikulum mata kuliah di Universitas Islam!!!
[58] QS al-Bayyinah [98]: 6
[59] HR Muslim: 153
[60] Asy-Syaikh Masyhur ibn Hasan berkomentar: “Seperti para orientalis dan para peneliti ilmu syariat dari orang-orang kafir. Dan hal ini sangat masyhur pada zaman sekarang.”
[61] Al-Muwafaqat 1/85, tahqiq asy-Syaikh Masyhur Hasan.
[62] Membumikan Alquran hlm. 579–580
[63] Idem hlm. 583
[64] Ahkam Ahli Dzimmah hlm. 202–203
[65] http://www.firanda.com/index.php/artikel/status-facebook/363-dibalik-ucapan-selamat-hari-natal
[66] Membumikan Alquran hlm. 289
[67] Lihat al-Ajwibah al-Mufidah ’an As’ilah Manahij Jadidah hlm. 55–56 oleh Dr. Shalih ibn Fauzan al-Fauzan.
Sumber: http://abiubaidah.com/kritik-ilmiah-atas-pemikiran-dr-quraish-shihab-bagian-pertama.html/
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…