Memang tidak ada hadis khusus yang menunjukkan anjuran terhadap hal ini. Akan tetapi anjuran berpuasa pada hari-hari ini sudah tercakup dalam keumuman hadis, karena puasa termasuk amal saleh.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam al-Liqa’ asy-Syahri (no. 26):
Telah sahih dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda:
ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر – أي: عشر ذي الحجة- قالوا: يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء
“Tidaklah ada suatu hari yang beramal saleh pada hari-hari itu lebih dicintai Allah daripada beramal pada sepuluh hari ini –yaitu sepuluh hari awal Dzulhijjah-.” Mereka [para sahabat] bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah jihad fi sabilillah juga tidak lebih utama darinya?”. Beliau ﷺ menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah. Kecuali seorang lelaki yang berangkat berjihad dengan jiwa dan hartanya, lalu dia kembali dalam keadaan tidak membawa apa-apa dari itu semua (alias mati syahid, pent).” [HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma]
Hadis ini menunjukkan bahwa seyogyanya kita memerbanyak amal saleh pada sepuluh hari awal Dzulhijjah… Dan semestinya kita juga mengerjakan puasa pada sepuluh hari itu, karena puasa termasuk bentuk amal saleh. Memang tidak ada hadis khusus yang menunjukkan anjuran terhadapnya. Akan tetapi anjuran ini sudah termasuk dalam keumuman hadis tersebut, karena puasa termasuk dalam kategori amal saleh. Oleh sebab itu, seyogyanya kita berpuasa pada sembilan hari yang pertama, karena hari yang kesepuluh adalah hari raya (Iedul Adha), sehingga tidak boleh berpuasa pada hari itu. Anjuran puasa ini semakin diperkuat pada hari Arafah, kecuali bagi para jamaah haji.
Sumber: تبشير الإخوة بثبوت سُنِّية صوم أيام عشر ذي الحجة (Tabsyir al-Ikhwah bi Tsubut Sunniyati Shaumi Ayyami ‘Asyara Dzilhijjah) karya Syaikh Abdul Qadir bin Muhammad bin Abdurrahman al-Junaid.