بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
KEPADA SIAPA SEHARUSNYA AKU BERBAKTI: SUAMI ATAU ORANG TUA?
Ana (saya) sudah 6 bulan menikah dan harus tinggal di rumah mertua sebagai bentuk bakti ke suami. Namun selama ini ana merasa resah, karena orang tuanya terlalu sering intervensi, sehingga ana tidak bisa bersikap dewasa. Ana hanya mengikuti suami karena bakti istri adalah ke suami, dan bakti suami kepada orang tuanya. Apakah Fathimah putri Rasulullah ﷺ juga demikian? Bagaimana bakti ana ke orang tua sendiri? Sekarang apa yang harus ana lakukan?
Kami akan menjawabnya melalui poin-poin berikut ini:
1. Tinggal di rumah orang tua suami (mertua), terlebih jika suami belum mampu untuk memberi tempat tinggal untuk istri, dalam pandangan Islam boleh-boleh saja dan tidak ada larangan. Istri sepatutnya taat dan patuh kepada suami dalam kebaikan, selama sang suami belum memerintahkan kemaksiatan.Maka apabila ada perintah untuk berbuat maksiat, sang istri wajib menolaknya. Nabi ﷺ bersabda:
لاَطَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِى مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ (رواه الترمذي )
Tidak ada ketaatan bagi seorang hamba ketika diperintah untuk bermaksiat kepada Allah [HR. at-Tirmidzi]
2. Adapun sikap intervensi mertua, selagi bentuk campur tangan pihak mertua adalah berbentuk nasihat dan masukan positif untuk kebaikan bersama, mengapa harus ditolak? Bukankah berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran adalah perkara yang diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla?.Saling berwasiat dalam hal di atas adalah sarana yang bisa mengeluarkan sekaligus menyelamatkan kita dari kerugian di dunia dan Akhirat, sebagaimana telah tertuang dalam surat al-‘Ashr 1-3. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
- Demi masa.
- Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
- Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati, supaya metaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. [QS. al-‘Ashr : 1-3]
3. Sejatinya seorang menantu jangan terburu-buru untuk berburuk sangka terhadap sikap mertua. Sebab orang tua suami juga merupakan orang tua Anda. Maka berusahalah untuk dapat berbuat baik kepada orang tua suami. Selagi bentuk intervensi mertua adalah sebagai nasihat, mengapa kita harus merasa resah atau malah menolaknya? Setiap orang tua ingin melihat anaknya bahagia dan dapat membina keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Bahkan terkadang dalam pandangan syariat, jika orang tua menyuruh anak laki-lakinya untuk menceraikan istrinya dengan berbagai alasan yang syari (jika memang ada indikasi bahwa sikap istri bisa mempengaruhi agama dan akhlak suami), maka suami harus menceraikan istrinya. Terdapat riwayat dalam Shahih al-Bukhari yang mengisahkan, bahwa Nabi Ibrahim Alaihissallam menyuruh putranya Ismail Alaihissallam untuk menceraikan istrinya tatkala melihat adanya keburukan yang mempengaruhi hubungan rumah tangga anaknya. Maka Ismail pun menceraikan istrinya.
Demikian pula dalam riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhuma, dia berkata:
Dahulu aku punya istri yang sangat aku cintai. Namun (ayahku) ‘Umar bin Khatthab tidak menyukainya dan berkata padaku: “Ceraikan dia (istriku)”. Namun, aku enggan menceraikannya. Akhirnya, ‘Umar datang menghadap Nabi ﷺ seraya menceritakan kejadian tadi. Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Ceraikan dia (istrimu)”.
Itu semua dapat terlaksana, jika orang tua suami merupakan orang yang saleh dan baik, serta tahu akan munculnya indikasi yang bisa merugikan kelangsungan hubungan rumah tangga, jika suami tetap mempertahankan istrinya, sementara si istri memiliki perangai atau akhlak yang buruk. Apabila dibiarkan malah merugikan dan merusak masa depan rumah tangga anaknya.
4. Berusahalah untuk bisa bermuamalah dengan baik, tanpa kecuali kepada siapapun, terlebih orng tua suami. Hal ini tertuang dalam wasiat Nabi ﷺ kepada Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu:
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (رواه الترمذي)
Pergaulilah orang dengan akhlak yang baik. [HR. Tirmidzi]
5. Kalaupun seandainya muncul sikap buruk dari mertua yang kita kurang suka dan tidak bisa menerimanya, maka bersabarlah atas segala kekurangan dan kelemahan yang dimiliki orang tua suami (mertua). Tetap berusaha membalas dengan sikap baik dan hormat kepadanya. Pada dasarnya, sikap baik kita kepada orang lain, akibatnya akan kembali kepada kita juga. Berbuat baiknya kita kepada orang lain itu berarti kita berbuat baik untuk diri sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.” [QS Al-Isra`/17:7]
6. Adapun keinginan istri untuk dapat berbakti kepada orang tuanya sendiri, itu boleh-boleh saja. Dan seorang istri berhak meminta izin dari suami untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tuanya. Maka jika seorang istri meminta izin dari suami untuk bersilaturrahmi kepada orang tuanya, sang suami harus memberikan izin kepada istrinya untuk yang urusan demikian ini. Selagi kunjungan istri kepada orang tuanya tidak menimbulkan madharat, baik untuk agama maupun akhlaknya. Demikian pula sebaliknya, jika kepergian seorang istri ke rumah orang tuanya justru menimbulkan madharat untuk agama dan akhlaknya, maka suami berhak melarang istri untuk tidak pergi. Sebagaimana yang dialami ‘Aisyah radhiyallahu anhuma, beliau meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk pergi ke rumah orang tuanya pada peristiwa Hadis Ifki (tuduhan keji yang dilontarkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu anhuma). [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Adapun jika suami melarang istri untuk ziarah ke rumah orang tuanya, dan suami malah ingin memutuskan hubungan silaturrahmi, maka istri boleh pergi, walau tanpa sepengetahuan suami. Sebab memutuskan hubungan silaturrahmi adalah dosa besar yang sangat besar yang diharamkan oleh Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka Itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikannya telinga mereka dan dibutakannya penglihatan mereka.” [QS. Muhammad/47:22-23].
7. Jika memungkinkan mengajak musyawarah suami tentang keinginan untuk miliki rumah sendiri, cobalah untuk mengajaknya bicara tentang hal ini. Tentunya tetap dalam kondisi tidak memaksa dan menekan suami, jika memang penghasilan suami pas-pasan. Allah subhanahu wa ta’ala tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuannya:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [QS Ath-Thalaq/65:7].
8. Perbanyak doa kepada Allah Azza wa Jalla untuk diberi kemudahan dalam segala urusan, dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Wallahu a’lam.
(Ustadz Muhammad Qosim)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]