بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
#MutiaraHadis
KENDALIKANLAH LISAN KITA
Lidah adalah anggota badan yang benar-benar perlu dijaga dan dikendalikan. Sesungguhnya lidah adalah penerjemah hati dan pengungkap isi hati. Oleh karena itulah, setelah Nabi ﷺ memerintahkan istiqamah, beliau ﷺ mewasiatkan kita untuk menjaga lisan. Dan lurusnya lidah itu berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang. Di dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas bin Malik , dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Iman seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga hatinya istiqamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga lisannya istiqamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk Surga. (H.R. Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/13).
Dan di dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id Al-Khudri, Nabi ﷺ bersabda:
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
Jika anak Adam memasuki pagi hari, sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan: “Takwalah kepada Allah di dalam menjaga hak-hak kami. Sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqamah, maka kami juga istiqamah. Jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang. (H.R. Tirmidzi, no. 2407; dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/17, no. 1521) (Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, 1/511-512)
Oleh karena itulah, sepantasnya seorang Mukmin menjaga lidahnya. Tahukah Anda, jaminan bagi orang yang menjaga lidahnya dengan baik? Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya, dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin Surga baginya. (H.R. Bukhari, no. 6474; Tirmidzi, no. 2408; lafazh bagi Bukhari).
Beliau ﷺ juga menjelaskan, bahwa menjaga lidah merupakan keselamatan:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ قَالَ أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, dia berkata: “Aku bertanya, wahai Rasulullah, apakah sebab keselamatan?” Beliau ﷺ menjawab: “Kuasailah lidahmu, hendaklah rumahmu luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu”. (H.R. Tirmidzi, no.2406)
Yaitu janganlah engkau berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikanmu, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah engkau menyesali kesalahanmu dengan cara menangis. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi).
Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata: “Ketahuilah, sepantasnya bagi setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas mashlahat padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama mashlahatnya, maka menurut Sunnah adalah menahan diri darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram atau makruh. Bahkan, ini banyak atau dominan pada kebiasaan. Sedangkan keselamatan itu tiada bandingannya. Telah diriwayatkan kepada kami di dalam dua Shahih, Al-Bukhari (no. 6475) dan Muslim (no. 47), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”
Aku katakan: Hadis yang disepakati Shahihnya ini merupakan nash yang jelas, bahwa sepantasnya seseorang tidak berbicara, kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak mashlahatnya. Jika dia ragu-ragu tentang timbulnya mashlahat, maka dia tidak berbicara.
Dan Imam Asy-Syafi’i telah berkata: ‘Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum dia berbiacra hendaklah berpikir. Jika nampak jelas mashlahatnya, dia berbicara. Dan jika dia ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas mashlahatnya.’” [Al-Adzkaar, 2/713-714, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M].
Selain itu, bahwa lidah merupakan alat yang mengungkapkan isi hati. Jika Anda ingin mengetahui isi hati seseorang, maka perhatikanlah gerakan lidahnya, isi pembicaraannya. Hal itu akan memberitahukan isi hatinya, baik orang tersebut mau atau enggan.
Diriwayatkan bahwa Yahya bin Mu’adz berkata: “Hati itu seperti periuk yang mendidih dengan isinya, sedangkan lidah itu adalah gayungnya. Maka, perhatikanlah seseorang ketika berbicara. Karena sesungguhnya lidahnya itu akan mengambilkan untukmu, apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya. Pengambilan lidahnya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya.” [Hilyatul Au’iyaa’, 10/63, dinukil dari Aafaatul Lisaan fii Dhauil Kitab was Sunnah, hlm, 159, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani]
Perkataan Para Salaf Tentang Hifzhul Lisan
Sesungguhnya, para Salaf dahulu biasa menjaga dan menghisab lidahnya dengan baik. Dan diriwayatkan dari mereka perkataan-perkataan yang bagus berkaitan dengan lidah dan pembicaraan, di antaranya:
Diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab berkata: “Barang siapa banyak pembicaraannya, banyak pula tergelincirnya. Dan barang siapa banyak tergelincirnya, banyak pula dosanya. Dan barang siapa banyak dosa-dosanya, Neraka lebih pantas baginya.” [Riwayat Al-Qudhai di dalam Musnad Asy-Syihab, no. 374; Ibnu Hibban di dalam Raudhatul ‘Uqala’, hlm. 44. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M]
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud pernah bersumpah dengan nama Allah, lalu mengatakan: “Di muka bumi ini, tidak ada sesuatu yang lebih pantas menerima lamanya penjara daripada lidah!” [Riwayat Ibnu Hibban di dalam Raudhatul ‘Uqala’, hlm. 48. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 340]
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Jauhilah Fudhuulul Kalam (Pembicaraan yang melebihi keperluan). Cukup bagi seseorang berbicara, menyampaikan sesuai kebutuhannya.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz. 1, hlm. 339]
Syaqiq mengatakan: “‘Abdullah bin Mas’ud ber-talbiyah di atas bukit Shofa, kemudian mengatakan: ‘Wahai lidah, katakanlah kebaikan, niscaya engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah, niscaya engkau selamat, sebelum engkau menyesal.’ Orang-orang bertanya: ‘Wahai Abu ‘Abdurrahman, ini adalah suatu perkataan yang engkau ucapkan sendiri, atau engkau dengar?’ Dia menjawab: ‘Tidak, bahkan aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ
‘Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada lidahnya.‘” (HR. Thabarani, Ibnu ‘Asakir, dan lainnya. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 534).
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Buraidah mengatakan: “Aku melihat Ibnu ‘Abbas memegangi lidahnya sambil berkata: ‘Celaka engkau, katakanlah kebaikan, engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah dari keburukan, niscaya engkau selamat. Jika tidak, ketahuilah bahwa engkau akan menyesal.’” [Aafatul Lisaan, hlm. 161]
Diriwayatkan, bahwa An-Nakhai berkata: “Manusia binasa pada fudhuulul maal (harta yang melebihi kebutuhan) dan fudhuulul kalam (Pembicaraan yang melebihi keperluan).” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339]
Diriwayatkan, bahwa ada seseorang yang bermimpi bertemu dengan seorang alim besar. Kemudian orang alim itu ditanya tentang keadaannya, dia menjawab: “Aku diperiksa tentang satu kalimat yang dahulu aku ucapkan. Yaitu aku dahulu pernah mengatakan: ‘Manusia sangat membutuhkan hujan!’ Aku ditanya: ‘Tahukah engkau, bahwa Aku (Allah) lebih mengetahui terhadap mashlahat hamba-hamba-Ku?” [Aafatul Lisaan, hlm. 160-161]
Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan: “Seorang Mukmin itu menyedikitkan omongan dan memerbanyak amalan. Adapun orang munafik, dia memerbanyak omongan dan menyedikitkan amalan.”
Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan: “Selama aku belum berbicara dengan satu kalimat, maka aku menguasainya. Namun jika aku telah mengucapkannya, maka kalimat itu menguasaiku.”
Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan: “Diam adalah ibadah tanpa kelelahan, keindahan tanpa perhiasan, kewibawaan tanpa kekuasaan, Anda tidak perlu beralasan karenanya, dan dengannya, aibmu tertutupi.” [Lihat Hashaaidul Alsun, hlm. 175-176]
Kesimpulannya adalah bahwa kita diperintahkan berbicara yang baik, dan diam dari keburukan. Jika berbicara hendaklah sesuai dengan keperluannya. Wallahul Musta’an.
Mashaadir:
1- Aafaatul Lisaan fii Dhauil Kitab was Sunnah, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani
2- Al-Adzkaar, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M
3- Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M)
4- Hashaaidul Alsun, karya Syaikh Husain Al-’Awaisyah, penerbit. Darul Hijrah. Dan lain-lain.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari
[Artikel www.muslim.or.id]
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…