Akal Mengikuti Wahyu, Bukan Wahyu yang Mengikuti Akal
Ada ungkapan yang sering dikatakan oleh masyarakat kita:
Yang penting kan niatnya baik………
Ucapan ini sangat populer dan sudah sangat familiar. Sebenarnya ucapan inilah yang bertendensi kepada akal semata.
Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran, mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memerlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya, mereka meninggalkan dan mengambil Kitab dan Sunnah, lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya, keduanya TIDAK akan menunjukkan kecuali kepada yang haq, sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.”
Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
- Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
- Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash serta memahami dan mengambil hukum darinya.
- Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ Allah sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
- Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah
- Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka.
Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Akal mengikuti wahyu, bukan wahyu yang mengikuti akal.
SEANDAINYA AGAMA DIBANGUN BERDASARKAN AKAL, MAKA MASING-MASING ORANG BEBAS MEMBUAT ATURAN AGAMANYA. BEBAS MEMBUAT ATURAN, MANA YANG SESUAI AKAL DAN SELERANYA.
Adapun hadis yang mengatakan bahwa agama itu adalah akal:
“Agama adalah akal. Siapa yang tidak beragama, berarti dia tidak berakal.”
Imam Nasa’i mengatakan bahwa hadis ini BATHIL, MUNGKAR, karena di dalam sanadnya ada yang bernama Bisyr bin Ghalib. Dia adalah seorang yang Majhul [tidak diketahui biografinya]. Syaikh Al Albani menyatakan hal senada. Demikian juga Imam Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani berkata: Seluruh hadis yang menyatakan tentang keutamaan akal adalah Maudhu’ [palsu]
Berikut ini adalah di antara beberapa hal, yang kita TIDAK BOLEH mengedepankan akal dalam membahasnya:
- Hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan perkara-perkara ghaib, seperti menetapkan atau menafikkan Nama dan Sifat Allah Azza wa Jalla , Surga dan neraka, nikmat dan siksa kubur, jin dan setan, malaikat, keadaan Hari Kiamat, dan lain-lain.
- Dasar-dasar akhlak dan adab yang tidak bertentangan dengan syariat, seperti adab makan dan minum, adab buang hajat, akhlak terhadap orang tua, sesama, dan anak kecil, dan lain-lain.
- Ajaran syariat Islam, terutama dalam masalah ibadah, seperti menetapkan atau menafikkan syariat sholat, zakat, puasa, haji, jihad, dan lain-lain [Lihat kitab Al-Islam wal Aql, karya: Abdul Halim Mahmud, hal: 30].
Dalam perkara-perkara ini, memang dibutuhkan akal untuk memahami, merenungi, dan menyimpulkan suatu hukum dari dalil, tapi AKAL TIDAK BOLEH KELUAR DARI DALIL YANG ADA, ia tidak boleh menentangnya, ataupun mengada-ada.
Adapun yang berhubungan dengan alam semesta yang kasat-mata, maka itulah lautan luas yang diberikan kepada akal manusia untuk terus menganalisis dan meneliti, terus menemukan dan mengolahnya. Inilah yang banyak disinggung dalam firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ
Tidakkah mereka memerhatikan kerajaan langit dan bumi, serta segala sesuatu yang diciptakan Allah ?! [al-A’raf/7:185]
وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِين ﴿٢٠﴾ وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونََ
Di bumi itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang yakin… dan juga pada diri kalian sendiri. Tidakkah kalian memerhatikannya?! [adz-Dzariyat/51:20-21]
أَفَلَمْ يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَزَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوج ﴿٦﴾ وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ ﴿٧﴾ تَبْصِرَةً وَذِكْرَىٰ لِكُلِّ عَبْدٍ مُنِيبٍ
Maka tidakkah mereka memerhatikan langit yang ada di atas mereka. Bagaimana cara Kami membangun dan menghiasinnya dan tidak ada keretakan sedikit pun padanya?… Dan (bagaimana) bumi Kami hamparkan, Kami pancangkan di atasnya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan di atasnya tanaman-tanaman yang indah… Agar menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (tunduk kepada-Nya). [Qaf/50:6-8]
Akal Bukan Sebagai Hakim, Namun Alat Untuk Memahami
Setelah kita memahami uraian di atas, tentu kita akan sampai pada kesimpulan, bahwa akal merupakan nikmat yang sangat agung, namun ia bukanlah segalanya. Kita harus menempatkan akal pada tempat yang layak, dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak bisa dijangkau olehnya.
Jika ada keterangan wahyu dalam masalah apapun, maka itulah yang harus didahulukan, dan akal harus menyesuaikan dengannya, memahaminya, dan menerimanya dengan apa adanya. Memang, kadang keterangan wahyu menjadikan akal tertegun, namun ia tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil.
Ibnu Abil Izz rahimahullah berkata:
وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الأَخْبَارُ عَنْ رَسُوِلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثُبُوْتِ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَنَعِيْمِهِ لِمَنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلاً, وَسُؤَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ , فَيَجِبُ إِعْتِقَادُ ثُبُوْتِ ذَلِكَ , وَالإيْمَانُ بِهِ , وَلاَ نَتَكَلَّمُ فِي كَيْفِيَّتِهِ , إِذْ لَيْسَ لِلْعَقْلِ وُقُوْفٌ عَلَى كَيْفِيَّتِهِ, لِكَوْنِهِ لاَ عَهْدَ لَهُ بِهِ غَيْرُ هَذِهِ الدَّارِ, وَالشَّرْعُ لاَ يَأْتِي بِمَا تُحِيْلُهُ الْعُقُوْلُ , وَلَكِنَّهُ قَدْ يَأْتِي بِمَا تُحَارُ فِيْهِ الْعُقُوْلُ
Telah datang keterangan dalam banyak hadis yang telah mencapai derajat Mutawatir, tentang adanya adzab kubur dan nikmatnya bagi orang yang berhak, serta pertanyaan kubur bagi mereka yang mukallaf. Maka itu wajib diyakini dan diimani kebenarannya, dan kita tidak boleh membicarakan tentang gambaran detailnya, karena memang akal tidak boleh menerka gambaran detailnya. Demikian itu, karena akal tidaklah menyaksikan kecuali dunia yang ada ini. Dan Syariat tidak akan datang dengan sesuatu yang dimustahilkan akal, meski kadang datang dengan sesuatu yang membingungkannya. [Syarhu Aqidah Thahawiyyah, hlm. 399]
Wallahu a’lam
Sumber Rujukan:
Anwar Baru Belajar: https://www.facebook.com/note.php?note_id=116166531759864
Ustadz Musyaffa: http://almanhaj.or.id/content/4063/slash/0/kedudukan-akal-dalam-islam/
Leave A Comment